Aku tanpa sengaja jadian sama Rebecca. Mungkin ketika aku berkata bahwa aku ingin menjadi seorang bajingan, Tuhan mengabulkannya dalam bentuk lain.
Coklat yang harusnya aku berikan kepada Arini, dengan naasnya tertukar dengan coklat yang aku berikan pada Rebecca. Semua itu terjadi begitu saja diluar kesadaranku. Mungkin karena aku terburu-buru setelah menerima telepon dari Tante Mia, aku jadi tidak menyadari bahwa coklat berisi pesan pengakuan itu tertukar. Dan di sinilah aku sekarang, di depan pagar sekolah di mana Rebecca berdiri persis di belakangnya. Melambai ke arahku dengan sepasang mata yang berbinar. Melihat tatapan mata itu, ada sebagian dari diriku yang terasa kelu. Ada binar terang yang ia letupkan dari raut wajahnya hari ini. Lalu kalau aku bilang bahwa surat itu sebenarnya bukan untuknya, apakah keadaan akan jauh lebih baik dari saat ini?
"Good morning, Kak! Kemarin aku udah baca—ya ampun! Ini kenapa?" Rebecca memekik begitu melihat tangan kananku terbebat kasa. Raut wajah paniknya tergambar dengan sangat jelas. Dan melihatnya tengah mengkhawatirkanku seperti ini, bagaimana mungkin aku mengatakan yang sebenarnya?
"Kak?" Karena aku tidak mengatakan apa-apa, bahkan ketika dia menyentuh tanganku, Rebecca mendongak. Menuntut penjelasan dariku yang masih saja membisu.
"Nggak pa-pa, cuma kecelakaan kecil."
"Parah nggak?"
"Lumayan," jawabku dengan senyum pasi, "12 jahitan."
Gadis bermata biru itu terhenyak, lalu ia kembali melihat telapak tanganku dengan kecemasan yang luar biasa.
Di masa putih abu-abu seperti ini, harusnya diisi dengan cinta-cintaan yang lucu dan menyenangkan, kan? Tetapi aku harus terjebak disituasi yang tidak aku inginkan seperti ini. Di satu sisi, pikiranku masih tertinggal di rumah sakit. Aku bahkan tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan keadaan Arini. Namun, di sisi lain, aku harus menghadapi Rebecca dan kesalapahaman di antara kami. Aku ingin mengumpat, tapi tidak memiliki tenaga apa pun untuk melakukannya. Jadi ketika Rebecca tersenyum dan menggandeng tanganku melewati gerbang sekolah, aku tak berkutik.
***
Mata pelajaran hari ini kosong selama 4 jam berturut-turut. Beberapa anak perempuan menghabiskan waktu dengan merumpi dan membahas banyak hal yang sepertinya terdengar menyenangkan. Sementara anak laki-laki tak banyak yang tinggal di kelas. Parkan dan teman-temannya memilik untuk menghabiskan waktu di luar kelas. Sesekali mereka membahas bola, atau menggoda siapa pun—terutama adik kelas yang tanpa sengaja melintas di depan kelas kami.
Sementara di sudut ruangan, mataku terpaku pada sebuah artikel mengenai kejahatan kekerasan seksual yang menimpa salah satu murid sekolah sebelah berinisial A. Terakhir aku dengar dari Mas Nana, Om Ahmad sudah mengajukan laporan di kepolisian. Tetapi aku benar-benar tidak menyangka bahwa beritanya akan menyebar secepat ini. Tak hanya satu, belasan artikel bahkan muncul di saat yang bersamaan.
"Mendapat Tindak Kekerasan Seksual dari Sang Pacar, Seorang Siswi Berinisial (A) Mencoba Bunuh Diri.
Seorang remaja berusia 17 tahun berinsial A diduga mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan cara menyayat nadinya sendiri. Kejadian tersebut terjadi di salah satu perumahan di kawasan Jakarta Timur pada Selasa, 16 November 2021 sore. Tak hanya mencoba melakukan tindakan bunuh diri, A juga berusaha melukai orang-orang yang berusaha memberikan pertolongan.
Menurut informasi yang diperoleh, A diperkosa oleh pacarnya sendiri (S) dan mendapatkan tindak kekerasan seksual selama menjalin hubungan. S, yang tak lain juga kakak kelas korban, saat ini telah masuk ke dalam daftar pencarian orang—"
Aku menutup laptop dengan cepat. Tak sanggup membaca artikel tersebut sampai selesai. Rasanya seperti ada sesuatu yang ingin meledak di dalam kepalaku. Sesuatu yang terasa panas dan berputar-putar. Membuat kepalaku semakin berat dan pengang. Gelak tawa dan keramaian yang terjadi di dalam kelas selama jam kosong berlangsung tak membuat keadaanku menjadi lebih baik. Ada dorongan supaya aku meninggalkan sekolah dan menuju rumah sakit detik itu juga. Supaya aku bisa melihat keadaan Arini dengan mata kepalaku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Fiksi RemajaBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...