09. Abhirama

301 33 0
                                    

Aku pergi ke dapur untuk mengambil makan dan minum untuk Abhirama karena dia harus minun obat

"Ndoro sudah makan?" tanya mbok Sri yang tahu jika aku mengambilkan makanan untuk Abhirama.

"Iya sebentar lagi Narsih makan, masih mau mengantar makan untuk mas Abhirama!" jawabku menyakinkan mbok Sri.

Setelah mengambil makan, aku kembali ke kamar membawakan makan untuknya.
Kudapati dirinya tengah menatap jendela sepertinya ada yang dirinya pikirkan.

"Mas?, sedang lihat apa?."tanyaku setelah melangkahi pintu.

"Melihat jendela, memangnya kenapa?."jawabnya di sertai senyuman.

"Mas, makan dulu ya-aku masih mau ke dapur." dia hanya tersenyum menatapku "Kenapa mas?" aku bingung kenapa dia berlagak begitu. Matanya melirik lenganya yang luka. Aku lupa jika dia tidak bisa makan sendiri.
Aku duduk di samping ia yang berbaring.

"Boleh minta tolong bantu aku duduk?." aku membantunya duduk dengan hati hati."Boleh menyisihkan sedikit makananya?" aku bingun kenapa dia minta menyisihkan makananya.

"Memangnya kenapa mas, apakah nasi ini terlalu banyak?."

"Bukan begitu, akan tetapi kami orang orang Hindu-Bali, Tradisi leluhur Bali menyisihkan sedikit makanan disisi piring sebelum makan  tradisi yang indah ini perlu diabadikan dalam kehidupan sehari-hari.

Khususnya sebagai orang yang menghormati dan mengerti ajaran leluhur serta ingin melestarikannya demi kesejahteraan hidup lahir batin." jelasnya menjawab pertanyaanku.
Aku hanya mengangguk mengiyakan dan mengikuti permintaannya untuk di sisikan makananya.

Aku menyisikan makanya sedikit di sisi piring. Aku menyuapinya selayaknya aku menyuapi adikku Rifnu. Makananya tak habis aku sudah berusaha membujuknya untuk habis tapi dia tetap tak mau.

"Yasudah, jika mas tak mau menghabiskan makananya, sekarang saatnya mas minum obat." Aku mengambil beberapa biji obat dari tempatnya."Sekarang mas buka mulutnya Aaaa." entah dia menuruti saja perkataanku, lalu aku membantunya minum untuk mendorong obat masuk.

"Nar, terima kasih" ucapnya sambil tersenyum menatapku.

"Sama-sama, sekarang baringkan tubuhmu"aku membantunya membaringkan tubuh dan menyelimutinya" aka akan pergi masih ada urusan!"

"Terima kasih!" ucapnya sekali lagi. Aku hanya tersenyum padanya lalu keluar kamar membiarkan dia istirahat.

Aku pergi ke dapur untuk sarapan, pagi ini cukup cerah juga perasaanku.
Seakan akan aku telah melupakan masalah yang tengah menimpaku, mulai dari ke egoisan bapak juga perjodohanku dengan seorang wedana.

Setelah selesai sarapan aku menemuin ibuku di taman, ibu tengah membaca buku dengan di temani secangkir teh di sampingnya.

"Bu' , dokter Alderst sudah pulang?" tanyaku.

"Sudah, baru saja dia pulang!"

"Bu'...." aku duduk di sebelahnya merengek layaknya anak kecil yang tak di belikan mainan.

"Kenapa?"ibu menutup bukunya meletakkanya di sampingnya.

"Bu' Narsih ndak mau jadi istri wedana!" pintaku pada ibu "Lebih baik Narsi menjadi istri rakyat jelatah bu' dari pada menikah dengan wedana beristri dua!"

"Nar, jika boleh ibu membatalkan, ibu sudah batalkan dari kemarin tapi masalahnya, ini bapak yang ngatur semuanya jadi kau harus ikhlas!"

"Mau ikhlas bagaimana bu', kalau Narsih ndak suka!"

"Suka maupun ndak suka kau harus suka, bapak bilang tiga bulan lagi kau akan dipingit!"

"Bu' batalkan saja bu'!" rengekku pada ibu memohon.

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang