27. Mengikat janji yang tak di inginkan

165 15 0
                                    

Setelah kemarin melakukan siraman dan selametan, kini adalah hari di mana ijab qobul akan di lakukan. Semua riasan telah terpasang di tubuhku, mulai dari kalung susun tiga, giwang bulat yang di ukir dengan mewah pemberian dari mas Adipati kusumo.

Paes telah terukir rapi di dahi kepala yang di belakangnya di pasang sanggul yang indah, menurut adat jawa paes adalah riasan pengantin yang merupakan simbol dari kecantikan dan kedewasaan seorang wanita Jawa.

Juga mas Adipati Kusumo yang telah rapi dengan baju Jawi Jangkep yang terdiri dari atasan hitam berpadu dengan jarik sebagai bawahan. Untuk atasan Jawi Jangkep, pakemnya berupa beskap dengan motif bunga atau sulur-sulur yang indah menawan.

Aku duduk bersebelahan dengan mas Adipati Kusumo sebelum ijab qobul di mulai, para tamu sudah datang dan duduk rapi di kursi yang telah tersedia masing-masing, termasuk tuan Vand Djik dan sang istri.

Pernikahan ini tidak mewah, akan tetapi elegan dengan paduan adat jawa.

Kini di depanku duduk seorang penghulu yang mendampingi bapak untuk mengoreksi jika ada ucapan yang salah di ucapkan nantinya. Di sini jantunku berdebar hebat, aku tak bisa membayangkan jika aku benar-benar menikah hari ini.

Dengan mempersingkat waktu, bapak kini menjabat tangan Adipati Kusumo dengan erat, kemudian mengucap ijab qobul:

"Saudara, Raden mas Adipati kusumo, bin Arya kusumo saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya yang bernama Narsih, dengan emas kawinnya berupa sepuluh ekor kerbau, dua puluh lima gram emas perak, tunai!" ucap bapak dengan suara lantang dan tegas. Dan itu membuatku semakin banyak mengeluarkan keringat dingin.

"Saya terima nikahnya dan kawinya Narsih binti Cokrohadikusumo dengan emas kawin sepuluh ekor kerbau, dua puluh gram emas dan perak, dibayar tunai!" jawab mas Adipati Kusumo.

Jawaban itu membuat aliran darah di kepalaku berhenti, tanganku kebas dan dinging. Jantungku berdebar dengan sangat hebat, persendian lutut rasanya tidak lagi sudi membuatku berdiri.

Ketika semua orang mengatakan dengan serempak "SAH!" tapi tidak dengan hatiku, di sini aku hancur dan meneteskan air mata.

Ibu datang membantuku berdiri dan mengantar aku ke pelaminan yang sudah berhiaskan bunga-bunga indah. Mas Adipati, juga ikut duduk di sampingku, beberapa kali mas Adipati ingin merangkul tanganku, akan tetapi aku tepis tanpa rasa hormat, rasa tidak hormatku tidak sebanding dengan dirinya yang telah mengambil alih kedudukan seorang Abhirama dalam sanubariku.

Tabuhan musik gendang dan tarian-tarian yang di mainkan dengan sangat luwes, menjadi penghibur bagi para tamu yang datang semabari menyantap hidangan berbagai macam.
Pesta pernikahan yang di buat lumayan besar, dan aku tidak menginginkan semua ini, yang aku mau hanya kebebasan memilih!

"De' Narsih, sekarang kau sudah resmi jadi istri kang mas!" ucap mas Adipati.

Aku tidak menjawabnya, aku hanya mengangguk berharap semoga acara cepat selesai. Aku sudah muak berada di sini, di tempat yang tak sama sekali aku inginkan.

Aku menoleh pada ibu yang duduk di sebelah kursi pengantin, aku memberi isyarat pada ibu, jika aku ingin kebelakang sebentar. Ibu membantuku turun sekaligus mengantar aku ke belakang.

