Kalian pasti berpikir bahwa aku memiliki banyak teman, kan? Maka pemikiran kalian adalah salah besar. Aku tidak memiliki teman bahkan sejak kelas 10. Tidak satu pun. Dulu di kelas 10, setidaknya aku masih memiliki teman sebangku meskipun dia agak terpaksa. Namun karena di kelas 11 kami kedatangan murid baru dan jumlah siswa menjadi ganjil, aku tidak memiliki teman satu bangku. Di ujung ruangan dekat jendela dan tempat digantungnya sapu-sapu, aku duduk sendirian. Sebenarnya tidak sendirian-sendirian amat sih, karena tempat ini telah menjadi pemukiman nyamuk bahkan sebelum aku naik kelas dan pindah ke kelas ini. Jadi biarkan aku berkata bahwa aku punya teman; nyamuk.
Orang-orang selalu menganggapku aneh hanya karena aku sering bicara sendirian. Beberapa gosip di kelas 10 dulu bahkan ada yang mengatakan bahwa aku berteman dengan hantu, makanya mereka sering melihatku bicara sendirian (yang katanya aku sedang bicara dengan teman hantuku). Tapi sampai sekarang, aku sama sekali tidak ingin berkomentar apapun tentang tuduhan itu. Entah kenapa, aku terlalu malas.
Hal tersebut bukan lantaran aku bisa melihat hantu atau sedang berhalusinasi, tapi entah kenapa, berbicara sendirian membuatku jauh lebih nyaman daripada bicara dengan orang-orang yang tidak sefrekuensi denganku. Ini bukan berarti aku tidak pernah bicara dengan siapa pun di sekolah ini, hanya saja, intensitasnya cukup jarang aku lakukan. Kami hanya bicara jika ada hal-hal penting saja.
"Jaya!" baru saja aku duduk, seseorang terlihat merengut dari depan pintu. "Gue lihat lo berangkat duluan ya tadi. Kemana aja lo?"
Namanya Safira, ketua kelasku yang galaknya ngalah-ngalahin guru BK. Kerjaannya selain tukang ngadu jika ada yang mencontek saat ujian, adalah membahas PR yang tidak seharusnya di bahas. Dia adalah musuh 1 kelas, tapi setidaknya dia masih punya seorang teman bernama Nabila. Teman dengan watak yang tidak jauh berbeda.
"Boker." Aku menjawab sekenanya.
"Piket lo! Udah tahu jadwal piketnya hari senin, datangnya ngaret mulu."
"Udah tahu gue orangnya ngaret, jadwalin hari sabtu kek."
Safira jelas melotot. "Banyak bacot lo. Nih, nyapu. Bagian kanan biar anak cewek, lo sama kawan-kawan lo sebelah kiri."
"Iye." Dan aku tidak punya pilihan lain selain berkata demikian. "Taruh aja sapunya di situ, entar gue sapuin." Kataku, lalu bergegas keluar kelas lagi setelah meletakkan tasku di atas bangku.
"Eeeehhhh, mau kemana lagi lo?!" tiba-tiba saja Safira menarik lengan seragamku.
"Mau sarapan dulu gue. Belom sarapan nih."
"Nggak! Gue nggak mau denger alasan basi lo itu." Gadis itu menyeretku dan menyodorkan sapu dengan wajah garang. "NYAPU!"
"Pir, gue belum sarapan, sumpah!" Safira benar-benar keterlaluan jika dia tidak menangkap betapa melasnya wajahku saat ini. Aku bahkan tidak terlihat sedang berbohong saat berkata bahwa belum sarapan. "Entar kalau gue pingsan pas upacara gimana?"
"Tampang anak mama kayak lo mana mungkin belum sarapan?" gadis rambut sebahu itu terlihat berdecih.
Entah karena aku yang memang tidak mood sejak pagi gara-gara bertengkar dengan Mas Nana atau karena Safira yang menyebalkan, ucapannya tiba-tiba saja membuatku kesal. Akhirnya tanpa mendebat anak itu lebih jauh, aku merebut sapu yang dipegangnya dengan kasar dan melewatinya dengan raut wajah kesal.
"Kasar banget sih lo!" anak itu kembali bersuara.
"Kan bisa mintanya baik-baik!" dan dia berakhir sewot sendiri karena aku benar-benar tidak mempedulikannya.
Aku benar-benar tidak mengerti kenapa semua orang menyebutku sebagai anak mama. Aku bahkan nyaris tidak pernah merengek pada mama di rumah. Kalau pun ada anak yang disebut sebagai anak mama, maka orang itu adalah Cetta. Sampai hari ini pun aku tidak paham, apa yang membedakan kami sampai-sampai mama lebih memprioritaskan Cetta dibanding aku. Tahun ini saja dia dibelikan motor sementara aku tetap tidak mendapatkan apa-apa. Keputusan itu diambil karena mama berpikir, tidak mungkin selamanya kami di antar jemput oleh Kak Ros. Mengingat jarak kantornya dengan sekolah kami berlawanan arah. Belum lagi dia yang akan menikah dalam waktu dekat, jelas bahwa kami sudah tidak akan menjadi prioritasnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Teen FictionBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...