Escape & Begin

182 46 2
                                        

Napas mereka tersengal-sengal dengan keringat yang bercucuran. Stephen berhenti berlari berusaha menormalkan jantungnya.

"Stop, stop! Huh huh ... sepertinya mereka tak menemukan kita," ucap Stephen dengan napas yang masih tak beraturan.

Mereka lantas menghentikan langkah kaki yang sudah sangat kelelahan. Mereka merebahkan tubuh masing-masing pada sebuah batang pohon yang tumbang dengan ukuran yang terbilang cukup besar.

Beberapa waktu lalu Tuan Steve memang menyuruh mereka cepat-cepat kabur dari rumahnya. Ia tahu betul kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya. Penglihatannya tak pernah salah.

"Ares, m—maksudku Pangeran Ethan ... sekarang apa pilihanmu?"

Baru pertama kali setelah sekian lama ia dipanggil dengan nama aslinya. Rasanya sangat asing dan tidak mengenakkan. Lebih tepatnya tidak terbiasa.

"Itu ... panggil aku Ethan saja, mungkin aku harus kembali ke Canopus. Meskipun aku sendiri agak takut," ujar Ethan.

"Iya, kak Ethan."

"Kakak? Maksudmu?"

"Kau lebih tua empat tahun dariku, percayalah," balas Stephen.

Ethan hanya mengangguk mendengar pernyataan Stephen. Ia kira Stephen ini hanya berbeda beberapa bulan darinya, rupanya tidak.

"Haha, panggil Ethan saja aku lebih nyaman," ucap Ethan tertawa hambar.

Untuk sesaat, keadaan hening. Tak ada yang membuka pembicaraan. Tak ada topik yang dibahas. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Ethan dengan masa depannya, dan juga Stephen dengan kekhawatiran pada benaknya mengenai keadaan ayahnya.

Beberapa menit berlalu. Ethan kemudian mengambil posisi duduk setelah berbaring menatap langit yang agak terik mataharinya.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" ucap Ethan membuka suara dan hanya dibalas deheman kecil dari Stephen.

"Ibumu?"

Stephen langsung bangun dari posisi tidurannya. Ia tak mengerti mengapa dari sekian banyaknya pertanyaan harus hal ini yang dibahas.

"Apa?"

"Kau selama ini tinggal bersama ayahmu dan i—"

"Ibu mati," potong Stephen.

Baik. Sekarang Ethan merasa sangat bersalah dan menyesal menanyakan hal itu.

"Maaf, maaf, aku tidak bermaksud aneh-aneh."

Stephen hanya tersenyum kecil. Sepertinya dia tak marah. Namun tak ada yang tahu hatinya. Suasananya buruk.

"Bisakah kita kembali, aku ingin melihat ayah sebentar."

Raut mukanya memasang tanda kegelisahan. Stephen sudah tak tahan dengan pikirannya tentang ayahnya. Firasatnya mengatakan ia harus ke sana.

Ethan langsung berdiri bersamaan dengan Stephen. Langkahnya cepat dengan hatinya yang masih diliputi rasa khawatir.

"Stephen, di sini sepi."

Mereka masuk melewati pintu belakang, mengendap-endap karena takut jika orang-orang Canopus itu masih ada di sini.

"Aku ke depan sebentar."

Sekarang Ethan berada di dalam rumah kuno ini sendirian. Sebenarnya hawanya agak menyeramkan. Ia tidak terbiasa melihat benda-benda kuno di rumah ini.

Namun ada satu benda yang memikat pandangannya. Sebuah lukisan berisi ayah, ibu, dan bayinya. Ia berjalan mendekati benda tersebut.

"AYAH!!!"

Terkejut. Ia urungkan niatnya dan segera pergi ke depan. Ia mendengar teriakan Stephen. Ia takut Stephen kenapa-napa karena dialah satu-satunya yang dapat membantu Ethan sekarang.

Semuanya jadi kacau. Ia kaget melihat Tuan Steve yang sudah tak bernyawa berada di pangkuan sang anak.

Ia dapat melihat luka tusukan yang dalam dan sepertinya menembus hingga ke depan.

Stephen hanya menangis tak dapat berbuat banyak. Sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa ia tak punya siapa-siapa lagi.

Ethan pula tak dapat berbuat sesuatu. Ia bingung sekarang. Ethan mendekat memegang pundak Stephen dan berkata "Aku, kau masih punya aku. Sekarang kau adikku. Aku akan terus menjagamu, janjiku di depan ayahmu."

Stephen masih diam dan menangis. Sepertinya dia syok karena kejadian ini. Namun sekali lagi tak ada yang tahu isi hati seseorang. Ya, Stephen marah pada mereka.




[Njrit asing bgt gw panggil nama Ethan]

ETHAN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang