Seperti ultimatum yang Bu Nia sampaikan, aku dipulangkan 1 jam lebih awal dari jadwal seharusnya. Tetapi alih-alih pulang, aku memutuskan untuk menunggu di warung kopi yang berada persis di seberang jalan. Menghabiskan secangkir teh manis—karena kopi pahit tidak terlalu cocok diminum di saat seperti ini—juga 4 mendoan sebagai pengganti makan siang.
Aku nggak suka nongkrong, terlebih saat seseorang yang kuanggap tidak terlalu dekat denganku, duduk di seberang meja dengan tatapan mata yang terus saja tertuju ke arahku. Sudut-sudut bibirnya tertarik. Antara sedang memikirkan sesuatu yang lucu, atau dia memang sedang meremehkanku saat ini.
"Kalau lo cuma mau ngeledek gue, mending lo pergi," sungutku pada Parkan. Masih dengan pandangan yang terus tertuju ke arah gerbang sekolah. Berharap aku tidak melewatkan Rebecca dan memiliki kesempatan untuk bicara dengannya. Jujur, aku pikir masalah fisika dan matematika adalah masalah paling kompleks yang pernah aku hadapi, nyatanya aku salah. Kehidupan menjelang dewasa ternyata sulit untuk ditebak. Dan aku hampir tidak pernah membayangkan akan terjebak dalam situasi yang seperti ini.
"Gue pernah denger nih ya, katanya, cuma ada 2 tipe cowok di dunia ini," ucapnya, sesaat setelah menelan mendoan yang sebelumnya ia kunyah begitu lama. "Pertama, mantan bajingan. Kedua, calon bajingan."
Aku meliriknya sekilas, lalu kembali melemparkan pandangan ke arah gerbang.
"Dan lo nih, tipe yang nomer 2." Kemudian anak itu tertawa terbahak-bahak. Seolah apa yang baru saja dikatakannya adalah sesuatu yang lucu. "Jangan-jangan sikap pendiam lo selama ini tuh cuma kedok doang ya?" Usai mengatakan itu, Parkan mencondongkan tubuhnya, "Bro, udah berapa cewek yang lo gaet?"
Aku melirik ke arahnya lagi. Antara ingin menggampar mulutnya, atau mengajaknya duel seperti Rion tadi. Tetapi tidak, aku nggak mood mendengar omelan Mas Nana lagi. Dan terlebih, luka ditanganku masih belum sepenuhnya membaik. Kalau bukan karena malu, sepertinya aku ingin menangis saking tidak kuatnya menahan perih yang menjalar. Aku pikir luka seperti ini bisa terlihat keren seperti di drama-drama Korea, ternyata itu semua bohong. Aku yakin, Ji Chang Wook atau Lee Min Ho pasti juga kepengen nangis kalau kena tembak.
Malas meladeni Parkan dan isi kepalanya yang aneh itu, aku kembali memperhatikan keadaan gerbang. Dan tepat saat itu, Rebecca muncul dari sana. Tidak seperti saat bertemu denganku tadi, raut wajahnya cerah. Dia keluar gerbang sambil bergandengan dengan 2 orang teman perempuannya. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, senyumnya merekah. Seolah apa yang mereka bicarakan saat ini terdengar begitu menarik. Rebecca yang terlihat saat ini, benar-benar berbanding terbalik dengan Rebecca yang aku lihat pagi tadi.
"Lo lihat cewek yang matanya biru itu?" tanyaku pada Parkan.
Anak itu menoleh, lalu menyipitkan matanya pada kejauhan. Meneliti satu per satu murid-murid yang baru saja keluar dari gerbang.
"Yang mana?"
"Yang jalan bertiga. Yang lagi ketawa-ketawa itu!"
"Yang tasnya mejikuhibiniu itu?" Parkan semakin menajamkan matanya.
"Bukan, yang sebelahnya. Cewek yang di tengah," jelasku kemudian.
"Oooohh, cewek anime ituuu!!!" Begitu menemukan target yang aku maksud, Parkan menoleh ke arahku. "Yang namanya ada Jepang-Jepangnya itu, kan? Yang fansnnya seantero sekolah?"
"Fansnya seantero sekolah?" Kali ini, justru aku yang menyipitkan mata. Namun, alih-alih menjawab dengan cepat Parkan justru tergelak.
"Anak-anak cowok di sekolah ini, kan, mayoritas wibu. Nemu orang yang mukanya spek anime dikit of course langsung dipuja-puja. Yaelah, jangan belaga polos deh lo. Lo pasti wibu juga kaaan?? Ngaku lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Novela JuvenilBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...