15. Adisri sang gadis Bali

181 19 0
                                    

Aku memperhatikan Abhirama yang masih diam seperti berpikir tentang sesuatu.

"Mas kenapa diam saja?" tanyaku padanya, masih menunggu dirinya akan bercerita.

"Aku bingung, harus mulai dari mana, Nar!" jawabanya.

"Bukanya mas tadi bilang. jika mas, masih banyak cerita yang belum di ceritakan?"

"Iya, maka dari itu aku bingung. Apa yang akan aku ceritakan padamu!"

"Cerita Bali saja, mas!"

"Kenapa Bali terus? Apa kau tidak bosan?"

"Tidak, selagi yang bercerita adalah mas Rama!"

"Kenapa begitu?" aku tidak bisa menjawab pertanyaanya lagi, ini menjebak diriku. Gusti perasaan apa ini.

"Eh em terserah mas saja, cerita apa pun itu. Yang penting aku mendengarkan saja!" ucapku padanya.

"Jika begitu- aku akan bercerita padamu tentang kekasihku dulu, apa kau mau mendengarnya?" tanyanya padaku.

Tapi kenapa tentang kekasihnya dulu, aku takut jika aku cemburu. Tapi aku juga tidak berhak untuk cemburu padanya.

"Boleh, terserah mas saja. Aku akan mendengarkan!"

"Bagus. Jadilah pendengar yang baik, Nar. Dulu aku memiliki seorang kekasih, dia sangat cantik dan terampil. Namanya Adisri yang artinya: dewi kemakmuran. Kami pertama kali bertemu saat acara hari raya Galungan.

Tapi asal kau tahu, Nar. Aku semula tidak ingin tahu tentangnya. Tapi salah satu temanku selalu bercerita tentang gadis itu, dan itu membuat aku penasaran akan dirinya. Dan tepat tanpa aku minta juga, kami bertemu pada acara hari raya Galungan. Aku terkesima akan kecantikanya, tapi aku juga tidak memberanikan diri untuk mengenalnya lebih. Karena aku sadar memilikinya hanyalah sebatas angan-angan semata. Tapi aku juga berpikir jika aku ingin mendapatkan dirinya,maka aku harus berusaha. Mula-mula aku sapa dirinya dengan manis, dan diakhiri dengan obrolah. Dan seterusnya begitu setiap kami bertemu.
Hingga aku memberanikan diri untuk menyampaikan isi hatiku dan kau tahu? Dia juga sama. Memiliki perasaan terhadap diriku, sejak hari itu kami resmi menjadi sepasang kekasih. Ibarat angsa yang selalu mengalungkan lehernya satu sama lain.

Aku sangat senang memiliki dirinya yang cantik, rambutnya yang panjang, dan badanya yang terbentuk dengan sempurna" Abhirama berhenti sejenak lalu memejamkan matanya. Mungkin mengingat kembali masa-masa indahnya bersama sang kekasih, tapi entah kenapa aku meraskan ada sesuatu yang mengganjal dihatiku. Tapi aku tak bisa katakan jika ini cemburu.

"Lalu mas? Bagaimana dengan Adisri?" tanyaku padanya.

"Lalu kami menjalankan hari-hari dengan sangat senang. Tawanya sampai sekarang masih aku ingat saat aku menceritakan hal-hal yang lucu pada dirinya. Tapi sayang seribu sayang, kami menjadi sepasang kekasih hanya lima bulan saja, karena ada kecelakaan yang menimpa dirinya.
Pada siang hari suasana kampung memang lumayan sepi, karena orang orang sedang bekerja. Dan waktu itu aku sedang ke hutan untuk berburu. Adisri sedang menjemur pakainya di depan rumah, lalu tanpa dirinya sadari. Ada serdadu Belanda yang menghampirinya, Adisri mencoba kabur dari orang orang bejat itu, namun dirinya dihadang keras oleh mereka. Entah perlawan apa yang Adisri lakukan sehingga membuat mereka marah, hingga membunuh Adisri. Mereka menembak Adisri tanpa ampun, dan meninggalkanya begitu saja. Orang orang yang menemukan Adisri sangat kaget dan tidak percaya kenapa dirinya harus mati dengan keadaan bersimbah darah seperti itu.

Tiga orang temanku. Mereka menjemput diriku yang masih berada di hutan, mereka memberitahu kepadaku tentang keadaan Adisri yang malang itu. Aku tidak percaya awalnya, karena mereka memang selalu bercanda padaku, aku di seretnya hingga di depan rumah Adisri. Aku melihat semua orang bergerombol di depan rumah Adisri, karena penasaran aku menembus orang-orang yang bergerombol itu. Seketika aku rasakan darah yang tadinya mengalir kini berhenti, kunang-kunang menari-nari di kepalaku. Aku melihat Adisri terbujur kaku dengan genangan darah di sekujur badanya, aku peluk dirinya, tapi lebih tepanya adalah mayatnya yang sudah kaku, saat aku raba kakinya. Sudah dingin, tanganya pun sudah tidak ada denyut nadinya. Aku sangat terpukul saat itu, Nar. Aku kehilangan orang orang yang aku cinta. Bapak, ibu, kakak, dan adikku, juga kekasihku. Dan entah rencana apa yang Tuhan tujukan pada diriku ini, dan juga entah selanjutnya bagaimana takdir Tuhan memeluk diriku, dan aku harap aku tidak akan kehilangan orang orang yang aku sayangi selanjutnya!" dirinya tersenyum sembari menatap wajahku.

Aku tidak bisa berkata kata, tapi aku malah susah mengatur wajahku untuk terlihat senang, malah seperti cemberut.

"Kenapa Nar? Kenapa wajahmu begitu, apa kau tidak senang mendengar ceritaku kali ini?" tanyanya yang mengetahui jika aku cemberut.

"A-a tidak mas, aku senang mendengarnya. Hanya saja aku kasihan pada Adisri karena dia telah meninggalkan laki laki yang pandai bercerita ini!" jawabku untuk mengalihkan suasana.

"Kau bisa saja Nar, aku hanya laki laki biasa yang ingin memerdekakan tanah ini. Dan mendapatkan cinta sesungguhnya dari seseorang!"

"Pasti, mas pasti akan mendapatkan apa yang mas mau!" hiburku.

"Terima kasih, Nar!"

"Enggeh mas, sama sama"

Lalu tidak ada pembicaraan lagi di antara kami. Kami hanya dia saling menunduk, tapi lain di hatiku kenapa rasanya campur aduk begini? Seperti sesak namun tidak. Juga aku tidak mau mengatakan jika aku sedang cemburu, apalagi pada orang yang telah lama mati.

"Oh iya Nar. Kapan kita akan belajar membaca lagi?" ucapnya mencairkan suasana.

"Emm mas kapan bisanya?"

"Aku bisa setiap saat, Nar"

"Bagaimana jika nanti saja? Nanti malam maksudku, nanti kita belajar di ruang tamu, sekaligus bersantai dengan minum teh!" jawabku padanya.

"Baiklah, tapi kau baik baik saja kan? Apa kau sakit, aku lihat wajahmu agak murung?" dia rabah jidadku dengan punggung tanganya.

"Aku ndak sakit mas, aku baik baik saja!" aku mengambil tangananya untuk menurunkany.

"Tapi kau panas,Nar. Kau pucat!" asal kau tahu, aku panas bukan karena sakit. melainkan perasaan yang aneh ini.

"Nar, kau sakit! Aku antar ke kamar saja. Atau aku panggilkan ibu?"

"Mas, ndak perlu aku baik baik saja!" Dia berdiri dan mengangkat tubuhku. Dia paksa aku untuk kembali ke kamar, aku sudah berusaha menolaknya tapi dia tetap memaksaku. Karena tak mau membuat kebisingan di siang ini aku menurutinya untuk kembali ke kamar.

Di tuntunya aku menuju kamar. Aku melihat adikku sedang bermain sendirian di depan, adikku menoleh kepadaku. Dia berlari kepadaku yang sedang di tuntun Abhirama.

"Mbak. Opo'o?" tanya dengan wajah polos.

"Rifnu mbak Narsih sedang loro kau bilang pada ibu ya!" jawab Abhirama pada Rifnu. Dia manganggun dan berlari menuju kamar ibu.

Dan benar saja, kali ini aku benar benar lemas. Apa aku sakit sungguhan? Terus di tuntunya aku menuju kamar oleh Abhirama.
Di baringkanya aku di atas ranjang, tak lama kemudian ibu datang dengan tergopah-gopoh dan langsung meraba jidadku dengan punggung tanganya.

"Ladalah Nar, kau sakit. Istirahalah dulu. Aku akan menyuruh Mardi menjemput Dokter Alderst.

Aku benar benar tidak bisa menjawab, aku kalap dan aku lemas. Ibu berjalan keluar untuk mencari pak Mardi dan Abhirama masi tetap ada di sampingku.

"Nar. Kau istirahatlah dulu aku akan ikut pak Mardi. Dan aku akan memanggilkan mbok Sri untuk membawakanmu makan!" aku hanya mengangguk untuk menjawabnya. Lalu dia keluar sambari menutup pintu.
.
.
.

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang