03. Dokter Alderst

519 52 0
                                    

"Nar, bangun..." ibu menepuk pundakku saat aku sedang tidur.

"Ayo bangun, ini sudah sore cepatlah mandi!"

Aku terbangun dengan mata berat, ku kumpulkan tenagaku untuk bangun.

"Baik, bu. Ini sudah sore ya?" tanyaku.

"Iya, ini sudah sore,"

"Bu, apakah Bapak tetap marah kepadaku?" tanyaku lalu beranjak mengambil handuk yang tergantung di samping lemari.

"Tidak, Bapak tidak marah lagi. Dia baru saja pergi ke Batavia dengan Tuan Evan Vann Djik,"

"Tuan Evan Van Djik?" tanyaku.

"Iya, orang londo itu," terlihat wajah ibu berubah saat menyebut tuan Evan Van Djik.

Ya...walaupun aku sayang terhadap Bapak, aku juga kecewa terhadapnya karena Bapak bekerja untuk para orang Belanda.

Tapi, aku tak bisa melawan karena kekayaan yang dimiliki dan dimakan sekarang ada hasil bekerja kepada Belanda.

"Oh ya, sudahlah aku pergi mandi dulu, Bu." aku beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah selesai mandi, aku menganti bajuku dengan baju kebaya berwana hitam dengan bawahan berwarna coklat.

Setelah itu aku duduk di samping jendela menikmati terpaan sinar senja yang akan segera hilang.

Menulis buku dengan isi catatan hidup, tapi pikiranku kini tebayang pada sosok yang pernah aku temui, dan itu bukan Bayu tetapi Abhirama.

Entah, kenapa wajahnya semakin terbayang saat aku menatap sinar senja yang masuk melewati jendela.

Wajahnya manis, kulitnya putih tapi tidak seputih orang-orang Eropa, badanya yang tinggi dan rahangya yang tegas, belum lagi dihiasi oleh udeng di kepalanya.

Tapi tak mungkin aku bertemu denganya lagi, karena seingatku dia akan bergabung dengan kelompok Aziz Abdullah, kelompok yang melakukan perlawanan kepada Belanda dengan cara bergeliriya.

* * *

Kini sudah lewat satu minggu bapak belum pulang, bapak hanya mengirimkan surat lewat pos dan masih belum tau kapan akan pulang.

Dan siang ini aku di perintah ibu untuk membeli kecap lagi di pasar.

Walaupun ada orang yang berbelanja dirumah, tapi ibu yang selalu menyuruhku untuk membeli kecap dengan alasan 'kecap yang aku pilih lebih enak'

Aku mengayuh sepedaku perlahan melewati pinggiran jalan karena cuaca sekarang sedang panas sekali.

Dan aku juga lupa membawa caping ¹ , terus aku kayuh perlahan sepedaku, hingga aku sampai di pasar dengan selamat dan tidak dicegat oleh siapapun, berjalan dengan hati-hati menuju toko yang sama.

Aku juga terheran kenapa pasar sepi tidak ramai seperti biasanya.

"Pak le', kemana orang-orang? Kenapa pasar sepi sekali?" tanyaku pada pak le'.

"Itu nduk, semalam ada kabar jika tentara Belanda mau datang kepasar menagih pajak!" jelas pak le', aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Baik jika begitu, pak le'. Aku pulang dulu!" aku pamit pada pak le' pelayan toko, dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju tempat dimana aku menaruh sepeda.

Aku takut jika harus bertemu dengan para tentara Belanda, karena dulu, temanku. Yang bernama Anggis pernah di culik dan di jadikan gundik oleh salah satu tentara Belanda, sekarangpun aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi.

Entah mengapa begitu kejam orang-orang eropa di sisni, mereka seenaknya saja datang dan menjajah negeri ini.

Pendidikan hanya di bolehkan untuk kalangan eropa totok maupun yang keturunan. Jika pribumi, hanya yang berketurunan priyayi saja yang boleh sekolah. Tapi di sekolah yang lebih rendah dari sekolahan anak anak eropa lainya.

Untuk aku sendiri aku masih bisa membaca dan menulis karena aku pernah belajar dari bapak langsung.

Aku bukan keturunan priyayi namun aku anak dari seorang yang bekerja di kantor perusahaan milik eropa, yang bekerja sebagai juru tulis.

Aku mengambil sepeda milikku lalu mengayuhnya untuk segera sampai di rumah. Jalan pintas adalah jalan terbaik untuk cepat sampai di rumah, walaupun jalan yang aku lewati sangat sempit.

Di sebelah kanan jalan sawah. Dan di sebelah kiri kebun kopi dengan jalan setapak yang kecil.

Setelah melewati jalan setapak yang kecil, akhirnya aku sampai di gerbang depan rumah.

Setelah sampai dirumah, aku menaruh sepedaku dibawah pohon jambu.

Aku melihat ada sebuah bendi yang sedang menepi di sebelah rumah, aku melihatnya dengan jelas, bendi itu berkuda warna hitam dan seorang kusir dengan pakaian laki-laki jawa lengkap dengan blangkon.

Aku pikir bapak telah pulang dari tugasnya ternyata tidak, saat aku memasuki rumah, aku melihat ibu tengah duduk  berhadapan dengan laki-laki Eropa berjas putih, lengkap dengan stetoskop yang masih menempel di lehernya.

"Narsih," panggil ibu

"Iya, bu.'"

"Dia, Dokter Alderst. beliau sekarang menjadi Dokter pribadi di rumah kita" jelas ibu padaku.

"Baik, bu."

"Berkenalanlah dulu, Nar!" perintah ibu padaku.

Aku merasa gugup, karena untuk pertama kalinya aku berkenalan dengan laki-laki Eropa totok.

"Narsih,"

"Alderst." jawabnya lalu menjabat tanganku.

Aku duduk di sebelah ibu setelahnya, mendengarkan percakapan ibu dengan dengan dokter Alderst seputar tentang kesehatan. Mungkin di karenakan bapak belum pulang dari tugasnya, oleh karena itu bapak mengutus dokter kerumah untuk mengetahui kesehatan keluarga.

Ya, dulu bapak pernah berjanji pada aku dan ibu, jika dia pergi jauh, dia akan menyewa dokter untung menjaga kesehatan keluarganya.

Dan menurutku bapak itu aneh, terkadang dia menjadi pemarah, kadang juga menjadi pendiam dan menjadi penyanyang, tapi satu sifat yang tidak aku sukai dari bapak adalah sikap egois.

Sama seperti kemarin saat mas Bayu gagal meminangku, bapak terlihat sangat marah dan nampak egois, entah kenapa ibu bisa bertemu dengan orang seperti bapak ini, dan sanggup hidup bersama hingga memiliki dua anak, aku dan adikku.

Sangat lama percakapan ibu dengan Dokter Alderst tentang seputar kesehatan. Dan aku hanya mendengarkannya saja, Dokter Alderst berbicara menggunakan bahasa melayu, walaupun bahasa melayunya sangat kasar dan kaku.

Setelah percakapanya selesai, Dokter Alderst beranjak dari duduknya.

"Jika begitu, saya akan pulang terlebih dahulu karena masih banyak sekali pekerjaan!" Dokter Alderst lalu pamit pada ibu dan juga aku, katanya ada perkerjaan yang akan di selesaikan.

"Baik, jika saya butuh saya akan menjemput, Tuan."

Dokter Alderst hanya tersenyum dan mengangguk lalu pergi keluar, aku dan ibu mengiringnya keluar rumah sebagi tanda kehormatan. Dokter Alderst menaiki bendi yang menepi di samping rumah.

Ibu terlebih dahulu masuk kedalam tapi aku masih melihat Dokter Alderst dengan bendinya yang berjalan hingga tak nampak dari kejauhan.

"Teryata orang Eropa tak sejahat yang aku kira," batinku.

biasanya mereka dengan senaknya memperlakukan orang, apa jangan jangan karena dia Dokter ya? Aduh...tak ada gunanya juga aku memikirkan hal itu.

Toh, disini dia hanya akan memeriksa orang yang sakit, bukan untuk membunuh.

Dan aku juga berharap jika orang-orang eropa ini segera angkat kaki dari tanah ini, agar semua orang orang merasa damai dan tidak takut untuk menanam apa yang mereka miliki.


.

......

¹: topi yang terbuat dari anyaman bambu

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang