Bagian 17

16.4K 3.7K 524
                                    

Apa yang salah dari mencintai orang lain? Aku rasa nggak ada. Hanya saja, semalam suntuk aku memikirkan ucapan Mas Jovan. Perihal jatuh cinta yang katanya suka bikin goblok mendadak. Aku rasa itu benar adanya. Kita ambil contoh saja Cetta. Kita tahu sendiri secerdas apa anak itu selama ini. Si paling realistis dan selalu bisa memecahkan banyak persoalan dengan mudah, tapi masalah memutuskan Karina, dia malah menjadi manusia paling dungu. Lihat saja sekarang! Sejak bel istirahat berbunyi dan aku memperhatikannya dari balkon yang berada di depan kelasku, dia sibuk bermain basket padahal jelas-jelas ada Karina di dekatnya. Mungkin selama mendribble bola, anak itu sibuk membatin, "putus sekarang atau besok?" karena agenda itu memang belum juga terlaksana sampai sekarang.

Nah, kalau si cerdas Cetta saja bisa mendadak bego masalah beginian, apalagi aku?

"Jaya!" pekik seseorang. Ketika aku menoleh, Raisa melongok dari jendela dan melambai ke arahku. "Sibuk nggak?"

"Sibuk," jawabku singkat.

"Sibuk apa?" Kali ini gadis berambut bob itu mengernyit.

"Sibuk ngelamun." Seperti dugaanku, Raisa mencebik dan melempariku dengan tatapan yang sangat tajam. Malas membuat keributan seperti yang sudah-sudah, aku mendekat ke arah Raisa dengan langkah lunglai. Dan hanya dengan begitu saja aku membuat tatapannya berubah drastis. Dia bahkan memberiku senyuman yang lebar nan manis. "Kenapa?" tanyaku, begitu tiba di hadapannya.

"Bantuin gue balikin buku-buku ini ke perpus. Lo, kan, tinggi tuh."

"Kenapa nggak ngajakin Parkan aja, sih? Bukannya biasanya kerjaan dia ya?"

"Udah 2 hari ini dia nggak masuk. Masa lo nggak tahu, sih?" terang Raisa, sebelum akhirnya gadis itu terkekeh dan berjalan mendahuluiku keluar kelas.

Sejak dulu, aku hampir tidak pernah dekat dengan teman-teman sekelasku. Hanya sekadar tahu dan mengenal seadanya, mengobrol seperlunya, dan memutuskan untuk tidak mencampuri urusan satu sama lain. Termasuk Parkan, si anak basket yang setahuku jarang sekali mengikuti kelas. Anak itu bebalnya bukan main, tapi karena dia cerdas, dia selalu terselamatkan dalam berbagai situasi berbahaya. Jadi, siapa yang akan mengira bahwa dia tidak masuk selama 2 hari jika biasanya masuk kelas saja jarang?

Selama perjalanan mengekori Raisa menuju perpustakaan di lantai dasar, aku mulai bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Sebenarnya, apa yang aku dapatkan selama sekolah? Menjadi pintar? Boro-boro, chat dari Rebecca kemarin saja aku harus buka google translate dulu. Punya banyak teman? Aku bahkan nggak yakin menyebut mereka sebagai teman. Kami hanya bertemu di sekolah dan nggak pernah menghabiskan waktu lebih dari 7 jam dalam sehari. Karena kegiatan ekstrakulikuler di SMA lebih bebas dari masa-masa SMP, aku nggak mengikuti kegiatan satu pun. Kecuali pramuka karena memang kegiatan tersebut hanya 2 minggu sekali sebagai syarat kenaikan kelas.

Harusnya, masa sekolah seperti ini adalah masa-masa yang menyenangkan. Punya banyak teman, punya banyak kesempatan mengeksplorasi masa muda, punya banyak pengalaman. Bahkan ketika melewati koridor dekat lapangan basket, aku menatap Cetta dan teman-temannya dengan tatapan menerawang. Aku juga ingin bermain basket bersama teman-temanku seperti itu. Saling mengumpat karena bola gagal masuk ring, saling bersorak dan meledek tim lawan.

"Seru, kan?" tanya Raisa. Tiba-tiba saja gadis itu memperlambat langkah kakinya dan menjajari langkahku. Tatapan matanya yang berbinar itu menatap lurus ke depan, tapi aku yakin pasti dia sedang bicara denganku. Di sebelahnya, aku tidak memberikan respon apapun dan menunggu dia untuk melanjutkan ucapannya. "Dan bakalan lebih seru lagi kalau lo bisa bergaul kayak gitu juga. Kalau lo nggak bisa main basket, lo bisa belajar. Tapi kalau ternyata lo bisa sejago abang lo itu, kemungkinan besar lo bisa ikut turnamen juga kayak Parkan."

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang