Bagian 3

37.4K 8.6K 1.7K
                                    

Aku terdampar di sini dengan keinginan yang semu. Mama memintaku untuk masuk di sekolah yang sama dengan Cetta agar segalanya menjadi mudah. Kami bisa berangkat bersama-sama, pulang bersama-sama, atau untuk memudahkan sewaktu pengambilan rapot kami. Apakah itu pilihan yang baik? Jelas. Setidaknya bagi mama dan orang-orang dewasa di rumahku. Namun buatku, ini seperti takdir mutlak yang harus aku jalani. Aku terbelenggu. Hal yang seharusnya bisa ku pilih menjadi tidak bisa ku pilih.

Aku hampir tidak pernah mengeluh di rumah. Sebab aku tahu, peranku tidak lebih dari seorang anak kecil yang tidak seharusnya mengeluh. Orang-orang dewasa di rumahku pasti akan memicingkan mata, seolah mengeluh adalah hal yang hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dengan quarter life crisis seperti Mas Jovan dan Mas Nana. Satu-satunya orang yang mengizinkanku untuk mengeluh, mengizinkanku untuk berkata bahwa aku lelah sudah tidak ada lagi di dunia ini. Jadi, tidak ada yang bisa aku lakukan.

Siang ini, aku melajukan motor Cetta dengan kecepatan sedang. Melewati gerombolan siswa dan siswi yang menunggu jemputan di gerbang sekolah. Seperti kesepakatan tadi pagi, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu alih-alih menunggu Cetta selesai dengan kesibukannya sebagai siswa kelas 12. Tapi alih-alih mengemudikan motor menuju jalan pulang, aku berbelok dan melajukan motor menuju ke arah kompleks pemakaman.

Di bulan September, bunga-bunga kamboja di areal pemakaman terlihat indah. Mereka tumbuh subur di atas begitu banyaknya kematian. Di atas tangis ratapan. Di atas rasa kesepian orang-orang yang ditinggalkan.

Lalu, aku memakirkan motorku ditempat biasa. Ada satu pohon akasia rindang dekat gapura tempat pemakaman, dan aku biasa memakirkan kendaraanku di sana karena tempat tersebut adalah satu-satunya tempat paling teduh. Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju blok pemakaman dimana jasad bapak dan kakakku disemayamkan.

"Assalamualaikum, Bapak, Abang." Aku menunduk begitu dalam dan cukup lama. Entah mengapa aku selalu percaya bahwa setiap salam yang aku ucapkan ketika datang kemari, pasti mampu dirasakan oleh mereka. Bapak dan Abang pasti tahu bahwa aku berada di sini sekarang.

Tahun telah berganti, waktu telah berlalu dan ada banyak hal yang terlewati setelah mereka pergi. Aku tidak ingin meratapi kematian mereka, tapi bohong juga jika aku berkata bahwa keadaanku baik-baik saja. Bahkan setelah bertahun-tahun kematian bapak dan setahun kematian Bang Sastra, aku masih merasakan kesedihan yang begitu parah. Seperti siang ini, aku masih merasakan air mata merembes dari ujung-ujung mataku bahkan ketika aku sudah memejamkan mataku erat-erat.

Kesedihan yang aku rasakan seolah menjelma menjadi belati. Ia menusuk, merobek, mencari jalan keluar agar tangis-tangis peratapan bisa jatuh dan terurai.

"Ahhh," kemudian aku mendongak. Menatap langit yang biru sambil terkekeh.

"Padahal udah janji kalau ke sini nggak bakal nangis lagi." Dan yang bisa aku lakukan hanyalah terkekeh sumbang sambil terus menyeka air mataku. "Nggak, nggak! Nggak boleh nangis kan, ya? Ini pasti gara-gara seharian ini mood aku jelek."

"Aku tuh sebenernya nggak ada niatan mau ke sini hari ini sih, Pak, Bang. Makanya aku nggak kelihatan bawa apa-apa, kan? Aku tuh tadi mau langsung pulang aja sebenernya, tapi Cetta entar pulangnya gimana? Mau nunggu di sekolah juga males banget ketemu orang-orang nyebelin kayak Pak Boni." Terpaksa aku menyeret guru piket hari ini. Bukan apa-apa sebenarnya, hari ini Pak Boni menjadi salah satu alasan kenapa moodku semakin jelek. Dia semena-mena menjadikanku pemimpin barisan hanya karena pemimpin barisanku yang biasanya bertugas tidak masuk karena muntaber.

"Jaya, kamu kan tinggi. Udah, kamu aja yang jadi pemimpin barisan." Titahnya tadi pagi. Lengkap dengan dua mata yang menatapku dengan pandangan yang nyalang. Seolah perintahnya adalah setara dengan perintah pemimpin negara, dan aku adalah rakyat biasa yang harus tunduk pada apa yang ia katakan.

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang