Di dunia ini, semua orang pasti mengusahakan yang terbaik untuk hidup mereka. Berusaha semaksimal mungkin agar mereka mampu mencapai titik tertinggi. Sama seperti orang lain, aku juga begitu. Aku selalu berusaha semaksimal mungkin dalam setiap hal yang aku lakukan, tapi tidak peduli seberapa keras aku berusaha, aku seperti berhenti ditempat yang sama. Tak jarang, fase-fase semacam ini membuatku merasa bahwa aku adalah lambing dari kegagalan. Tidak ada sesuatu yang bisa aku selesaikan dengan baik.
Aku menghela napas panjang saat melihat hasil ulangan harian matematikaku kemarin. Angka 60 dengan warna merah terang. Tapi tidak seperti aku yang meratapi betapa gagalnya diriku, Kak Ros justru tertawa terbahak-bahak di sampingku. Saat ini, kami sedang duduk bersama di ruang tengah. Mama menyelesaikan sisa rajutannya bulan lalu, Bang Tama dengan ponsel dan dialognya dengan Mbak Laras, Mas Nana dengan laptopnya, sementara Cetta dan Mas Jovan dengan televisi yang menyala.
"Itu sih masih mending, daripada Jovan? Juara bertahan di angka 40." Kata Kak Ros, hanya untuk mendapat lirikan tajam dari Mas Jovan.
"Kan dari dulu gue emang nggak ada bakatnya di matematika." Seperti dugaan, Mas Jovan menjawab dengan nada suara yang teramat santai. Seolah nilai 40 dalam ujian matematikanya bukanlah sesuatu yang serius.
"Gue juga pernah dapat 50." Tiba-tiba saja Mas Nana menyahut, dengan sedikit tawa sebelum akhirnya ia menoleh ke arahku. "Katanya lo nggak suka sama matematika? Ya nggak heran, lah."
Aku pikir manusia-manusia ini akan meledekku atau setidaknya berkata padaku bahwa aku harus rajin belajar agar mendapat nilai yang bagus. Di luar dugaan, mereka justru pamer tentang siapa yang paling bodoh dalam mata pelajaran matematika. Aku jelas melongo, dan hal tersebut membuat Kak Ros kembali tergelak.
"Nggak usah sedih, kamu bukan satu-satunya orang yang kurang pinter masalah matematika. Masih ada mereka semua." Kak Ros masih berkata dengan nada jenaka. Dia justru dengan seenaknya menunjuk mulai dari Bang Tama, Mas Jovan, sampai dengan Mas Nana dengan percaya diri. Yang lebih mengherankan adalah, tidak ada satu pun dari manusia-manusia itu yang melakukan penyangkalan.
"Tidak pandai dalam matematika, bukan berarti tidak pandai dalam bidang lain, kan?" kata Mama. "Mas Jovan juga nggak bisa hitung-hitungan, tapi dia pinter benerin motor. Mas Nana juga, dia nggak sepintar Kak Ros kalau masalah matematika, tapi dia jago menulis buku, kan? Sekarang tinggal kamu cari tahu, kamu pandainya dalam bidang apa?"
Dan inilah yang paling membuatku merasa tertekan. Aku selalu merasa tidak pernah pandai dalam hal apapun. Aku selalu tertinggal dari orang lain karena aku hampir tidak mengenali diriku sendiri. Apa yang aku suka, apa yang aku mau, dan apa saja yang ingin aku lakukan. Mama selalu berkata bahwa hal yang aku senangi harus bermanfaat untuk diriku dan untuk orang lain. Sementara satu-satunya hal yang aku sukai hanya soal antariksa. Jadi apa yang bisa aku lakukan dengan hal itu? Aku yakin mereka semua pasti akan menertawakan keinginan terbesarku dalam bidang itu.
Hampir setiap hari, kepalaku terasa penuh, oleh ketakutan dan ekspetasiku sendiri. Mamaku baik, kakak-kakakku juga hampir tidak pernah menuntutku ini dan itu. Tapi terkadang ada ucapan Mama dan kakak-kakakku yang membuatku seperti terperosok dan membatin, "kenapa mereka harus memiliki diriku yang selalu gagal?" aku bahkan sering merasa patah hati setiap melihat Cetta di sekolah. Anak itu hebat sekali, sering dielu-elukan karena prestasinya yang cemerlang. Dan ketika aku melihat betapa bersinarnya dia di sekolah, kedua pundakku tiba-tiba seperti merosot dan aku berakhir bergumam pada diriku sendidi, "kenapa anak sehebat Cetta bisa punya adik sedongo gue, sih?"
Itu menyakitkan, ketika kamu ingin diterima oleh orang di sekelilingmu tapi justru dirimu sendiri yang tidak bisa menerima segala bentuk kekuranganmu.
"Udah, nggak usah sedih gitu. Kan batas kemampuan lo emang cuma sampai di situ. Mau lo jungkir balik belajar pun kalau emang bukan bidang lo buat berhasil, ya lo tetap nggak akan berhasil. Lo nangis sampai keluar darah pun tuh nilai nggak mungkin tiba-tiba jadi 90, kan?" aku menarik napas panjang saat Mas Jovan berkomentar seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Novela JuvenilBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...