"Lo punya mimpi?" aku melongok ke bawah, ke arah Cetta yang masih sibuk dengan buku-buku keramatnya. Padahal ini sudah tengah malam. Anak itu masih bisa belajar besok lagi, jadi kenapa dia harus memforsir diri seolah ini adalah hari terakhirnya bisa belajar?
"Kan lo tahu, gue pengen bisa bikin robot." Aku sudah menduga dia akan menjawab begitu. "Yang gede."
"Nggak jadi pengen punya perkebunan manggis?"
"Nggak jadi." Dia menyahut cepat.
"Kenapa?"
"Karena gue tahu gue nggak ada bakat jadi pengusaha. Gue lebih pengen jadi seniman yang punya karya--kayak Mas Nana." Anak itu menjawab pertanyaanku dengan percaya diri. Sebuah jawaban yang tentu saja membuatku menghela napas panjang. Ketika jawaban itu begitu lama aku abaikan, Cetta tiba-tiba bersuara--dengan nada yang lembut, seakan dia benar-benar memahami kekhawatiranku.
"Kalau setiap jam segini lo cuma rebahan buat overthinking, mending lo keluar bantuin Mama sama Mas Nana bungkusin cookies pesanan orang-orang."
Sayangnya, aku malas turun dari ranjang untuk bergabung dengan pekatnya aroma butter dan coklat. Aku lebih nyaman begini, berbaring memperhatikan putihnya langit-langit kamarku dan--suara buku yang dibalik. Mungkin ini kedengaran aneh, tapi aku senang menemani Cetta belajar. Karena setiap halaman buku yang dia balik memberiku ketenangan. Karena setiap keheningan yang ada di antara kami memberiku kesempatan untuk berpikir jauh lebih dalam. Karena... aku terlalu malas bertemu dengan orang-orang dan bicara dengan mereka.
"Cetta?" setelah kembali menarik napas panjang, aku kembali bersuara. "Lo Bahagia?"
Di luar dugaanku, anak itu membisu. Ia berhenti membalik halaman buku yang tengah dibacanya dan menatap kotak pensil di hadapannya dengan pandangan menerawang. Padahal pertanyaanku tidak lebih sulit dari soal alogaritma yang membutuhkan waktu lama untuk berpikir. Aku hanya bertanya, apakah dia bahagia? Dengan hidup kami yang seperti ini, apakah dia merasa cukup dengan hidupnya?
"Lo sendiri?" dia justru balik bertanya.
"Nggak tahu." Karena memang begitu kenyataannya. "Harusnya gue jawab 'iya, gue bahagia' dengan hidup kita yang serba cukup. Kita hidup di tengah keluarga yang bahkan nggak pernah menuntut kita buat jadi yang mereka mau. Kita punya rumah yang bagus, punya banyak barang-barang yang bagus, kita juga bisa makan apapun yang kita pengen, tapi kenapa gue kayak biasa-biasa aja ya? Apakah ini berarti gue kurang bersyukur?"
Sama seperti tadi, Cetta masih tidak mengatakan apa-apa. Dia masih sibuk dengan bukunya-mengabaikan pertanyaanku. Hal tersebut jelas membuatku terganggu, tapi aku tidak bisa melontarkan pertanyaan yang sama karena aku tahu, Cetta tidak suka ditanya 2 kali. Kalau dia ingin menjawab, maka dia akan memberi jawaban dengan lugas. Sebaliknya, dia akan menghindar jika dia tidak ingin mengatakan apapun.
Akhirnya, yang berlangsung di antara kami adalah keterdiaman yang panjang. Malam semakin larut karena kami mulai tidak mendengar keramaian di luar rumah. Hanya terdengar suara dentingan tiang listrik 15 menit yang lalu--tanda bahwa lingkungan komplek dalam keadaan yang aman. Selebihnya, kami tidak mendengar suara apapun selain suara hela napas kami masing-masing.
"Harusnya hidup kita sempurna, tapi tanpa bapak sama Bang Sastra, rasanya udah nggak lagi sama. Rumah ini udah kehilangan esensinya semenjak mereka nggak ada." Tutur Cetta, tepat ketika aku baru saja memejamkan mataku.
"Gue masih sedih, tapi gue nggak ingin meratapi mereka. Gue nggak ingin melewati batas yang udah Tuhan tentuin, termasuk dalam hal kehilangan orang-orang yang penting buat kita. Dan gue tahu lo masih sama sedihnya--semua orang di rumah ini juga gitu. Kita Cuma nggak ingin terlalu jelas nunjukin kalau kita masih ngerasa kosong aja. Lebih dari itu, kita malah kayak keong yang nggak punya rumah. Tapi Jaya," Cetta berhenti bicara dan meninggalkan bukunya untuk menatapku dengan sorot matanya yang kelam. "Kita udah nggak bisa ngapa-ngapain selain berdoa dan melanjutkan hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Novela JuvenilBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...