"Keluar dari zona nyaman?" tanya Arini, sesaat setelah melahap sosis bakarnya dalam ukuran besar. Mulutnya yang kecil terlihat mengembang, persis seperti roti yang kebanyakan baking soda. Binar mata yang tersorot lampu jalan menoleh ke arahku dengan antusias. Lalu perlahan-lahan, aku mengangguk. Balik menatapnya dengan pandangan yang sama.
"Iya, keluar dari zona nyaman. Raisa bilang, kayaknya ada yang salah sama gue. Dan gue rasa," Jeda beberapa saat karena aku sedang menelan sosis bakarku. "Apa yang dia bilang sama gue itu bener."
Berhadapan dengan lalu-lalang jalan yang berisik, di mana lampu kemuning jalan menyoroti kami bak tokoh utama sebuah panggung opera. Diam-diam, berisiknya Kota Jakarta malam itu mengirim angin sejuk ke sela-sela rambut kami. Malam ini, Arini mengajakku keluar setelah hampir satu bulan kami nggak pernah ketemu. Dia dengan kesibukannya, begitu pun aku dengan kesibukanku. Destinasi perjalanan malam ini berujung pada angkringan tak jauh dari Indomaret langganan kami. Selain makanan di angkringan ini murah untuk kantong remaja krisis seperti kami, kami nggak perlu berjalan terlalu jauh hanya untuk mengenyangkan perut.
"Gue terlalu egois karena selalu mikirin diri gue sendiri dan nggak pernah mau memperhatikan sekeliling gue," sambungku setelah itu. Di sebelahku, Arini diam mendengarkan. "Lo inget Rebecca yang gue ceritain waktu itu, kan?" tanyaku, hanya untuk membuat Arini mengangguk pelan. "Gue pikir selain lo, cuma dia yang mau bener-bener temenan sama gue. Tapi setelah gue ngobrol banyak sama Raisa, gue salah."
"Jadi, sekarang lo udah punya banyak temen?"
Sambil terkekeh, aku menggeleng. "Nggak sebanyak yang lo pikir, tapi seenggaknya gue udah bisa ngobrol sama manusia lain di kelas."
"Terus, gimana rasanya bisa ngobrol sama manusia--selain gue dan Rebecca?" tanya Arini untuk kesekian kalinya. Pertanyaan gadis itu membuatku ingin tertawa terbahak-bahak. Dia seolah ingin memvalidasi bahwa selama ini aku hanya bisa ngobrol sama nyamuk dan amuba. Lah, dia pikir selama ini aku ngobrol dengan siapa di rumah? sama biota laut?
"Seru!" Tetapi aku memutuskan untuk memekik girang alih-alih memprotes pertanyaannya. "Meskipun kadang gue nggak ngerti sama apa yang mereka bahas dan gue cuma bisa ngang-ngong doang nanggepinnya, tapi gue rasa nggak buruk-buruk amat lah."
Pembicaraan dengan Raisa tempo hari melahirkan pemikiran yang begitu pandang di dalam kepalaku bahkan sampai berhari-hari setelahnya. Aku mulai bertanya-tanya bagian mana yang salah? Apa yang nggak aku mengerti sampai-sampai semuanya terasa begitu acak di hadapanku. Lalu aku menemukan satu jawaban yang semakin menyudutkanku; itu semua karena aku hanya melihat dari sudut pandangku sendiri. Karena segalanya terasa buram untukku, aku menolak siapa pun yang berusaha mendekatiku dengan dalih menyelamatkan diri sendiri dari dunia yang kejam. Agak kedengaran konyol, tapi tanpa sadar, aku benar-benar mendoktrin diriku seperti itu.
Hari berikutnya, aku masih duduk sendirian di kelas yang masih nggak berubah dari pertama kali aku menghuninya. Parkan kembali masuk dari turnamen dan menjadi juara 1 seperti turnamen-turnamen sebelumnya. Anak-anak masih sering memperhatikanku tanpa mengatakan apapun. Lalu dengan sisa-sisa keberanian yang aku miliki, aku mencoba mengajak mereka bicara terlebih dulu. Membahas sesuatu yang masih nggak aku mengerti, tetapi aku tetap berada di sana untuk mendengarkan begitu banyak cerita menarik.
Hari terus berganti, dan semakin banyak cerita yang aku dengarkan hampir setiap hari. Dengan canggung, sesekali aku mengiakan ajakan Raisa dan teman-temannya untuk mabar. Istilah populer yang baru aku tahu dari Cetta bahwa itu adalah kependekan dari main bareng. Entahlah, aku mengolok-olok Mas Jovan yang norak berulang-ulang kali, tetapi kenyataannya justru aku sendiri yang norak.
Ya, begitulah. Meski masih memiliki jarak yang begitu kentara, aku mencoba untuk bergaul dengan yang lainnya. Mencoba hal baru, pergi berbagai tempat, mencoba banyak makanan kekinian--yang nggak cocok sama sekali dengan seleraku, menghabiskan banyak waktu di luar rumah dan bertemu dengan banyak orang. Ini yang aku inginkan selama ini, bergaul. Tetapi aku nggak pernah berekspetasi bahwa bergaul ternyata nggak semudah yang aku bayangkan. Semuanya melelahkan dan menguras banyak energi. Satu-satunya tempat yang bisa membuatku kembali merasa hidup hanyalah tempat tidurku ... dan kesendirianku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Ficção AdolescenteBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...