33. Jangan bawa aku kembali

134 12 3
                                    

Setelah kunjungan Tuan budiman kemarin, aku sangat berpikir keras untuk bisa bertemu dengan Abhirama.

"Astaga, apa yang harus aku lakukan Gusti? Aku tidak bisa meninggalkan rumah ini untuk mencari Abhirama, menulis suratpun tidak akan sampai karena aku tidak tahu alamat jelasnya." ujarku pada diri sendiri.

Aku duduk di kursi depan dekat pintu, menatap pada pagar. Tidak ada seliweran orang, rumah ini benar-benar sepi.

Suara bendi terdengar dari arah utara, dan muncul dengan beberapa orang di dalamnya, bendi ini berhenti di depan rumah membuat aku bangun dari dudukku.
Seorang pria nampak turun.

"NARSIH!!," ujarnya dengan suara lantang.

Deg.

Pria ini adalah bapak, dengan wajah merah padam dia berjalan ke arahku. Aku tidak bisa berlari rasanya badanku seperti di kunci habisa-habisan.

"P-p-pak!?"

Bapak menariku tanganku dengan kasar, memaksaku untuk ikut bersama dengannya.

"Pulang! Sudah bapak bilang hormati suami dan turuti kemauanya, bukan membangkang!" sentak bapak padaku.

"Tidak!, Narsi tidak ingin ikut pulang dengan bapak!" jawabku tak kalah dengan nada tinggi.

"Berani MELAWAN!!" plakk, bapak menampar pipi dengan amat keras, hingga aku jatuh dan terbentur pada ujung kursi.

"Berhenti!!" teriak seseorang, dan itu adalah ibu. Aku menoleh dengan air mata yang sudah meremang.

Ibu berlari ke arahku, dia membantuku untuk bangun dan langsung memeluk tubuhku.

"Nar, apa yang sudah terjadi? Kenapa kau menghilang dari rumahmu sendiri?" tanya ibu dengan suara gemetar.

"Bu, Narsih tidak krasan tinggal di rumah itu!" jawabaku.

"Jangan kurang ajar! Apa yang telah kau lakukan adalah sebuah ketidaksopanan, Nar!" ucap ibu dengan lembut.

"Tidak, bu!"

"Sekarang, pulang dan kembali pada suamimu!" ucap bapak dengan menarik lenganku kasar.

"Tidak, tidak pak!"

"Jangan kurang ajar!" bapak mendorongku keras hingga membuatku jatuhterbanting dan tengkurap.

"AaaaaaAakkkkAaakk" aku berteriak dengan keras, lantaran perutku sakit hingga menyeluruh pada kedua paha. Aku berusaha untuk duduk dengan sekuat tenaga, "Da-da-darah..." aku semakin panik ketika mengetahui jika ada darah yang merembes di kain jarikku.

Ibu memdekat dan ikut panik melihat kejadian ini, sedangkan aku menangis kesakitan.

Aku di bopong masuk ke dalam oleh bapak dan ibu, di baringkanya aku kamar. Sekilas aku melihat wajah bapak yang khawatir, tepapitidak bisa berkata apapun sam sekali.

"Aku akan memanggil nyi sumi, tunggu disini!" ucap bapak pada ibu, lalu pergi bersama bendi yang di bawa.

Sementara ibu membersihkan kain jarik dan bawhanku yang kotor.

Aku benar-benar kacau, ini membuatku sangat pusing dan sesak napas, seperti ada kabut yang menghalangi pengeihatanku hingga aku benar-benar di bawanya dalam alam awah sadar.

"Nyi sumi!" kata bapak tadi, dia ini adalah mantan gundik dari seorang dokter di batavia, dengan kejelian dan kelihaianya memperhatikan tuanya dulu, dia jadi tahu tentang penyakit yang di derita seseorang, terkadang juga dia membantu para rakyatv yang sakit namun bingung mau berobat kemana. tapi kata nyai masih melekat di lidah orang-orang walaupun dirinya sekarang adalah matan dan itu tidak masalah bagi dirinya, karena mungkin dia berpikir bahwa dia di kenal oleh banyak orang karena dia dulu adalah seorng gundik.

****

Aku terbangun dengan keadaan tubuh terbungkus kain jarik di kamarku yang dulu, rasa nyeri di perutku sudah mulai membaik tapi kepalaku masi merasa nyeri.

"Kau sudah bangun, Nar?" ibu masuk dengan membawa piring berisi makanan.

"Ini di rumah, bu?"

"Iya, kemarin nyi sumi tidak bisa datang kemarin karena ada suatu yang harus dia kerjaka,terpaksa aku membawamu pulang," ibu duduk dan menatapku kosong "Katakan padaku, paakah kau mengandung?" aku mengangguk apa adanya.

"Apa anak yang kau kandung adalah anak wedana itu?"

Aku mengguk lagi.

"Duduklah dulu, aku ingin bicara padamu" aku duduk tepat di hadapan ibu. "Anakmu, gugur, Nar." bisik ibu padaku.

Deg.

Rasanya seperti mati dua kali, hatiku seperti di tusuk dua pisau sekaligus.

"Bu, jangan membohongi aku! Pasti ibu berbohong kan?" tanyaku berharap itu sebuah rekayasa.

"tidak, Nar, dia sudah di bersihkan oleh nyi Sumi tadi. Iklaskan saja, Gusti pasti akan menggantinya,"

Aku tidak menangis, hanya saja aku hatiku sakit. Aku sudah berjaji pada Tuan Dokter ALderts untuk menjaganya walaupun aku tidak menginginkan anak ini.

"Pulanglah pada suamimu, Nar!"

"Tidak!"

"Kenapa? Apa yang dia lakukan padamu, sehingga kau tidak mau untuk kembali pada suamimu, Nar?"

"Dia telah menyakiti aku, Bu. Dia telah membawa wanita lain ke rumah yang seharusnya tidak d kotori oleh orang lain!"

Ibu memelukku dengan "Kenapa kau baru mengatakan sekarang? kenapa tidak dari dulu?"

"Aku tidak tahu harus berbuat apa saat itu, aku terkekang karena ke egoisan Bapak!"

"Maafkan semuanya, Nar! Termasuk aku!"

"Aku akan memaafkan semuanya, asalkan aku tidak di kembalikan pada orang itu!"

"Tapi,"

Braaaak

Suara pintu terbuka dengan keras.

"Narsih!," bapak masuk menghampiriku, "Maafkan aku!" bapak bertekuk lutut di hadapanku.

"Pak, ada apa?" aku turun hingga duduk sejajar dengan bapak.

"Maafka aku, putriku!" bapak memelukku dengan rasa penuh kekecewaan "Aku mendengar semuanya tadi, maafkan aku!"

"Pak, jangan bawa aku lagi ke  rumah Wedana itu, dia kejam dan janji-janjinya tidak dapat di buktikan. Aku sama sekali tidak mendapatkan sebebasan di rumahnya, dan dia membawa wanita lain ke rumah!" terus terang aku katakan pada bapak dengan suara gemetar "Aku kabur dari rumah saat dia membawa wanita lain, aku kehilangan arah dan hatiku terlalu sakit, aku di selamatkan oleh Tuan Dokter Alderts dia yang merawatku dan menjagaku, dia mengatakan padaku untuk menjaga anak yang aku kandung ini tapi sekarang anak ini mati tanpa pamit pada ibunya!"

Bapak menangis di hadapanku, belum pernah aku melihatnya menangis begini.

"Maafkan kami, Nar!" ibu memelukku.

"Kau boleh tidak kembali padanya lagi, maafkan aku telah memaksamu untuk menikah dengannya!" bapak memelukku,

"Aku maafkan kalian!"

Untuk kali pertamanya, aku di peluk oleh kedua orang tuaku di usia yang dewasa ini, aku kira mereka benar akan menyakitiku akan tetapi mereka mau yang terbaik untukku anak-anaknya.

"Pak, bu. Tolong aku!" ucapku pada mereka.

"Apa, Nar? Apa yang harus kami bantu?"

"Aku ingin bertemu dengan Abhirama, bu. Sudah lama aku tidak bertemu denganya!"

"Di mana dia sekarang?" tanya bapak.

Aku menggeleng "Terakhir kali aku melihatnya saat di pelabuhan, dia akan berangkat ke Bali saat itu. Aku tidak bertanya kapan dia akan kembali, karena aku sudah di tarik paksa oleh bapak untuk pulang!"

"Dia akan kembali, percayalah padaku!" jawab bapak.

.
.
.

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang