05. Surat

364 38 0
                                    

"Nar, bangun sudah pagi" ibu membangunkan aku yang masih terbaring.

Ku kumpulkan nyawaku sepenuhnya, ibu lebih duluan keluar dari kamar, aku terus menatap pintu dan masih terdiam, seperti berusaha memanggil aku untuk segera keluar.

Aku membenahi rambutku yang masih berantakan lalu beranjak pergi keluar kamar, aku segera berjalan ke belakang untuk mandi, sembari menunggu ibu yang belum selesai aku masih mengambil bajuku di kamarku sendiri.

Kubuka lemari yang tingginya setengah meter, ku ambil baju berwarna merah jambu dan kain sampir berwarna kuning kecoklatan.

Tak lupa aku membuka jendela kamarku agar cahaya matahari masuk, juga termasuk horden warna putih aku lipat kesamping.

Saat hendak keluar kamar, aku baru ingat jika Bapak akan datang sebentar lagi, dan aku ingat kata-kata ibu jika aku harus terlihat bahagia sekarang, ku pandang baju berwarna merah muda itu, masih terpikir-pikir apakah ini bagus untuk aku pakai?

Aku kembali menuju lemariku, membukanya kembali dan mencari baju pemberian ibu, setelah aku menemukanya, aku mengambilnya dan membawanya kebelakang.

* * *

Setelah selesai membersihkan diri, aku sedikit bersolek untuk terlihat cantik.

"Nar, kau su.." seketika ibu berhenti di depan pintu melihat anaknya bersolek "anakku sudah pandai bersolek," puji ibu lalu menghampiriku.

"Iya bu, toh katanya, bapak akan pulang sekarang, aku di perintah oleh ibu untuk terlihat bahagia" jawabku berdiri menghadap ibu.

"yoweslah, seng penting anak' e ibu seneng pisan, ayo sarapan" ibu mengajakku dan menarik tanganku menuju ke ruang makan.

Sudah ada Rifnu yang menunggu dari tadi di meja makan  menatap pirinya yang masih kosong, aku duduk di samping Rifnu dan ku arahkan wajahku ke depan wajahnya.

"opo toh mbak," balas Rifnu sambil mendorong wajahku.

"ndak, kowe loh ngelamun"

Rifnu memukul pundaku pelan, aku tertawa melihat tingkah adik laki lakiku yang satu ini, adik satu-satunya yang aku miliki dirumah.

Adik kecilku, yang sangat aku sayangi walaupun kami sering bertengkang karena hal-hal yang sepele.

"Nar, semisal jika ada bupati atau anak bupati yang melamarmu apakah kau akan menerimanya?" pertanyaan ibu membuat senyumku pada Rifnu pudar.

"Kenapa, ibu. Bertanya seperti itu?" jawabku tapi tak berani menatap wajahnya, aku hanya menatap tanganya yang lihay menyentong nasi dan meletakanya pada piringku dan Rifnu.

"Tidak, aku hanya sekadar bertanya,"

"Aku tidak tahu, bu. Kalaupun ada, apakah ada yang mau denganku setelah mengetahui jika aku perawan tua?"

"Jangan berpikir seperti itu dulu!"

Aku tak menjawab lagi perkataan ibu, aku kembali menikmati makanan yang berada di depanku saja.

Tidak ada suara atau pembicaraan lagi saat kami sedang sarapan, yang ada hanya celotehan Rifnu yang tidak jelas.

Setelah selesai sarapan aku menunggu kedatangan bapak di depan rumah sambil membaca buku berjudul max havelaar.

Cuaca cukup cerah hari ini, bahagia aku rasakan ketika sudah lama tidak bertemu bapak.

Ku letakan buku yang telah aku baca, aku lihat lalu-lalang orang orang di jalan depan pagar rumah, orang-orang. Mereka biasanya memiliki pekerjaan sebagai nelayan, dan buruh para orang-orang Eropa.

"Pos.." ada pos datang entah itu dari siapa.

Aku menghampirinya dan mengambil surat tersebut "dari siapa untuk siapa?" tanyaku.

"Surat berwarna merah dari tuan cokrohadikusumo untuk nyonya noer, dan surat berwarna coklat dari bupati sidoardjo" jawabnya menunjukan dengan jempol tanganya.

"Baik, terima kasih, pak."

"Sama," tukang pos itupun pergi dengan berjalan kaki ke arah selatan.

"Kenapa ada surat dari Bupati sidoarjo?"batinku kembali melihat surat dibungkus amplop coklat.

Tak terlalu berpikir panjang aku masuk kedalam untuk memberikan surat ini untuk ibu, tak pantas jika aku harus membukanya.

Aku mencari cari ibu dari berbagai sudut rumah namun masih belum ku temui, dan aku baru ingat jika tempat ternyaman bagi ibu, selain dikamar pasti di taman.

Kulangkahkan kakiku menuju ke taman, dan benar saja aku menemukan ibu sedang duduk sembari memotong tangkai-tangkai bunga yang kering.

"Bu, ada surat dari bapak!"

"Di mana?" aku menyerahkan kedua surat itu.

"Bu, ini dari bupati sidoardjo?" ucapku menunjukan amplop berwarna coklat "bu, aku boleh bertanya-tanya?" ibu tak mendengarkan pertanyaanku.

"Tunggu disini, Nar.  Aku akam membacanya dulu," ibu meninggalkan aku masuk kedalam rumah, ibu menyuruhku untuk menunggunya sembari selesai membaca surat tersebut.

Aku melanjutkan pekerjaan ibu memotong tangkai kering, lalu menyiramnya hingga menyeluruh.

Setelah selesai semuanya aku menunggu ibu kira-kira satu jam di taman, karena aku sudah merasa jenuh, aku memilih untuk masuk saja menemui ibu langsung.

Aku menemui ibu yang sedang duduk di kamarnya sembari membaca kedua surat tersebut.

"Bu, kenapa?" tanyaku melirik ibu.

Ibu melihat ke arahku

"Bapakmu tidak jadi pulang, Nar."

"Memanya bapak keman, bu. apakah belum selesai pekerjaanya?" tanyaku bingung.

"Bukan,"

"Lalu?"

"Bapakmu masih ikut bupati sidoardjo,"

"Kemana, bu. Apa itu penting?"

Ibu tak menjawab, dia hanya melipat kembali kertas bertuliskan pesan-pesan itu.

"Bu..." rengekku.

"Sudah tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja," kemudian ibu tersenyum ke arahku, senyuman itu menyejukkan hatiku.

Aku hanya membalasnya senyuman lalu aku memeluk ibu satu satunya, yang tak pernah menuntut anak-anaknya untuk ini itu.

Lihat, bu. Betapa sayangnya aku, anakmu! kepadamu dan maafkan aku, maafkan aku, masih belum menjadi apa yang ibu inginkan, karena aku percaya keinginan ibu akan segera tercapai.

Dan yakinlah jika aku adalah gadis cantik ibu satu-satunya,

Aku janji, bu. Aku akan segera menemui jodohku untuk aku segera menikah.

* * *

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang