25. Gempuran ombak yang menghantam

136 14 0
                                    


Bendi ini terus berjalan menuju ke rumah yang kami kunjungi waktu lalu, hatiku sudah tidak nyaman. Ada geleyar-geleyang yang mendorong untuk segera bertemu, di tambah tangan dan kakiku mulai dingin.

Dari kejauhan sudah terlihat rumah berwarna putih dan jendela yang berwarna hijau telur asin, di sini jantungku bertambah tidak karuan.
Bendi berhenti tepat di depan rumah tersebut, aku turun tanpa aba-aba dan menjinjing kain jarik yang aku kenakan.

"Mas, mas Rama. Apa kau masih ada di rumah?" panggilku, sembari mengetuk pintu.

Pak mardi turun dari bendi dan mendekat ke arahku.

"Mas, mas Rama!" panggilku terus.
Pintu itu terbuka dan seseorang muncul di tengahnya.

"Cari siapa?" dia melihat ke arahku "Loh, ini kan cah ayu yang waktu itu mampir?" ucapnya padanya, ya orang itu adalah bapak yang bersama Abhirama saat ini.

"Enggeh pak! Saya ke sini mau mencari Abhirama!" jawabku.

"Tadi Abhirama sudah berangkat pergi ke pelabuhan, dia bilang akan pulang ke Bali!"

Di sini aku lemas, apakah aku terlambat?

"Aa-apa sudah lama mas Rama berangkat?" tanyaku sembari menangis.

"Tidak lama, sekitar tiga puluh menit dia berangkat!"

Tanpa berpikir panjang, aku dan pak Mardi langsung menuju pelabuhan tempat keberangkatan Abhirama.
Pak Mardi memacu bendi dengan sangat cepat, sehingga aku benar-benar berpegangan pada sisi kanan-kiri bendi.

Tapi keberuntungan tidak menyertai kami kali ini, karena terlalu cepatnya bendi berjalan maka roda di sisi kiri lepas begitu saja, dan membuatku semakin panik.

Pak Mardi mencoba memasangnya, namun tetap tidak bisa.

"Pak, bagaimana?" tanyaku di ambang kepanikan.

"Tetap tidak bisa, Ndoro. Sepertinya sambunganya patah dan harus di ganti!"

Entah apa yang harus aku lakukan, aku panik tak karuan.

"Pak, pelabuhan apa masih jauh dari sini?"

"Sekitar dua ratus meter, Ndoro"

"yo wess pak, ngene aee. Bendinya di tinggal di sini saja, biar kita menunggangi kuda saja!" saranku pada pak Mardi.

"Apa tidak masalah, jika bendinya di tinggal begitu saja?"

"Pak, percaya pada Ndoromu ini!"

Setelah meyakinkan pak Mardi, kami berdua pun akhirnya berangkat menunggangi kuda pergi ke pelabuhan. Pak mardi yang mengendalikannya karena aku tak cukup tahu.
Dalam hatiku sangat berisik akan doa-doa  kepada tuhan, agar bisa bertemu dengan Abhirama.
Sepoi-sepoi angin sudah menerpa wajahku, pertanda pelabuhan sudah dekat.

Sebuah kapal sudah terlihat pucuk layarnya dari arah jalan, banyak orang berpakaian belanda dan baju kebangsawanan dan itu membuatku tidak mengetahui Abhirama.
Aku turun dari kuda dan mendekata ke salah satu awak kapal yang tengah bersantai.

"Permisi pak, saya hendak bertanya, apa bapak melihat laki-laki bali?" tanyaku padanya.

"Laki-laki bali? tadi saya sempat melihat ada laki-laki bali menggunakan udeng, jika tidak salah. Tadi dia menaiki kapal yang menuju arah timur!" jawab awak kapal tersebut sembari menunjuk ke arah timur.

"Arah timur itu perginya kemana pak?"

"Yo ke bali toh cah ayu!"

"Apa berangkatnya sudah dari tadi?" tanyaku dengan jantung yang berdebar-debar.

"Sekitar satu jam yang lalu!"

Aku teregu tidak percaya, jika aku sudah benar-benar di inggal oleh Abhirama, aku menoleh ke arah pak Mardi. aku menggeleng dan menangis menghampirinya.

Aku terduduk di kursi panjang dekat pak Mardi menaruh kuda, mataku kesana-kemari mencari sosok Abhirama. Barang kali dirinya masih blum berangkat da orang yang berangkat tadi adalh orang lain.

"Ndoro, sebaiknya kita pulang saja. Rama sudah tidak ada di sini, khawatir ndoro Cokro mencari ndoro Narsih!" ajak pak mardi kepadaku yang masih duduk menangis.

aku menggeleng menolak ajakan pak mardi untuk pulang.
"Aku belum bertemu dengan Abhirama, pak. Lelaki yang aku cintai!" jawabku tersendat-sendat.

Cukup lama kami berada di pelabuhan, hingga rasa pasrah berkunjung ke dalam benakku. aku ingin bertemu dengan abhirama, aku akan bersikap egois pada diriku sendiri kali ini.

"Ndoro, sudah mari kita pulang saja!"
aku menggeleng padanya, menolak untuk pulang.

mataku terus mencari kebeadaanya, sang insan permata pujaan hati.

Hingga mataku tertuju pada salah seorang laki-laki berpakaian putih, lengkap dengan udeng. Dirinya tengah berdoa di bawah pohon kelapa.
Aku menarik tangan pak mardi, mengajaknya untuk mendekat ke arah laki-laki tersebut.
Hatiku terteguh saat sudah dekat dengan kebaradaan laki-laki ini.
Aku menangis dan langsung memeluknya dari arah samping, membuat dirinya hampir terjatuh tapi tetap fokus dalam berdoa pada tuhanya.

"Mas, aku merindukanmu!" lirihku padanya.

dirinya telah selesai berdoa dan menoleh ke arahku.

"Narsih.." dirinya juga memelukku "Aku kira aku tidak akan bertemu denganmu lagi"

"Mas, kenapa kau jahat hendak meninggalkanku? Dan membiarkan aku menahan rindu yang sangat menyakitkan ini?"

"Aku tidak jahat, Nar! Aku hanya ingin kau bahagia!"

"Bahagia kau kata, mas? Aku tidak bahagia, karena aku tidak mencintai calon suamiku itu"

"Jangan berkata begitu, kau pasti mencintainya. Bukan kah orang jawa bilang witing tresno jalaran suko kulino?" ucapnya lalu menoleh ke arah pak Mardi.

"Aku tidak percaya akan kata-kata itu, itu bohong mas, bohong!"

Dia melepaskan pelukanku, dan mengusap pipiku yang basah terkena air mata.

"Nar, aku akan senang jika kau menikah denga orang itu. Maka menikahlah senangkan hati orang tua-mu itu, kau seorang wanita jawa! Wanita yang di pandang sebagai wanita yang sangat sopan dan penurut!"

"Jika aku wanita jawa, memangnya tidak boleh memegang hak atas diriku sendiri, mas? Aku juga ingin bahagia, mas! Tanpa paksaan dan kekangan, aku ingin bersama seseorang yang aku cintai, dan itu kau mas!" jawabku kembali menangis.

"Boleh, Nar! Kau boleh mempertahankan hakmu. Sekarang pulanglah, dan kembali ke rumah. Aku juga akan kembali ke Bali, awak kapal sudah menungguku dari tadi, jangan menangis! Aku tidak suka melihatmu menangis!" ucapnya, semakin membuat hatiku ter iris.

Aku memeluk erat Abhirama, aku tidak ingin dirinya meninggalkan aku di sini. Jika tidak dia harus membawaku pergi ke Bali bersamanya, aku sudah tidak memikirkan wajah jelekku karena menangis.
Aku memeluk Abhirama hingga bajunya basah karena tangisanku, benar-benar aku tidak ingin di tinggal olehnya.

"Mas, jangan pergi!" ucapku lirih.

"Aku harus pulang, Nar!"

"Jangan, mas! Jangan pulang! Aku mohon!" pelukanku lepas, dan berganti bersimpuh di kakinya.

"Apa yang kau lakukan, Nar? Bangun! Jangan seperti itu, aku tidak pantas untuk kau simpuhi!" dia mengangkat tubuhku, mengusap lagi air mataku.

"Aku mohon jangan pergi, mas!"

"Aku harus pulang ke Bali, Nar! Kau juga harus pulang ke rumah."

"Siapa yang akan bercerita kepada lagi, mas? Jika bukan dirimu!" aku menggeleng, menolak perintahnya. Aku kembali memeluknya dengan erat.

"Narsih, bajingan kowe balek!" suara itu berasal dari arah belakang, membuatku menoleh.

Jangan pergi....

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang