Aku ingin memaafkan diriku sendiri dan menerima bahwa tidak segalanya mampu aku kendalikan. Ucapan Cetta kemarin sore mengingatkanku pada nasihat-nasihat Bang Sastra selama dia masih ada bersamaku. Mengenai pelajaran cukup, ketika aku tidak harus memaksakan apapun--terutama hal-hal yang memang benar-benar tidak bisa aku lakukan.
Aku ingin menyembuhkan luka ini dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku tetap bisa menjadi diriku sendiri dan melakukan apapun yang aku mau tanpa merasa lebih rendah dari orang lain. Mungkin memahami diri sendiri akan menjadi lebih sulit daripada memahami orang lain, tapi setidaknya aku ingin mencoba semuanya sesuai batas kemampuanku. Termasuk sesuatu yang selalu berdebar ketika aku bertemu dengan Arini.
Iya, iya! Aku sedikit berbohong setiap orang-orang bertanya mengenai perasaanku. Aku menyukai Arini lebih dari Bang Tama menyukai semangka. Hanya saja, ada kesempatan dimana aku merasa begitu jauh dan tidak akan pernah mampu menggapainya. Kalian tahu bintang Sirius? Bagiku, Arini tidak jauh berbeda dengan bintang Sirius. Aku selalu melihatnya bersinar terang dimana pun dan kapan pun dia berada, tapi meskipun aku berada di dekatnya, dia terlihat begitu jauh dan aku tidak mampu untuk menggapainya.
Malam ini, di sudut kamar Bang Tama--karena dia belum kembali dari perjalanannya ke Balikpapan--aku mencoba menulis semuanya di selembar kertas. Aku pikir akan terlalu sulit untuk mengatakannya secara langsung, jadi aku menuliskan semua perasaanku yang sejujurnya dan menyimpannya di dalam kotak bersama lampu aurora yang aku beli untuk Arini. Aku akan menghadiahkan lampu cantik ini agar malam-malamnya selalu terlihat indah. Sebelum tidur, aku harap dia akan tersenyum sambil melihat langit-langit kamarnya yang dipenuhi bintang dan warna-warni cahaya kutub.
Tapi ternyata, menulis semua yang aku rasakan juga tidak semudah yang aku pikirkan. Ini sudah kertas ke 10 dan aku kembali meremasnya karena tiba-tiba aku merasa aneh dengan pengakuanku sendiri.
"...Arini, aku tahu aku bukan--" aku menarik napas panjang sebelum akhirnya memejamkan mata dan meremas kertas ke sekian. Aku melemparnya ke dalam tempat sampah dengan hela napas frustasi.
"Nulis ginian doang aja susahnya minta ampun, apalagi ngomong langsung. Bisa-bisa pipis di celana gue." Gerutuku.
Setelah berkali-kali menyeka keringat di tangan dan berpikir jauh lebih dalam, aku mengambil selembar kertas lagi dan meletakkan ujung bolpoinku tepat di atasnya. Perlahan tapi pasti, penuh dengan perasaan yang berdebar-debar, aku kembali menuliskan perasaanku.
"Menyesal, tak kusampaikan. Cinta monyetku ke Kanya dan--" aku mengernyit dan menghentikan jemariku agar tidak menulis lebih jauh. Setelah membaca apa yang baru saja aku tulis, aku memejamkan mata dan menarik napas panjang. Gara-gara Mas Jovan menyetel lagu dengam volume kencang, secara tidak sadar aku jadi menuliskan liriknya alih-alih menulis perasaanku.
Akhirnya, aku beranjak dan berjalan menuju kamar Mas Jovan dengan derap kesal. Sesampainya aku di depan pintu kamarnya, aku membukanya dengan perasaan jengkel yang menggebu-gebu. Dan begitu aku membukanya, aku menemukan laki-laki itu sibuk menyanyikan lagu yang ia putar. Melihat bagaimana ia berdiri di depan lemari tanpa pakaian, dengan handuk yang terlilit di pinggang dan rambut panjangnya yang setengah basah, sudah bisa ditebak kalau manusia itu baru saja selesai mandi.
"MAS JOVAN!" aku memekik, hanya untuk membuat Mas Jovan terlonjak dengan mata yang terbelalak.
"JAYA!!" Mas Jovan balas memekik. "Kalau masuk kamar orang tuh yang baik-baik caranya! Bikin kaget tahu nggak? Untung gue masih pakai handuk. Bayangin kalau gue udah bugil, apa nggak sawan lo entar?"
"Musiknya kecilin dong! Aku tuh nggak bisa konsentrasi!" Seruku, tanpa membalas rancuannya yang aneh perihal bugil dan sawan.
"Oh, lo lagi belajar? Sorry, sorry." Sesaat setelah itu, ia berjalan ke arah nakas dan menurunkan volume speakernya. "Udah gue kecilin tuh, sana balik belajarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Teen FictionBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...