07. Senja dan ketidak sengajaan

334 36 0
                                    

"Ndoro...ndoro Narsih..."

"Nar...Narsih kau di mana?"

"Ndoro narsih panjenengan¹ di mana?"

"Narsih kau dimana?"

"Ndoro pulang.."

Suara itu terdengar dari arah belakang, memanggil manggil namanku.

Astaga... Ini sudah hampir malam, aku melihat ke arah langit barat, matahari yang akan tenggelam dengan pasrah, yang sebentar lagi akan di gantikan oleh bulan.

Berapa lama aku tidur di bawah pohon ini?, gara gara memikirkan tentang perjodohan akibatnya aku tertidur hingga sore hari.

"Narsih...!" suara itu berteriak memanggil dari arah belakang.

"Ibu', mbok sri, pak mardi?" lirihku sambil menoleh ke arah belakang.
Ku lihat mereka bertiga lari ke arahku sambil memegang obor yang belum ternyalakan oleh api.

Ibu berlari menghampiriku memelukku erat, pak mardi dan mbok sri berkali kali mengucapkan kalimat syukur.

"Nar, ibu khawatir!" ucap ibu yang masih memeluk aku.

"Enggeh ndoro kami mencari sampai keliling desa, ternyata ndoro ada di pantai ini syukur ketemu!" sahut pak mardi.

"Nar, maafkan ibu nak!"

"Bu' Narsih yang minta maaf sama ibu!" aku bersimpuh pada kaki ibu, menangis meminta maaf telah meninggalkan rumah tanpa pamit.

"Sudah bangun ayo pulang!" ibu membangkitkanku dari letak bersimpuh.

"Bu'..tunggu matahari tenggelam dengan sempuran, kita nikmati senja dulu!" pintaku sembari menggengam tangan ibu. Ibu mengiyakan dan kami semua duduk di pinggi pantai.

Menikmati senja dengan terpaan angin yang mengenai surai rambut, dan aku menyandarkan kepalaku di pundak ibu.

Sembari menikmati senja, aku baru sadar jika orang orang masih menyanyangiku, ibu, pak mardi, dan mbok sri mereka rela mencari aku hingga keliling kampung tanpa memikirkan lelah.

Mungkin bapak juga berniat menjodohkan aku dengan seorang wedana karena bapak tak mau aku di olok olok lagi oleh orang orang dengan sebutan perawan tua.

"Nar.." panggil ibu dengan suaranya yang sedikit serak.

"Ya?"

"Kau tidak akan bisa menyebrangi lautan yang luas, jika kau hanya memandangnya" kalimat ibu membuat aku bingung.

"Maksudnya bu!?"

"Jadi" ibu menarik napasnya lalu mengembuskanya dengan pelan, "Jika kau ingin menolak perjodohan yang bapakmu lakukan, maka kau harus mencari cara terbaik menurutmu!"

"Apa mungkin bisa bu'?" aku menegakkan kepalaku dan melihat wajah ibu, "sedangkan bapak yang melakukan semua ini, bapak yang egois!"

"Semua bisa Nar, jika berusaha!" aku tak menjawab lagi peryataan dari ibu.

Matahari sudah tenggelam, yang terdengar kini hanya suara air dari tengah pantai, di susul dengan suara jangkrik dari tepian jalan.

Udara semakin dingin, hewan bernama nyamuk kini mampir telah menciumi lengan dan kaki, kini kami memutuskan untuk pulang, mengakhiri indahnya senja dan membawa kembali pikiran yang tenang.

Pak mardi mulai menyalahkan obor yang di bawa masing masing, kami berjalan berurut layaknya kereta, aku di paling depan dan pak mardi di paling belakang.

Perjalanan gelap yang hanya di sinari oleh cahaya rembulan juga penerangan dari obor yang kami bawa, aku berjalan dengan hati hati karena aku tidak memakai alas kaki.

Kurang dari seratus meter akan sampai di rumah.

"Aku hapal jalan jalan kene" batinku sembari menoleh ke arah belakang.

Bruk!!
Tubuhku jatuh aku tak sengaja tersandung sesuatu, ibu hanya menggeleng mungkin kiranya aku sedang ceroboh, ibu mengulurkan tanganya padaku dan saat hendak menerima tangan ibu, sesuatu berbicara dari benda yang aku tendang.

"Tolong...tolong saya"

"Aaaaaaa ibu' apa ini!" aku berteriak, namun mulutku langsung di bungkam oleh mbok sri dan berbisik "ojok banter banter, wedi onok londo"

Pak mardi menyinari benda yang tak sengaja membuatku tersandung, betapa kagetnya pak mardi hingga hampir terjatuh, "sirah² iki sirah!" tungkasnya histeris.

"Ada apa mardi?" tanya ibu bingung dengan pak mardi yang histeris.

Aku juga ikut melihat dengan menyinarinya dengan sinar obor, ternyata benar ini kepala yang sudah berlumuran darah yang tercampur lumpur, hingga sulit untuk mengenalinya.

"Ndoro, sri lebih baik kalian pulang saja dulu, hati hati" perintah pak mardi "Oh iya sri, kau panggilkan sutedjo kemari, orang ini belum mati jadi masih bisa di tolong!"

Sutedjo yang di maksud pak mardi adalah tetangganya sendiri. Dengan cepat dan sigap mbok sri mendahului aku dan ibu, kami pulang ke rumah dengan selamat dan syukur tidak terjadi apa apa.

Siapa orang itu?.
Kenapa bisa bersimbah darah begitu, apakah dia jatuh?, tapi mengapa begitu banyak darah yang dirinya keluarkan dari kepalnya?.

Atau jangan jangan orang itu di hajar habis habisan oleh tentara belanda yang dati melintas di depan rumah?.

Beruntungnya, para londo itu tau jika bapak bekerja untuk belanda, di kantornya jadi mereka tidak akan menyerang, tapi mereka bisa menyerang kapan saja, dasar londo kancut.

"Nar, cepat mandi dan masuk kamar ibu' mau menunggu pak mardi di sini sampai dia datang!" perintah ibu sembari mendudukan dirinya di kursi dekat pintu.

"Tidak, Narsih mau menemani ibu' di sini!"

"Nar, cepat mandi!"

Aku menarik napasku lalu menghembuskanya, "Enggeh bu'" memasuki kamar yang dari tadi tak ku jamah.

Aku mengambil handuk dan kain jarik berwarna coklat.
Aku memutuskan untuk memakai jarik saja karena malam ini gerah sekali.

Aku berjalan menuju kamar mandi atau sering di sebut jeding, di tengah tengah aku berhenti dan mengintip sedikit adikku, Rifnu.

Ternyada dia telah tidur terlebih dahulu menghadap dinding, aku melanjutkan tujuanku untuk ke kamar mandi.
Setelah selesai dari kamar mandi aku kembali ke kamar untuk memakai wewangian, walaupun sudah malam hari, wangi adalah wajib bagiku.

Aku mengeringkan rambutku yang basah dan menyisirnya menghadap cermin.
Memandang kagum akan kencantikan sendiri.

"Benar kata mas Bayu aku cantik, pantas saja dia tidak percaya jika aku belum pernah memiliki kekasih!" batinku terus memandangi tubuh dan wajah sendiri.

Aku terus memandang cermin mengagumi kecantikan sendiri, dengan rambut panjang di atas pinggang dan mata yang sedikit sipit tapi juga lebar.
Aku cantik, kata orang-orang tapi sayangnya aku perawan tua.

Hah!, kata itu sangat aku benci.

"Baik, Narsih! lebih baik kau sekarang tidur saja, keadaan akan baik baik saja besok dan lupankan wedana istri dua itu!" hiburku pada diri sendiri lalu naik ke atas ranjang untuk segera tidur.

Hari akan baik baik saja, INGAT!! ini semua adalah takdir, kau tak akan bisa merubahnya walaupun dengan kematian.

* * *
¹: anda, kasarnya (kamu)
²: kepala
Fyi :
(ndoro) bukan hanya sebutan untuk anak bangsawan, akan tetapi juga untuk tuan/ majikan.

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang