Bagian 15

25.4K 5.1K 723
                                    

Di luar, hujan turun lebat. Rindangnya pepohonan di sekitar panti asuhan, juga bunga-bunga yang tumbuh subur di sekelilingnya membuat suasana menjadi lebih teduh dan tentram. Karena ini adalah pertama kalinya Rebecca bisa datang kemari setelah sekian lama, aku membiarkan anak itu sibuk dengan dunianya sendiri. Entah ke mana dia pergi, aku hanya menunggunya di sebuah ruangan dengan banyak sekali lukisan abstrak. Di bagian bawah lukisan tersebut memiliki label nama, kemungkinan pelukisnya adalah anak-anak asuh di sini.

Sebelum Ibu Ratna—Ibu Asuh Rebecca—meninggalkanku sendirian di sini, ia meminjamkan sebuah album foto dengan ukuran besar. Di bagian ujung atas sampul, tertulis nama Rebecca Izumi. Sudah sangat jelas, ini adalah album yang berisi potret masa kecil Rebecca.

Tidak seperti namanya yang berbau Jepang, sebenarnya Rebecca lebih cenderung terlihat seperti gadis-gadis dari Benua Eropa. Saat bertemu dengan gadis itu untuk pertama kali, sorot matanya bahkan mengingatkanku pada mata indah milik Alexandra Daddario. Sepasang mata yang tajam, tapi juga bisa terlihat lembut dalam satu waktu yang sama. Alisnya tebal, sementara bulu matanya panjang dan lentik.

Rebecca Izumi sepertinya menghabiskan 8 tahunnya ditempat yang tepat. Ia tumbuh dengan pelukan kasih sayang yang erat. Meski katanya ia ditinggalkan begitu saja di depan pagar panti, tapi akhirnya ia tumbuh menjadi seorang anak yang bahagia. Entahlah, tapi pancaran mata gadis itu terlihat begitu bersinar di dalam foto-foto ini. Di setiap tahun pun, ulang tahunnya selalu di rayakan dengan warna kue ulang tahun yang berbeda-beda.

Untuk beberapa lama, aku menarik napas begitu panjang. Kupenuhi paru-paruku dengan perasaan yang begitu ringan. Aku tak banyak menyukai gadis, tapi sepertinya Rebecca benar-benar berbeda dari yang lainnya.

Persis di sampingku, sebuah jendela jalusi di buka lebar sehingga udara segar dari hujan dan daun-daun basah di luar bisa masuk sepenuhnya. Aku memandangi rinai hujan yang jatuh dengan senyum tipis. Jujur saja, tempat ini terasa begitu nyaman. Seolah-olah aku sedang berada di dalam rumahku sendiri. Samar-samar, entah dari ruangan mana, ada suara bayi menangis, ada juga suara anak kecil saling tertawa. Lalu aku menyentuh dadaku, memejamkan mata untuk membawa semua suara-suara ini ke dalam pikiranku. Menyimpannya dalam kotak tersendiri, agar suatu saat aku bisa mengingatnya kembali dengan perasaan yang bahagia.

"Maaf ya, Mas, tehnya agak lama. Soalnya antri dulu bikin susu buat anak-anak." Aku menoleh cepat, hanya untuk menemukan gadis seumuran Rebecca datang membawa sebuah nampan berisi secangkir teh dan sepiring makanan ringan. Mungkin dia staff di sini? Entahlah.

"Nggak perlu repot-repot." Kataku, saat gadis itu menghidangkan suguhannya di atas meja. Lalu dengan senyum simpul, ia duduk di seberangku. Memberikanku sebuah tatapan yang nyaris tak bisa aku terjemahkan.

"Nggak repot sama sekali, justru kami senang kedatangan tamu. Omong-omong, pacarnya Rere ya?" Tanyanya, sedangkan aku menggeleng sungkan.

"Bukan, saya temannya." Memang benar, kan? Memangnya aku harus menjawab apa lagi?

Gadis dengan rambut coklat sebahu itu lantas melemparkan pandangannya ke luar jendela, persis seperti yang aku lakukan tadi. Beberapa detik setelah itu, ia menarik napas panjang. Entah apa yang ia lihat saat ini, yang jelas ia tersenyum begitu manis, "Saya dan Rebecca tumbuh bersama-sama ditempat ini. Fakta bahwa kami dibuang oleh orangtua kami memang kedengaran menyedihkan, tapi kami berusaha menerima itu dengan lapang. Mungkin, keadaan akan jauh lebih buruk kalau kami tinggal bersama mereka. Sejak kecil, Bunda selalu mengajarkan kepada kami, kalau Tuhan itu baik. Jadi, bukan masalah kalau kami tidak memiliki keluarga seperti anak-anak yang lain. Bagi kami, anak-anak yang pernah atau masih tinggal di sini, kehadiran Bunda dan Abah sudah lebih dari cukup." Papar gadis berwajah bulat itu. Ia mengatakan dengan nada suara yang tenang, dan aku benar-benar nyaman ketika mendengarnya. Ini seperti, aku tidak dipaksa menelan kesedihan orang lain. Lalu entah kenapa, aku berpikir bahwa panti asuhan sebenarnya tidak seburuk itu.

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang