Mungkin sebagian orang sedang bertanya-tanya saat ini. Tragedi apa yang baru saja terjadi sampai seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu terlihat berlarian sepanjang halaman depan rumah sakit? Hal menyakitkan apa yang sedang dia hadapi saat ini sampai wajahnya basah kuyup oleh air mata? Aku bahkan nggak ingat sejak kapan tali sepatuku terlepas, atau salah satu kancing seragamku yang hilang entah ke mana.
Langkah kakiku berhenti tepat di depan gedung trauma center yang ramai. Dari jarak beberapa meter, seorang satpam memperhatikan gerak-gerikku dengan lekat. Dia nyaris mendekat, sebelum akhirnya terhalang suara gaduh yang terjadi di belakangnya. Beberapa orang berhamburan keluar, sementara satpam tersebut justru masuk ke dalam.
Diriku yang berantakan memaksakan diri untuk mengekor di belakangnya, hanya untuk membiarkan sekujur tubuhku kembali tersentak. Aku pernah bersumpah, bahwa semenjak hari itu, aku nggak akan pernah sudi menginjakkan kakiku di lantai rumah sakit. Tetapi hari ini, aku membuat sumpah itu tercerai-berai.
"JANGAN MENDEKAAAT!!" Teriakan itu lantang sekali. Disambut pekikan panik dari pengunjung Instalasi Gawat Darurat. Menggema dari satu sudut ke sudut yang lain, lalu diterima oleh telinga bersama isakan yang nanar.
"JANGAN ADA YANG MENDEKAT!!!!" Saat salah seorang dokter mendekat, ia memekik lagi. Kali ini jauh lebih nanar dari yang pernah ia teriakan.
Darah kental tak hanya melumuri kedua tangannya yang memegang pisau bedah, tetapi juga kedua kaki jenjangnya. Rambut panjangnya yang selalu menjadi favoritku, hari ini nampak berantakan. Beberapa helainya nampak berjatuhan di lantai—bersama jejak-jejak darah yang menetes dari tubuhnya.
"Kin, Arini mau coba bunuh diri." Suara Tante Mia di seberang telepon tadi terus-terusan menggema di dalam kepalaku. Berulang-ulang tanpa henti. Hingga membuat isi perutku bergejolak, juga detak jantungku yang menjadi tak beraturan. Aku hampir tak percaya saat Tante Mia berkata demikian. Tetapi saat aku memintanya untuk mengulang penyataan itu, yang aku dengar tetap saja sama. Dan itu seperti memukulku secara telak.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin kutemui jawabannya. Apa yang terjadi? Apa yang aku lewatkan sampai aku tidak mengetahui masalah yang sedang dihadapi Arini? Keluarganya baik-baik saja, dia memiliki banyak teman yang solid, prestasinya pun tidak perlu diragukan lagi. Lalu apa yang membuatnya harus berada dalam kondisi seperti ini?
Petugas rumah sakit mencoba mengambil tindakan, begitu juga kedua orangtua Arini yang berusaha untuk mengajaknya bicara. Tetapi gadis berambut panjang itu terus melangkah mundur, sambil menggumamkan satu kalimat yang selalu saja sama, "Sekali lagi kalian mendekat, kalian akan lihat aku mati detik ini juga!" Dia bahkan tak gentar saat menghunuskan pisau bedah itu ke lehernya sendiri.
Kali pertama aku patah hati adalah saat aku gagal mengatakan pada Arini bahwa aku mencintainya. Kali kedua patah hati adalah saat aku mengetahui fakta bahwa Arini mulai dekat dengan seorang kapten tim basket bernama Sanjaya. Dan di antara patah hati-patah hati yang pernah terjadi, aku nggak pernah merasa sepatah ini. Bahkan saat mataku tanpa sengaja bersitatap dengan mata Tante Mia dan Om Ahmad, segalanya terasa luluh lantak. Ada tatapan penuh permohonan sekaligus keputus asaan di sana. Sama seperti Arini, Tante Mia menangis keras. Lagipula, siapa yang sanggup menghadapi anak semata wayangnya tengah hancur seperti sekarang. Aku rasa, sosok semenakutkan Om Ahmad pun akan menjadi tak berdaya.
Dalam kekacauan itu, Arini terus berjalan mundur. Sambil sesekali menghunuskan pisau bedah yang ia genggam, mengancam siapa pun yang berusaha untuk mendekat ke arahnya. Lantas dengan hati yang lebam-lebam, aku memutar jalan. Melewati kerumunan untuk menjangkau Arini dari belakang. Di saat-saat seperti ini, otakku terasa kosong. Nggak ada yang bisa aku lakukan selain melangkahkan kaki dengan pasti ke arahnya. Semakin dekat dan mendekapnya dengan erat dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Teen FictionBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...