35. Peluk aku

140 12 0
                                    

Percekcokan yang mengakibatkan pengusaha kebun kopi meninggal.

Seperti itu kiranya judul dari surat kabar hari ini, tidak ada yang menarik selain penindasan terhadap kaum pribumi bagi mereka.

Semakin hari semakin cepat saja, baru tadi pagi aku merasakan dingin, dan sekarang  merasakan panasnya siang hari.

"Nar, apa kau melihat gunting di kamarku?" tanya ibu sembari memegang kain.

"Tidak, aku tida melihatnya lagi pula aku tidak ke kamar ibu,"

"Di mana aku manaruhnya? Padahal semalam masih aku pegang!"

"Mungkin, Rifnu yang mengambilnya!"

"Aku akan mencarinya dulu!"  ibu  keluar dari kamarku.

Aku membuka jendela hingga terentang lebar, bermaksud membiarkan angin agar masuk.

"Nar, guntingnya tidak ada pada Rifnu!" ibu masuk lagi, mengadu jika guntingnya masih belum di temukan.

"Apa yang akan ibu gunting?" tanyaku sembari mendekati ibu.

"Aku akan menjahit baju ini, Nar! Lumayan untuk kau pakai nantinya," ibu menunjukan segumpal kain berwarna putih di tanganya, aku mengambilnya dan membentangkanya.

"Bu, baju ini masih bagus dan layak, lalu bagian mana yang akan ibu jahit?" aku memperhatikan baju puti ini, memang layak dan bagus.

"Astaga, aku akan menambahinya renda-renda di pinggiranya agar tidak terlihat polos begitu,"

Aku tersenyum melihat ibu yang sangat bersemnagat untuk memberi hiasa renda pada baju polos ini.

"Cari saja pelan pelan! Mungkin nanti ada,"

"Helleh, lalu kapan aku akan menjahit ini?"

"Besok saja, bu" aku meletakan baju itu di atas kasur.

Ibu mengangguk lalu hendak keluar dari kamar, "Bu, apa aku boleh pergi ke pelabuhan?" tanyaku padanya.

"Untuk apa?"

"Aku hanya ingin pergi ke sana, tidak ada maksud lain!"

"Yasudah, Pergilah tetapi jangan sampai matahari tenggelam. Dan berhati-hatilah."

"enggeh, bu!"

Aku mengganti bajuku, dan menggulung rambut ke atas, aku membawa buku yang biasa aku gunakan untuk catatan harian. Segera aku mengahampiri pak Mardi yang sedang berada di belakang, membersihkan bendi-bendi yang sudah siap pakai.

"Pak, antar aku sebentar!"

"Mau kemana lagi, Ndoro seng ayu rupane?"

"Pergi ke pelabuhan. Hanya sebentar,"

"Sudah izin?"

"sampun!"

Setelah melakukan percakapan kami pergi menaiki bendi menuju pelabuhan, tidak ada hal yang aneh untuk sekarang hanya saja aku sangat ingin pergi ke pelabuhan, barang kali aku menemukan sesuatu yang baik.

Jalan yang berdebu, udara yang hangat di tambah dengan angin yang bertiup dengan kencang, menandakan pelabuhan telah dekat.

"Pak, jenengan taruh saja dulu bendinya, aku akan menunggu d sana,"

"enggeh."

Aku duduk di bawah pohon kelapa, membaca kembali catatan yang sudah aku tulis. Sembari memandang lautan yang sangat indah, lalu tak sengaja terlintas kenangan saat bersama dengan Abhirama, biasa dia yang selalu menamani dan bercerita tentang banyak pengalaman yang di alami.

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang