21. Bertemu denganmu, bukanlah hal yang menyakitkan

145 18 0
                                    

Kini sore telah tiba. Setelah selesai membersihkan badan tadi, aku menunggu sembari mengintip bapak, apakah sudah jalan atau belum.

Tepat jam setengah empat sore, seseorang datang menjembut bapak dengan bendi yang di tumpanginya. Bendi itu tidaklah mewah namun sederhana. Aku berlari menuju ibu yang tadinya mengantat bapak ke depan.

"Bu, pak Mardi kemana?" tanyaku pada ibu.

Ibu terseyum dan memengang pundaku:
"Pak Mardi sudah menunggumu dari tadi, dia ada di pinggir rumah!"

Aku mengangguk lalu, lari untuk menghampiri pak Mardi.
Aku melihat pak Mardi tengah menggosok punggung kuda yang akan menarik bendi.

"Pak, ayo kita jalan!" bisikku dari belakang, membuat pak Mardi kaget, hingga mengelus dada.

"Ndoro buat saya kaget! Monggo ndoro naik dulu" pak Mardi menyilahkan aku untuk naik terlebih dahulu.

Setelah selesai bersiap, bendi yang kami tumpangi kini berjalan menuju tempat yang kini Abhirama tempati, perjalan di sore hari dengan terpaan angin membuat surai rambutku berantakan.

Perjalana cukup lama membuatku tidak sabar, dan takut terlalu malam nantinya.

"Pak, masi lama toh?" tanyaku pada pak Mardi yang tengah serius.

"Itu sudah hampir sampai" pak Mardi menunjuk dengan tangan kananya ke sebuah rumah bercatkan warna putih, dan pintu berwarna biru telor asin. Ya rumah ini adalah rumah Aziz Abdullah yang dulunya di jadikan markas.

Aku mengangguk, bersyukur kini sudah sampai. Juga aku melihat seseorang tengah membersihkan pecahan-pecahan bambu. Mungkin akan di buat biting.

Bendi kini berhenti tepat di depan rumah tersebut, tapi aku tidak menemukan dimana Abhirama.

"Cari siapa cah ayu?" tanya bapak yang membersihkan bambu tadi.

"Saya sedang mencari Abhirama, apa ada di rumah ini?"

"Oladalah Abhirama, ada saya panggilkan duku nggeh!" bapak tersebut masuk ke dalam rumah. Sedangkan aku menggu dengan di temani pak Mardi yang masih duduk di atas pengendalian kuda.

Setelah beberapa menit menunggu, bapak itu keluar bersama seseorang berbaju putih dengan udeng yang menempel di kepalanya.

"Mas!" pekikku padanya. Abhirama menatapku lalu menghampiriku, aku juga berlari pada dirinya. Aku memeluk Abhirama dan menangis kepadanya.

"Mas, aku tidak mau kehilangan dirimu!" ucapku padanya, tapi tak menjawab peryataanku.

"Mas, aku tahu jika kau telah kecewa dengan keputusan ini. Maafkan aku mas, aku mencintaimu!"

"Tidak perlu meminta maaf, ini sudah takdir yang tuhan tetapkan!" Abhirama makin erat memelukku hingga aku menyentuh sanubari yang terdengar sangat keras.

"Mas, pulanglah kerumah. Kepada siapa aku akan bercerita selain dirimu?"

"Tapi aku tidak bisa pulang lagi ke rumahmu, Nar. Akan sulit nantinya, apalagi bapakmu sudah pulang ke rumah, dan kau akan menikah. Nanti bisa timbul pertanyaan yang tidak-tidak!" jelasnya, melepas pelukan dan menghapus air mataku.

"Aku tidak mau menikah dengan orang itu mas, dia orang jahat yang semena-mena dengan perempuan. Dia sudah beristri!"

"Semuanya akan baik-baik saja, Nar!"

"Tidak, mas! Aku hanya ingin berasamamu. Maka bawa aku kemanapun kau akan berjalan, atau tidak bawa aku pulang ke Bali!"

"Jangan berbicara seperri itu, tidak pantas seorang wanita berbicara seperti itu. Kau berharga! Maka kau harus memenuhi permintaan orang tuamu! Bukan meminta seperti itu!"

"Tidak, mas. Karena aku mencintaimu! Aku tidak bisa memaksakan cintaku pada seseorang yang tidak aku cintai, akan sulit nantinya" jawabku pada Abhirama "Dan mas, kenapa kau menulis surat untuk Sang Hyang Semara Ratih agar di hapus cintamu untuk gadis ini? Apa kah kau tidak mencintaiku lagi?" ucapku menunjuk diriku sendiri.

"Nar, aku tahu. Itu sakit untukmu atas peryataanku kepada Sang Hyang, kita memang saling mencintai. Tapi kita berbeda, Nar! Kau seorang Muslim dan aku seorang Hindu, apa bisa di satukan?"

Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya lagi, aku kalah kali ini, mengingat jika kita berbeda. Aku menangis, hatiku sakit!.

"Mas..." rengekku.

"Jangan menangis! Sekarang kau pulang, dan mandilah. Sebentar lagi malam, jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja di sini!"

"Aku tidak ingin pulang, aku ingin bersamamu, mas!"

"Pulang! Sebentar lagi malam" dia memaksaku untuk pulang, padahal tidak lama pertemuan ini "Pak, bawa Narsih pulang, sebentar lagi malam!" pintanya pada pak Mardi, dan pak Mardi mengangguk.

"Tidak, tidak pak, saya mau disini!" aku berontak saat pak Mardi memegang tanganku.

"Nar, pulang. Kau bisa kena marah oleh bapakmu!"

"Aku ingin bersamamu, mas!"

"Aku tahu itu, tapi pulanglah sekarang!"

"Enggeh ndoro, apa yang di katakan Rama ada benarnya, kan ndoro bisa datang lagi besok" hibur pak Mardi padaku.

Aku mengangguk mematuhi, tapi ku majukan langkahku kedepan, aku memeluk Abhirama dengan sangat erat seperti takut kehilangan.

"Ndoro, monggo!" ajak pak Mardi padaku.

Aku melepas pelukanku pada Abhirama, dan menaiki bendi yang akan membawaku pulang.
Bendi itu berjalan, tapi tatapanku masi menyala pada Abhirama yang masih berdiri.

Perlahan dirinya hilang dari kejauhan, di telan gelapnya malam yang akan segera datang. Aku diam saat perjalanan menuju rumah, hingga aku temukan telo di pojok sebelah kiri bendi.

"Pak, dapat dari mana telo?" tanyaku pada pak Mardi.

"Itu ndoro, tadi saya di kasih sama Tarjo waktu jemput tuan di rumah. Telo itu sudah dari tadi ada di situ, apa ndoro tidak melihat?"

Mungkin karena keridak fokusanku hingga tidak melihat ada telo di sebelah pojokan.
Aku bingung harus apa kali ini, aku tidak bisa bebas dari apapun dalam takdir yang sedang di rakit ini.

"Pak, kalau semisal seorang muslim pindah ke agama lain apa di bolehkan?" entah kenapa pertanyaan ini seketika muncul dari benakku.

"Untuk apa ndoro? Kita di lahirkan sebagai seorang muslim saja sudah sangat beruntung, kalau pun kita pindah. Gusti Allah tidak bakalan rindoi!" jawab pak Mardi.

"Oh gitu enggeh pak"

"Nggeh, jadi kita harus sangat percaya pada keyakinan kita dari lubuk hati yang paling dalam. Juga kita sebagai manusia harus sabar dalam menjalani kehidupan di dunia, apalagi kita-kita ini yang hidup di negeri jajahan Hindia, semua serba ruwet!" pak Mardi membenarkan duduknya "Ndoro, kalau kita yakin dengan apa yang kita perbuat, selama itu benar. Pasti Gusti Allah akan membatu!"

Sedikit nasehat dari pak Mardi membuatku semakin bimbang atas peryataanya.

"Pak, tapi jika seseorang kita ajak untuk meyakini, apa yang di yakini oleh kita, apa itu baik pak?" tanyaku sekali lagi.

"Syukur jika mau, tapi jika tidak? Ndoro cah ayu. Kita tidak boleh memaksa seseorang untuk mengikuti apa yang kita yakini!"

"Memangnya kenapa, ndoro. Tanya pertanyaan seperti itu? Ndoro ada masalah?"

"Mboten, pak. Narsih hanya tanya-tanya. Pak, jika nanti bapak bertanya, bilang saja kita dari pasar beli telo!" pintaku untuk mengkelabuhi bapak nantinya.

"Enggeh, apa yang tidak untuk Ndoro Narsih!"

Sedikit kelegaan untuk hari ini, tapi tidak dengan apa yang masih melekat di pikiran. Rasanya berat tapi harus tetap di jalani.

***
.

.
.
.

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang