04. Cerita

420 42 0
                                    

Dua lampu minyak itu aku nyalahkan, satunya aku taruh di atas meja makan, dan satunya lagi aku taruh di atas lemari buku.

Aku membersihkan meja makan sambil menunggu mbok Sri pembantu rumahku menyiapkan makan malam. Mbok Sri adalah istri dari pak Mardi keduanya bekerja sebagai pembantu di rumah ini.

Kasian mereka, bapak yang menolong mereka saat lahan-lahan mereka di rampas paksa serdadu, mereka menangis mengemis pada serdadu agar tidak mengambil lahanya, tapi percuma, tendangan yang mereka dapatkan.

Bukan cuma lahan mereka yang di ambil, tapi juga anak gadis mereka, melawaupun tak sanggup, hanya kepasrahan yang mereka hadapi.

Memang kejam para penjajah ini, mereka dengan seenaknya saja mengambil barang yang bukan hak milik mereka sendiri, membunuh orang orang tak berdosa hingga menculik para perempuan.

Mereka tidak memiliki perasaan terhadap kami para kaum pribumi.

"Ndoro, maaf lama menunggu." ucap mbok Sri sembari membawa makan.

"Tidak apa-apa, mbok,"

"Iya, saya ke belakang dulu, Ndoro, "

"Monggo, mbok."

Mbok Sri pamit untuk ke belakang, barang kali ada sesuatu yang harus di kerjakan,
Tak lama kemudian ibu datang terlihat sangat cantik menggunakan kebaya warna putih dengan hiasan benang-benang emas, rambutnya di sanggul dan bibirnya yang di poles sedikit gincu¹ .

"Sudah lama menunggu, Nar?" tanya ibu lalu duduk.

"Tidak, bu.'" jawabku lalu menyentong nasi yang ada di hadapanku, aku memberikannya pada ibu.

"Bapakmu akan datang besok, terlihatlah bahagia, Nar!"

"Memangnya kenapa, bu?"

"Tidak ada apa apa, mungkin saja bapakmu membawa kabar bahagia,"

"Baik, bu. "

"Adikmu tidak ikut makan, Nar. Katanya dia kenyang," ibu lalu mengambil sesendok sayur.

"Sekarang, Rifnu kemana?"

"Dia ada di kamar, entah apa yang di lakukan,"

Aku hanya mengangguk mengiyakan peryataan dari ibu, lalu melanjutkan makan,
Makan malam kali ini tak seperti biasanya, makananya lebih enak dari pada hari-hari sebelumnya tapi lain dengan kebersamaanya,
Tidak ada bapak dan Rifnu di sini.

"Bu,perasaanku tidak enak, seperti ada yang mengganjal," ucapku pada ibu, hingga ibu mengurungkan sendok yang akan di suapnya.

"Kenapa, kau ada masalah!?"

Aku hanya menggeleng sembari meyuap lagi makanan ke dalam mulutku. Memang hari ini aku merasa agak gelisah dan takut, entah itu karena apa.

Setelah selesai menghabiskan makan malam, aku bersegera untuk menuju ke kamar, ku benahi kasur dan bantal juga selimut, tak lupa juga aku mengganti bajuku dengan baju yang biasanya aku pakai tidur.

Tapi sebelum tidur aku masih meluangkan waktuku untuk membaca surat kabar, dengan di temani lampu minyak.

Surat kabar itu mengabarkan jika para serdadu Belanda sedang mencari organisasi Aziz Abdullah. Juga di kabarkan jika organisasi Aziz Abdullah telah berhasil menghabiskan dua puluh lima orang serdadu.

Ku ingat-ingat kembali tentang organisasi Aziz Abdullah ini, dan kembali aku teringat tentang sosok laki-laki yang pernah aku temui itu, dia Abhirama.

"Apa dia masih selamat?" batinku pelan.

Tapi apa gunanya juga aku memikirkan dia, lagi pula dia tidak memiliki hubungan denganku.

Setelah selesai membaca kuletakan kembali surat kabar di atas meja, dan aku mulai merebahkan diriku di atas kasur.

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang