Aku nggak begitu ingat kapan tepatnya Arini benar-benar membuatku jatuh cinta. Karena tidak seperti persahabatan pada umumnya, kami memulai hubungan ini dengan kecanggungan yang parah. Gadis itu terlalu dingin untukku yang selalu berpikir pendek. Dulu aku pikir, mendekati Arini adalah hal paling sulit yang pernah ada di muka bumi ini. Karena meskipun rumah kami bersebelahan, kami jarang bertegur sapa. Sesekali kami tanpa sengaja bertemu di jalan. Saling bersitatap tanpa sepatah kata pun. Dan dialog yang kami ucapkan untuk pertama kalinya hari itu adalah,
"Kamu yang punya kucing warna abu-abu itu ya?"
"Oh, itu kucing kakakku. Kenapa?"
"Dia berak di pot bonsai papaku."
Setelah interaksi singkat itu, kami hampir nggak pernah bertegur sapa lagi. Sebab tidak seperti aku yang punya banyak waktu luang untuk main dan berleha-leha di rumah. Arini tumbuh menjadi anak yang berbeda.
Gadis itu berangkat pukul 7 pagi, lalu pulang sekitar pukul 12 siang. Dia hanya akan ada di rumah beberapa menit untuk makan siang, sebelum akhirnya pergi lagi untuk mengikuti les ini dan itu. Karena suaranya bagus, dia pernah menghabiskan 2 jam di tempat latihan vokal. Belum lagi les piano, les balet, les mata pelajaran yang seabrek itu. Semuanya dia jalani seolah-olah itu adalah kesempatan terakhirnya untuk belajar. Dan begitulah seorang Arini hidup. Selain cantik, dia juga pintar dan berbakat. Tidak seperti aku yang serba pas-pasan.
Mudah untuk bisa jatuh cinta dengan Arini. Lihat saja bagaimana caranya tertawa, atau caranya bicara. Tetapi meskipun demikian, butuh waktu lama untuk mengikis kecangungan itu dan menjadikan hubungan kami seperti sekarang. Jadi untuk menjadikannya milikku, aku harus berpikir seribu kali agar tidak menyesal. Tidak banyak seseorang seperti Arini, jadi bagaimana mungkin aku bisa kehilangan teman seperti dia?
"Dia nggak balas chat gue," kataku pada Cetta saat kami bermain basket berdua di lapangan. Lebih tepatnya, aku hanya berlarian kesana-kemari sementara dia sibuk mendrible bola dan melemparkannya ke dalam ring.
Bola masuk, lalu kami berhenti sejenak untuk mengambil napas.
"Gue telepon juga nggak diangkat," sambungku, tepat saat seseorang melemparkan bola basket yang tanpa sengaja menggelinding ke tepi lapangan.
"Thanks!" teriak Cetta, yang kuyakini bahwa seseorang itu kemungkinan adalah teman sekelasnya. Lalu setelah mendapatkan bola itu, Cetta kembali berlari dan mendrible bola tersebut mendekati ring. Melewatiku yang masih sibuk mengatur napas. "Terus, lo mau ngapain sekarang?" tanyanya kemudian.
Aku terdiam beberapa lama. Selain memikirkan jawaban atas pertanyaan itu, aku juga fokus memblok Cetta agar dia tidak semakin dekat dengan area ring. Entah kenapa, permaianannya belakangan ini semakin bagus dan semakin sulit bagiku untuk mengejarnya.
"Kayaknya si Arini udah bener-bener klik sama Sanjaya-Sanjaya itu." Cetta kembali melanjutkan. Dan sama seperti sebelumnya, dia berhasil memasukkan bola ke dalam ring. "Siap-siap aja buat dilupain sama dia." Di akhir kalimat, Cetta tertawa terbahak-bahak. Tatapan matanya bahkan melirikku dengan tajam. Seolah dia sedang mengejekku habis-habisan.
"Ngelupain gue?" Aku mengernyit kebingungan.
"Iya, ngelupain lo. Biasanya, kan, emang gitu. Kalau teman deket lo udah bucin sama seseorang, eksistensi lo hanya akan jadi opsi kesekian. Paling-paling dia bakalan inget lo kalau dia lagi ada masalah sama pacarnya doang."
Lagi-lagi aku memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. Memangnya iya?
"Sekarang ini buktinya! Dia udah sering nggak balas chat lo, kan? Dia juga nggak pernah angkat telepon lo lagi sekarang. Ditambah lagi kalian berdua udah jarang banget ketemuan. Emangnya apa lagi? Udah jelas-jelas Arini punya dunianya sendiri, dan dunianya bukan elo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Teen FictionBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...