24. Aku merindukannya

134 14 0
                                    

Kini sudah hampir mendekati tanggal pernikahan, ya gusti...sungguh aku tidak ikhlas. Apa yang harus aku lakukan? Aku juga belum bertemu dengan Abhirama, aku merindukanya.

Aku merindukan di saat dirinya bercerita, tolong aku merindukanya......

"Nar, kau tidak merindukanku?" tanya sesorang dari belakangku saat aku sedang berada di taman.

Aku menoleh menghadap ke arah suara itu, betapa terkejutnya aku saat menyadari, jika suara itu adalah orang yang aku rindukan.

"Mas ?!" aku memeluknya, kemudian menatap wajahnya.

"Kau merindukanku? Berapa hari kita tidak bertemu?."

"Mas, kemana saja dirimu, aku merindukanmu dan kau tahu? Aku sudah kalah melawan perjodohan, mas!" ucapku pada Abhirama.

"Kenapa kalah? Bukanya justru itu bagus? Kau kan akan menikah dengan seorang yang memiliki jabatan, dan tentunya pasti kau akan hidup makmur!"

"Mas, aku tidak mencintainya! Aku tidak suka padanya, laki-laki yang sudah beristri dua itu. Aku mencintaimu saja, mas!" kini aku menangis memeluk dirinya.

"Aku juga mencintaimu, Nar! Tapi kita tidak bisa bersatu. Maka biarkan aku lepas darimu! Lupakan diriku, dan menikahlah dengan orang yang orang tuamu pilih!"

"Mas, bawa aku pergi dari sini, bawa aku pada dewamu. Aku tidak ingin menikah dengan orang yang tidak aku cintai, aku hanya ingin bersamamu, mas!" dia melepas pelukanku, dan mencium keningku dengan sangat tulus.

"Aku tidak bisa membawamu, Nar! Aku akan berdosa jika membawamu, aku mencintaimu dengan tulus hatiku tapi tidak bisa merebut dirimu dari tuhanmu. Dan jikapun aku yang perpindah, maka aku akan berdosa telah berkhianat pada dewa-dewiku!

Ikutikah keyakinanmu itu, dan menikahlah dengan orang pilihan orang tuamu! Jangan khwatirkan aku, aku akan baik-baik saja di sini. Dan mungkin aku akan kembali ke Bali" Abhirama mundur menjauhiku "Nar, jaga baik-baik dirimu. Lupakan aku!"

"Mas! Jangan pergi" pekikku padanya, saat dirinya semakin menjauhiku.

"Lupakan aku, Nar! Menikahlah dengan pilihan orang tuamu, kita tidak bisa bersatu!"

"MAS!...MAS!....!!" aku mengejarnya dan menggenggam tangan Abhirama.

"Mas, tolong jangan pergi. Aku tahu jika kita berbeda, tapi kita bisa memperbaikinya. Yakin padaku, mas!"

"Apa yang akan di perbaiki?"

"Aku akan ikut denganmu, mas! Ya aku akan ikut denganmu, ke Bali"

"Jangan, Nar. Aku tidak bisa membawamu!" dia menarik napasnya dengan kasar "Mungkin, jika aku tidak bertemu denganmu dan mengenalmu, rasanya tidak akan pernah sesakit ini. Tapi jangan khawatir, ini sudah keputusanku untuk merasakan sakit ini"

"Mas, apa yang kau katakan?" aku menangis, saat genggaman tanganku di lepas olehnya.

"Aku pergi!"

Aku semakin menjerit, menangis. Kenapa seseorang yang aku sayangi bisa meninggalkan aku dengan alasan jika kita berbeda.

"Aaaaakkkhhh.... Gusti....kenapa kau tak memberi keadilan sedikit saja kepadaku ini? Aku sudah cukup sakit di sini!" aku menangis memukul dadaku sendiri, aku menjerit sejadi-jadinya, menyalahkan diri sendiri dan mengacak-acak rambut yang tergelung rapi.

"Nar, Narsih.. Bangun!" seseorang menepuk pipiku, dengan sangat keras.

Aku membuka mataku seketika, haa tenyata aku hanya mimpi yang membuatku sakit. Dan yang menepuk pipiku adalah ibu.

"Nar, kenapa kau sampai mengigau begitu? Apa yang sedang kau simpan?" tanya ibu padaku yang masih menatap langit-langit.

Aku bangun dan duduk menatap ibu, wajahnya tampak cemas melihatku. 

"Bu, Narsih ingin bertemu dengan mas Rama, bu! Sebelum Narsih menikah dengan mas Adipati" pintaku pada ibu.

Ibu menunduk dan memberikan selebar surat untukku.
"Tadi, Rama datang berkunjung kemari. Dia menitipkan surat ini untukku, dia bilang dia akan segera kembali ke Bali, Nar!" aku tidak bisa berkutik, rasanya darah berhenti mengalir di dalam diriku. Tanganku gemetar emosiku memuncak, napasku sangat sesak setelah mendengar kunjungan terakhir kali Abhirama.

"Bu, kenapa tidak memangil Narsih untuk bertemu dengan mas Rama? Kenapa ibu sangat jahat pada Narsih?" ucapku pada ibu, lalu bangkit.

"Bukan begitu, Nar! Ada bapak di luar tadi, ibu tidak berani untuk mempertemukan kalian!" jawaban ibu penuh kehati-hatian.

"Bapak? Hanya karena bapak. Ibu membiarkan anaknya sakit karena merindukan orang yang di cintai?" jawabanku mungkin memang tidak bisa di kata sopan, tetapi aku sudah tidak dapat menahan emosiku.

"Nar, tunggu penjelasanku dulu!" aku keluar dari kamar tanpa menoleh ke arah ibu.
Aku keluar lewat pintu belakang, sembari mencari pak Mardi yang entah kemana. Mungkin ada di kandang.

"Pak Mardi? Pak, antar aku sebentar!" pekikku ke arah kandang kuda.

"Ndoro Narsih, mau kemana? Sudah izin sama ndoro Cokrohadikusumo?" tanya pak Mardi, yang tibac-tiba muncul dari pintu kandang.

"Tidak perlu, antar aku sebentar pak!" bujukku pada pak Mardi.

"Saya tidak berani mengantar, jika ndoro Narsih tidak izin terlebih dahulu!" pak mardi menolak permintaanku dengan alasan takut.

"Pak, aku mohon! Nanti pak Mardi Narsih belikan pecel, bagaimana?" tak apalah aku menyogoknya.

"Waduh, ndoro..saya...

"Seminggu! Narsih akan belikan pak Mardi nasi pecel, bagaimana?" aku memotong jawaban pak Mardi yang tanpak ragu tadi.

"Yang benar saja ndoro?"

"Benar, pak Mardi! Sekarang antar Narsih ke rumah yang waktu itu kita kunjungi!"

Pak mardi mengangguk, lalu dengan sigap memasang bendi yang lebih kecil ke satu ekor kuda yang gagah.
Kami berjalan dengan hati-hati melewati pekarangan rumah. Lalu melaju cepat setelah keluar pekarangan rumah.

Detak jantungku tidak normal, tanganku masih gemetar. Aku lupa jika aku belum sarapan pagi ini, tapi rasa laparku telah di gantikan dengan rasa takut di tinggal.

Aku membuka selembar surat dengan tulisan yang tidak panjang.

Surat yang di tulis oleh Abhirama;

Teruntuk Narsih.

Surat ini aku tulis pada malam hari sebelum keberangkatanku ke Bali. Sakit rasanya meninggalkan seseorang yang sangat aku cintai, tapi apa boleh buat?
Aku juga tidak bisa memaksa kehendak tuhan atas takdir yang telah dirinya tulis untuk aku, juga untukmu, Nar.

Sang Hyang Semara Ratih tidak salah meletakan cinta di hatiku untukmu, Nar!
Jika saja aku tidak bertemu denganmu, mungkin aku akan tetap bodoh dan tidak bisa baca dan tulis, tetapi di saat aku telah mengenalmu, aku bisa membaca dan menulis apa yang aku mau.
Terimakasih untuk dirimu, gadis jawa soerabaja.

Tapi,
Jika saja aku aku tidak bertemu denganmu, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini, Nar.
Aku mencintaimu, dan belakangan ini aku sangat merindukanmu.

Surat ini aku tulis, aku akan pulang! Doakan aku selamat. Dan semoga saja surat ini bukan surat terakhir yang aku tulis untuk dirimu.

Dari aku, laki-laki Bali.

-Abhirama.

Tanganku semakin gemetar tak karuan setelah membaca surat ini, hatiku semakin kacau dan tak karuan.

Gusti tolong aku, aku merindukan Abhirama...

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang