Meimei masih terdiam sembari memandangi layar telepon genggamnya. Sekarang sudah sangat jelas dipikirannya bahwa nomor telepon genggam itu adalah nomor telepon genggam milik Seokjin.Meimei hanya bisa memaki dirinya di dalam hati. Entah apa yang harus dia katakan sebagai alasan kepada Seokjin.
Sembari menarik nafas panjang dan menghembuskannya, Meimei mempersiapkan dirinya untuk menerima apapun pertanyaan yang akan Seokjin berikan.
Dengan jantung yang saat ini berdebar hebat, Meimei menekan tombol hijau di layar telepon genggamnya.
"H-halo." Ucap Meimei yang sialnya terbata. Dan dia kembali memaki dirinya karena hal itu.
"Kau menelponku?" Suara yang sangat familiar di telinga Meimei, terdengar.
Seokjin, sudah pasti itu adalah suara milik Seokjin. Hal yang membuat Meimei memejamkan matanya dengan dalam.
"Maaf. Aku salah memasukan nomor telepon." Meimei mau tidak mau harus mengakui apa yang terjadi. Dia tau bahwa dia akan berakhir dengan mengucapkan kebohongan untuk menutupi kebohongan yang nanti akan dia buat. Karena itu untuk sekarang, mengatakan hal yang sejujurnya adalah pilihan satu-satunya yang dimiliki Meimei.
Tidak ada respon yang Seokjin berikan.
Senyap.
Tidak ada suara apapun.
Hal yang membuat Meimei ingin mengeluarkan suara "Apakah kau masih disana?" Sayangnya Meimei tau dia tidak bisa memberikan pertanyaan itu.
"Kau, masih menyimpan nomor telepon genggamku?" Seokjin akhirnya membuka suaranya.
Sial! Seharusnya Meimei bisa menduga ucapan itu akan keluar dari mulut Seokjin.
"Aku mengingatnya. Kau pasti tau bahwa nomor telepon yang aku ingat hanyalah nomor teleponmu dan nomor telepon ibu, jadi, seperti itulah." Sungguh, Meimei benar-benar merasa sangat malu mengakui hal itu. Tapi untuk hal seperti ini, Meimei sama sekali tidak bisa mengatakan kebohongan. Karena walaupun mereka sudah berpisah, Seokjin mengenalnya dengan sangat baik.
Iya, Meimei mengakui hal itu. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun yang mengenalnya sebaik Seokjin.
Oh tidak, kalimat yang benar adalah, belum ada orang lain yang mengenalnya sebaik Seokjin. Karena tidak ada yang bisa tau apa yang akan terjadi di masa depan.
"Iya. Aku mengingatnya." Ucap Seokjin. "Aku mengingat bagaimana kau menelponku ketika sakit perut. Ketika kita masih pacaran dulu.
Saat itu kau sedang marah kepadaku karena tidak mengizinkanmu untuk pergi bersama teman-temanmu. Apa kau mengingatnya?"
Tanpa Meimei sadari, dia tersenyum mendengar apa yang Seokjin ucapkan, karena ucapan itu bisa dengan spontan membawa dirinya ke masa-masa itu. Masa-masa dimana mereka masih berstatus sebagai seorang kekasih. Masa-masa dimana mereka belum menikah dan akhirnya harus berpisah.
Kala itu, Meimei diajak temannya untuk pergi menghabiskan akhir pekan disalah satu campsite di perbatasan De Mort dan Forklyn. Hal yang tentu saja tidak diizinkan Seokjin. Saat itu Meimei merasa sangat kesal kepada Seokjin. Terlebih Seokjin selalu melarangnya tanpa alasan yang cukup jelas. Karena itu Meimei mengurung dirinya di kamar. Dia tidak menjawab pesan dan panggilan telepon Seokjin, sampai ketika dia merasakan nyeri di perutnya.
Dia ingat betul betapa malu dan kesalnya dia ketika dengan terpaksa harus menelpon Seokjin. Karena Seokjin adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya kala itu, mengingat semua teman-temannya sudah pergi berakhir pekan.
"Hallo..." Ucap Meimei ketika panggilan mereka waktu itu tersambung.
"Sudah selesai marahnya? Aku sangat khawatir." Ucap Seokjin sesaat setelah mendengar suara Meimei.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 MINUTES OF DESIRE
FanficCOMPLETED ✅ "Kau adalah awal dari segalanya tentang diriku." Start 8 Agustus 2021 -