"Bu, Narsih lelah. Narsih mau di kamar sebentar!" ucapku pada ibu.

"Baiklah, hanya sebentar saja,"

Aku mengangguk lalu masuk ke dalam kamar, ku pandangi wajahku sendiri di depan cermin. Wajah ini tidak ada senyum dan kebahagiaan sama sekali, tidak seperti saat-saat aku sedang bersama Abhirama.

"Mas Rama, lihat adikmu ini. Sudah menjadi istri orang lain, bukan istrimu!" ucapku pada cermin dan membayangkan jika ada Abhirama di dalamnya.

"Mas, aku tidak mendapat keadilan atas diriku sendiri, aku lelah dan aku sudah kalah! Jika saja dirimu membawaku waktu itu, aku akan menemukan keadilanku sendiri! Bukan tersiksa seperti ini."

Aku tidak bisa mengontrol emosiku, aku terduduk dan menangis di depan cermin, aku menekuk wajahku di meja rias ini. Hatiku terlalu sakit saat ini, apa yang akan aku lakukan selanjutnya?

Bayanganku sendiri pun tidak bisa menolongku saat ini, aku kehilangan keadilan atas hak-hak ku dan aku kehilangan Abhirama, orang yang sangat baik.

Tok..tok...tok..

Suara ketukan pintu membuatku terperanjat dan segera menghilangkan jejak air mata di pipiku. Ibu masuk dengan membawa sepiring nasi dan daging.

"Nar, kenapa? Ada apa denganmu, kenapa kau menangis?" tanya ibu, menyadari jika aku baru saja menangis.

Aku menggeleng, berusaha menutupi kesedihan di wajahku "Tidak bu, Narsih hanya lelah!"

"Kau yakin, kau lelah, Nar?"

Aku mengangguk, tapi mataku tidak bisa berbohong. Malah aku semakin terpukul ketika ibu menanyakan pertanyaan seperti itu. Aku memeluk ibu mencoba mencari ketenangan, berharap semua akan baik-baik saja.

"Nar, makanlah dulu! Kau belum makan dari tadi pagi!" ibu melepaskan pelukanku, menyuruhku untuk makan.

"Bu, Narsih tidak lapar! Narsih hanya ingin bersama mas Rama bu,"

"Sudah lupakan Rama, sekarang kau sudah menjadi istri seorang wedanan Mas Adipati Kusumo!" hibur ibu padaku.

"Narsih tidak menginginkan semua itu bu, Narsih tidak cinta pada mas Adipati.

"Kau bisa, Nar! Witing tresno jalaran suko kulino. Percaya pada ibu."

Aku menggeleng semakin menangis, hatiku sakit seperti tersayat pisau. Darahku seperti berhenti dan membuatku pusing.

"Sudah, jangan menangis! Makanlah supaya kau tidak sakit!"

Aku memakan nasi yang di bawa oleh ibu, menghargai apa yang di bawanya.

Setelah selesai makan, ibu membetulkan riasanku dan membawaku keluar untuk duduk lagi di kursi pelaminan. Yaa duduk kembali di sebelah lelaki yang tidak aku cintai sama sekali.

Aku melihat lalu-lalang para tamu yang sedang berebut melihat hiburan yang di sediakan, dan menikmati hidangan berbagai macam, begitu bahagia orang-orang yang di undang ke acara pernikahan ini tanpa mereka ketahui bahwa pengantin yang ada di depan mereka ini sangat-sangat tidak bahagia.

Pengantin yang mereka lihat di depan ini tidak mencintai suaminya, pengantin ini mencintai orang yang benar-benar tulus kepadanya.

Tapi apalah dayaku, hanya seorang wanita yang bisa pasrah dalam keadaan seperti ini. Aku sudah kalah tapi aku tidak tumbang, aku akan mempeertahnkan hak ku kembali setelah ini.

Untuk hak yang telah hilang....

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang