26. Melepasa semuanya

143 16 0
                                    

Bukan cerita baru untuk amarah bapak hadir di antara kesempatan yang aku miliki.

Mungkin aku akan mati sebentar lagi, bapak datang saat aku bersimpuh kepada Abhirama, dan meneriakiku dengan kata-kata yang tak sepantasnya.

Keringat dingin bercucuran di punggungku, jantungku berdebar dua kali lipat saat melihat bapak menyilangkan kedua tanganya.

"Nar, kau melanggar peraturan! Sekarang pulang dan jangan temui laki-laki itu!" ucap bapak sembari menunjuk pada Abhirama.

"Nar, pulanglah bapakmu marah!" bisik Abhirama padaku. Aku menggeleng, aku tika mau.

"Nar, balek!" bentak bapak.

"Mboten, pak!" jawabku melawan.

"Dasar, anak tidak tahu di untung, sekarang kau pulang! Atau aku bunuh laki-laki itu!" ucap bapak mengancam.

"Pak, Narsih hanya ingin bahagia bersama orang yang Narsih cintai!" jawabku pada bapak. Dan aku masih memegang tangan Abhirama.

"Cah edan kowْe, Nar!" bapak menarik tanganku dengan paksa, hingga peganganku pada Abhirama terlepas "Kau di besarkan dari jerih yang aku lakukan, dan kau berani melawan!"

"Pak, tolong! Narsih hanya ingin bahagia dengan pilihan Narsih! Bukan dengan orang pilihan bapak yang telah beristri dua itu!"

"Ngeyel! Balek!!" bapak menamparku dan menarikku paksa "Mardi, Balek. Lek gak gelem di pecat!" ucap bapak pada pak Mardi yang tertundung tidak tahu harus berbuat apa.

Aku berhasil keluar dari tarikan bapak dan berlari pada Abhirama, namun aku berhasil di tangkap lagi oleh bapak, setelah berhasil mendorong Abhirama hingga terjatuh.
Kali ini aku tak bisa berontak, aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa menangis sembari menatap Abhirama. Dirinya hanya diam seperti takut harus berbuat apa.
Bapak menarikku menuju bendi yang di gunakanya, malangnya tanganku dan kaki di ikat oleh bapak agar tidak bisa lagi kabur.
Setelah itu aku melihat Abhirama berpaling dan menaiki salah satu kapal yang segera berlayar. Hatiku sakit bagai tersayat pisau, Abhirama tidak lagi menoleh maupun melambaikan tangan ke arahku. Hingga dirinya tidak terlihat lagi, dan bendi yang aku tumpangi berjalan menuju rumah.

Di sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis dengan tangan dan kaki yang terikat. Bapak sudah tidak memiliki rasa kasihan terhadapku, bapak hanya fokus pada arah depan. Dan pak mardi menunggangi kuda yang tadinya membawa bendi kami.
Dalam hatiku sangat ribut dengan doa-doa agar tidak terjadi apa-apa dengan Abhirama maupun pak Mardi.

* * *

Kami telah sampai di rumah, bapak membuka tali yang mengikat kakiku akan tetapi membiarkan tali yang masih mengikat tanganku.
Bapak menarik tanganku dengan kasar dan membawaku ke ruang tamu. Ibu yang mengetahui itu berlari dan mencoba merampas genggam tangan bapak di pergelangan tanganku,
Aku menangis meraung kepada ibu, akan tetapi ibu tidak bisa bertindak lebih karena tubuhnya terdorang oleh bapak.
Bapak membawaku ke kamar dan mengunci pintunya dari luar, jendela pun ikut di paku agar tidak bisa terbuka, sungguh aku benar-benar kacau kali ini.
Aku mencoba menggedor-gedor pintu akan tetapi tidak ada yang memperdulikanya.
Kenapa setiap kali aku membela diri, tidak ada ikut serta dalam membela dengan sungguh? Apa karena wanita di zaman ini hanya di tuntun untuk mengikuti adat dan peraturan saja? Dan tidak pantas untuk membela diri?

Tanganku mulai lelah karena menggedor-gedor pintu, dan tak kunjung mendapatkan jawaban dari orang luar. Perutku juga mulai berbunyi menyanyi atas kelaparan yang terjadi, dari pagi aku belum memasukan makanan sama sekali ke perutku, bahkan air putih itu sendiri.

Semuanya tidak baik-baik saja di sini, aku sudah kehilangan harapan atas doa-doaku kepada tuhan untuk bersama Abhirama. Dan mungkin tuhan tidak menghendaki diriku dengannya karena kami berbeda keyakinan, walaupun memiliki perasaan yang sama.

______________♥______________

Setelah beberapa hari di kurung dalam kamar, tanpa memberi celajmh sedikit untuk aku bebas kecuali untuk mandi, makan pun di antat oleh mbok Sri.
Dan pagi ini adalah pagu dimana aku bisa keluar, ya untuk melihat segala persiapan yang akan di gunakan sebentar lagi, untuk acara siraman, hatiku sangat gelisah, hancur rasanya.
Mbok sri melumuri tanganku dengan cairan kental yang sangat wangi, juga memberiku jamu yang di racik dari rempah-rempah pilihan, sedangkan ibu tengah sibuk menyiapkan segara riasan yang akan di susun satu-persatu di tubuhku saat akad nanti.
Bapak dan pak Mardi, juga di rewang oleh para tetangga membangun mendirikan sebuah tarub untuk menyambut tamu, dan menyusun semua kursi.
Sebuah pelaminan berhiaskan bunga-bunga yang indah nan wangi kini terpampang menghiasi, lampu gas di siapkan untuk menyinari ruang depan pada malam hari. Begitu juga  di dapur, lampu gas sangat terang di pasang agar terlihat sedikit warna kue-kue yang akan di sajikan besok.

"Ndoro, nanti jika jadi seoarang istri menurutlah pada suami. Karena setelah orang tua, suami adalah surga bagi seorang wanita!" nasihat mbok Sri yang tak aku gubris, namun masih terdengar di telinga.

"Ndoro, sekarang pakai kain jarik ini sebentar lagi siraman, apa mau mbok temani?"

Aku tak menjawab, aku hanya menggeleng karena aku bisa memasangnya sendiri.
Setelah selesai berganti, aku bersiap-siap dengan di temani oleh ibu.

Setelah menunggu beberapa menit, aku di bawa oleh ibu ke depat tempat di mana akan melaksanakan siraman, wajahku sangatlah murung sehingga aku memilih menyembunyikan wajahku dengan menunduk.

Sebelum prosesi siramam di mulai, aku melakukan sungkeman kepada orang tua, bapak dan ibu untuk meminta doa restu.

"Ingat pesan bapak, Mikul dhuwur mendhem jero,
Seorang anak yang menjunjung tinggi derajat orang tua! Jaga nama baik kedua orang tuamu ini pada suamimu ataupun khalayak ramai. Jadilah anak yang baik!" ucap bapak saat aku ber-sungkem pada dirinya.

"Nar, sebentar lagi kau akan sah menjadi seorang istri dari seorang wedana, dan jadilah istri yang baik! Turuti kemauan suamimu selagi baik!" nasehat ibu saat aku berpindah sungkem pada dirinya.

Setelah selesai melakukan  sungkeman aku duduk di sebuah kursi kecil yang bersebelahan dengan gentong air yang di campur dengan bunga mawar, kenanga dan melati.
Mulai dari yang tertua, bapak, ibu, dan kerabat, satu-satu mulai menyiramkan air tersebut dari ujung kepala hingga ujung kaki, setelah semuanya selesai hanya tersisa sedikit air, tapi aku menyuruh mbok Sri dan pak Mardi yang menghabisinya untuk menyiramku. Karena mereka sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri.

"Ndoro, jadilah anak yang baik! Ini buka akhir dari segalanya. Jangan pikirkan tentang waktu yang dulunya pahit, semuanya pasti akan baik-baik saja! Semua kesulitan pasti akan datang kemudahan" bisik pak Mardi padaku dengan pelana.

Setelah selesai melakukan siraman, kini di lanjutkan selametan, semua tamu datang dengan gembira. Di sambut bapak dan ibu juga kerabat, dan di lanjutkan untuk ijab qobul besok siang.

Bukan akhir dari segalanya....

♥Teruntuk pembaca yang pernah singgah, TERIMAKASIH🌹 atas apresiasi anda dalam membaca karya ini. Awalnya aku ingin tumbang di antara kegelisah dan ketakutan yang aku alami belakangan ini, akan tetapi aku mulai di ingatkan pada tujuan awalku yaitu merangkai karya melalu cerita untuk bisa mencapai cita-cita.
Sekali lagi terimakasih🌹

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang