34. Deja vu

147 15 2
                                    

Sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya, aku banyak kehilangan saat ini. Tapi aku harap kehilangan itu akan segera terganti dengan yang lebih baik.

Sudah lebih satu minggu aku di rumah dan aku kembali pulih dari sakitku, tidak ada rasa pegal dan berat di badanku, walaupun terkadang masih ada rasa pusing di kepala.

Aku duduk di depan rumah menghadap pagar, aku lihat Pak Mardi tengah membawa tas dari rajutan ilalalang.

"Pak, mau kemana?" tanyaku padanya.

"Ndoro, ini mau beli ikan di pasar nanti buat pepes untuk makan malam,"

"Pak, aku akan ikut, boleh?"

"Boleh-boleh saja, asalkan izin dulu sama Tuan dan Nyonya!"

"Kalau begitu, tunggu seentar."
Aku berlari ke dalam mencari ibu.
Aku melihat ibu tengah membersihkan bungan kesayanganya sedangkan bapak duduk dengan kopi di tangannya, tengah memerhatikan ibu yang membersihkan bunga.

"Eee bu, pak, Narsih boleh ikut pak Mardi sebentar, ke pasar?" tanyaku pada mereka.

"Untuk apa? Pasar bau, Nar!" jawab bapak.

"Hanya sebentar, pak! Aku mohon!"

"Apa kau sudah sembuh? Perutmu sudah tidak sakit lagi kah?" tanya ibu.

"Tidak, bu, aku sudah sembuh!"

"Yakin?" sahut bapak.

"Enggeh, pak!"

"Yasudah, pergilah!" aku pergi berlari untuk segera menemui pak mardi.

Aku membawa sebagian uang, yang sempat aku terima dari Tuan Dokter Alderst saat aku tinggal di rumahnya.

"Pak, monggo!"

"Sudah izin?"

"Enggeh, pak, sampon di izinkan kulo pun!"

"Yakin, ndoro?"

"Enggeh, pak astaga."

Pak Mardi hanya tertawa mendengar rengekanku yang seperti anak kecil.
Setelah selesai berdebat, kami berangkat dengan berjalan kaki, karena bendi yang biasa kami gunakan untuk kepasar rodanya tengah rusak.
Perjalan yang tak terlalu panjang sangat menyenangkan bagiku, juga mungkin ini adalah bawaan dari lamanya aku tidak berjalan kaki.

"Pak, kulo teng mas Rama!" ucapku pada pak Mardi.

"Heem, laki-laki Bali itu?"

"Enggeh, pak"

Pak Mardi tak menjawab, dia terus berjalan mendahului aku. Mungkin pak Mardi sudah bosan menanggapi sikapku yang sedari dulu tidak berubah.

Kami telah sampai di pasar, banyak orang lalu-lalang membeli maupun menjual.

"Ayo, parani bakul iwak!" ajak pak Mardi.

Aku berjalan di belakang pak mardi.
Beberapa jenis ikan laut dan tawar berjejer beralaskan daun pisang. Pak Mardi memilih beberapa ikan yang akan di beli, ikan yang di beli di bungkus daun pisang dan di masukan ke dalam keranjang yang di bawa pak mardi, setelah membeli ikan, pak Mardi mengajakku pada pedagang petai.

"Ndoro, suka petai kan?" tanya pak Mardi padaku.

"jelas toh pak!" jawabku sembari mengacungkan jempol.

Kami membeli beberapa ikat petai yang di ikat dengan kulit pisang yang kering.

"Pak, biar aku saja yang bawa!" aku mengambil petai yang akan di beri pada pak Mardi.

"Sudah, biarkan pak Mardi saja nanti ndoro lelah!" tapi aku masih membawa petai itu, lagi pulan itu hanya beberapa, tidak banyak.

"Ayo pak, muleh" ajak ku pada pak Mardi.

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang