Bagian 7

28.8K 7K 1.1K
                                    

Lagi-lagi aku tiba di sekolah dengan keadaan yang masih cukup sepi. Kantin bahkan belum buka ketika aku mencoba datang ke sana. Akhirnya, aku memilih duduk di dekat gazebo kelas IPA. Sambil menikmati kotak sarapanku--karena mungkin Mas Nana mulai kasihan melihatku berangkat sekolah tanpa sarapan. Aku cukup terkejut saat membuka kotak yang warnanya cukup mentereng ini--yang aku duga pasti milik Kak Ros. Aku hampir tidak bisa menduga apa motif Mas Nana membentuk nasi goreng seperti kepala kelinci, lalu memberi hiasan kumis dari wortel yang sengaja ia iris tipis. Tidak lupa apel yang dia potong dan ia bentuk dengan karakter yang sama.

"Ini kelincinya kena covid apa gimana? Mukanya merah begini." Aku meringis, namun tak urung menyendok nasi goreng tersebut dan melahapnya dalam ukuran yang cukup besar. Lagipula kenapa juga Mas Nana harus membentuk nasi gorengnya seperti ini kalau pada akhirnya dia akan aku obrak-abrik dan berakhir hancur lebur di dalam ususku? Aku biasa menyebut Mas Nana--kurang kerjaan.

Namun, tidak bisa aku pungkiri bahwa masakan Mas Nana selalu enak. Aku bahkan tidak mengerti kenapa laki-laki seperti Mas Nana rela mempelajari puluhan resep makanan rumahan padahal dia tidak memiliki kewajiban untuk memasak di rumah. Dulu, Kak Ros pernah menawarkan untuk mencari asisten rumah tangga supaya Mas Nana dan Mama tidak kerepotan mengurus rumah. Tapi keduanya sepakat bahwa mereka bisa mengurus rumah tanpa bantuan siapa pun. Aku yakin sih, siapa pun yang menjadi pasangan Mas Nana suatu saat nanti pasti adalah perempuan yang beruntung.

Karena Mas Nana itu serba bisa. Dia mungkin tidak terlihat tertarik dengan kelistrikan, tapi beberapa kali aku pernah melihat Mas Nana begitu serius membenahi terminal listrik rumah kami yang rusak. Atau membuat perabotan rumah dari kayu dengan alasan--biar hemat. Mas Nana juga pandai bersih-bersih. Mungkin itu bukan poin utama, hanya saja menurutku Mas Nana semakin terlihat mempesona karena dia adalah laki-laki yang rapi dan bersih. Aku saja selalu betah jika ngaso siang-siang di kamar Mas Nana.

Tunggu! Kenapa aku jadi membicarakan Mas Nana dan memuji-muji dirinya bukan main seperti ini? Karena sejujurnya aku masih jengkel dengan laki-laki itu setelah dia membuat aku kesetrum raket nyamuk kemarin siang.

"Ooh, kelinci kena covid ini pasti sebuah bentuk sogokan!" Gumamku begitu aku sadar bahwa bekal ini pasti memiliki motif terselubung. Apalagi bentuk timun yang ia cetak menyerupai bentuk hati ini--aneh. Lagipula kenapa bentuknya harus hati sih? Kenapa tidak berbentuk bebek atau kuda? Pasti lebih unik.

Baru ada beberapa murid yang datang ketika bekal sarapanku mulai habis--tentu saja setelah aku mengomentari bentuk sayurannya yang lebih mirip seperti kebun binatang. Beberapa di antaranya melewatiku dengan pandangan skeptis, mungkin mereka melihatku seperti seorang anak yang baru saja ditelantarkan orangtuanya.

Melihat anak-anak yang silih berganti melewatiku, aku jadi teringat tentang topi milik Rebecca Izumi yang aku pinjam kemarin pagi. Tiba-tiba saja aku merasa cemas dan bersalah karena tidak mengembalikannya tepat selepas upacara. Jadi sebelum sekolah semakin ramai, aku bergegas mengemasi kotak sarapanku untuk pergi menuju kelas 10 IPA 2.

Selain pelupa, sebenarnya aku cukup cerobah. Lupa membawa topi atau buku paket bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Aku pernah beberapa kali salah memasukkan jadwal pelajaran--atau yang paling parah, buku pelajaranku pernah tertukar dengan milik Cetta. Jadi sewaktu mata pelajaran berlangsung, aku harus tunggang langgang menukar bukuku dengan buku yang tanpa sengaja terbawa Cetta. Anak itu sampai pernah memarahiku habis-habisan di rumah. Aku sih biasa saja ya. Sudah kebal dimarahi orang-orang.

"Semoga yang punya nggak marah deh." Tuturku selama perjalanan menuju kelas Rebecca.

Setibanya aku di sana, aku hanya menemukan 1 orang siswi duduk di bangku paling ujung belakang. Dia terlihat menunduk, sibuk memperhatikan ponselnya dengan sepasang telinga yang tersumpal earphone. Untuk beberapa, aku menoleh ke sekeliling--tidak ada siapa-siapa selain aku dan gadis berambut panjang itu. Topi ini tidak mungkin aku tinggalkan begitu saja, paling tidak aku harus menitipkannya pada salah satu penduduk kelas. Jadi karena hanya gadis itu yang terlihat, aku mencoba memberanikan diri untuk mendekat.

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang