22. Aku kalah

135 15 0
                                    

Perjalanan menuju rumah sudah gelap, pak mardi berhenti sekejap untuk menghidupkan lampu minyak yang memang ter sedia di bendi yang kami tumpangi. lalu melanjutkan perjalan dengan hati- hati, suara jangkrik mulai bersahutan, juga angin yang mulai kencang sehingga menyebabkan dingin begitu menusuk sampai tulang, tidak ada yang di takuti karena jarak untuk sampai ke rumah sudah sangat dekat.

setelah sampai di depan rumah, pak mardi turun untuk membuka gerbang dan membiarkan aku untuk masuk sendiri, karena pak mardi hendakmenaruh kuda di kandang berserta bendi yang selesai di pakai.

"Nar, kemana saja kau pergi?" suara itu muncul di hadapanku, tak lain adalah bapak.

"Pak, Narsih datang dari pasar, ngantri beli telo!" jawabku sembari menunjukan telo yang aku pegang. Padahal telo itu milik pak mardi.

"Tidak ada ceritanya di pasar ngantri sampai jam segini, jangan buat alasan kamu. Jangan pernah berbohong pada bapak!"

"Tapi memang iya pak! Narsih ngantri dari tadi jam lima sore!"

"Memangnya dari mana kau tahu jam lima sore? Di pasar tidak ada jam dinding di sana! Apalagi hanya di pedangan telo!"

Aku menunduk diam, aku tak bisa menjawab lagi peryataanya.

"Kenapa diam? Berbohong kan? Ikut bapak!!" bentak bapak padaku.

"Mohon ampun bapak!" aku duduk bersimpuh di hadapan bapak, hingga telo yang aku pegang jatuh berserakan.

"Tidak ada ampun untuk kamu! Nar, kau anak perempuan bapak satu-satunya. Sekarang ikut bapak!" bapak menarik paksa tanganku, aku berontak tetapi kalah dengan tenaga bapak yang lebih kuat "Ayo! Rausah kemenyek!!" bapak terus menarik paksa tanganku.

"Pak, ampun pak!" ampunku pada bapak, namun tetap tak dapat ampunan.

"Hey hey... Pak kenapa Narsih di tarik begitu?" ibu yang mengetahui segera mendekat ke arahku dan bapak.

"Noer, anakmu sudah pandai untuk membohongi orang tuanya!"

"Cukup, kang mas! Dia anak kita! Anak perempuan satu-satunya. Kalau dia mati karena ulah kang mas bagaimana? Apa yang akan di jawab nantinya jika orang-orang bertanya?. Mas jangan edan!"

"Bela terus anakmu ini!" bapak mendorongku ke arah ibu "Bawa dia ke kamarnya, jangan sampai keluar-keluar lagi!. Aku akan segera menikahkan dia dengan Adipati Kusumo!" bapak berlalu meninggalkan aku dan ibu.

"Nar, kenapa sampai malam begini? Lihat bapak, jadi marah padamu"

"Bu', tadi jalanya begitu gelap, hingga bendi yang kami tumpangi jalanya lambat" jelasku pada ibu.

"Ya sudah jika begitu, kau cepat masuk ke kamarmu, istirahatlah besok Adipati kusomo akan berkunjung kembali!"

"Untuk apa bu? Bukanya masih lusa akan berkunjung ke sini, Kenapa ingkar janji?" tanyaku pada ibu.

"Bukan begitu, Nar. Bapak ingin kau segera menikah dan tinggal bersama Adipati Kusumo! Karena bapak malu saat kau tidak menjawab pertanyaanya kemarin, mau tidak mau kau harus menikah, Nar!"

"Bu', tolong bu', Narsih tidak mau menikah dengan Adipati Kusumo!"

"Sudah jangan di pikirkan lagi! Semuanya akan baik-baik saja, sekarang istirahatlah, Nar!"

"Apanya yang akan baik-baik saja? Jika Narsih tidak ingin menikah dengan orang yang tidak Narsih cintai?" air mata yang tadinya aku bendung, kini mulai turun membasahi pipiku.

"Sudah jangan menangis! Bukankah kau baru saja bertemu dengan Rama. Semuanya akan baik-baik saja! Percayalah pada ibu!"

Aku semakin menangis ketika mendengar nama Abhirama di sebut oleh ibu, dan teringat akan surat yang dirinya tulis kepada dewa-dewinya.

Entah bagaimana caranya aku akan mendefinisikan hatiku yang benar-benar kacau ini. Aku bingung pada dunia yang menurutku tidak adil. Tapi aku yakin jika takdir tuhan itu adil.

Karena sajauh mana kau memandang, dan sejauh mana kau berlari. Takdir tidak dapat di ubah dan di hindari, walaupun dengan kematian itu sendiri.

Hari ini adalah hari kedua Adipati Kusumo berkunjung, entah apa yang akan aku jawab nantinya saat di tanyai siap atau tidak.

Semuanya telah duduk rapi di ruang tamu menyambut kedatangan Raden Adipati Kusumo. Kebaya hitam berhiaskan renda kuning emas telah terpasang indah di tubuhku, klip bunga berwarna merah menempel pada baju di sisi kiri.

Tapi entah kenapa aku tidak menyukainya sama sekali, justru aku membencinya juga orang-orang rumah yang tidak bisa membela aku habis-habisnya.

Rombongan telah datang, Adipati Kusumo di temani dua laki-laki berpakainya jawa lengkap dengan blangkon yang di gunakanya, kami duduk berhadap-hadapan. Dan Adipati Kusumo memberi tahu kedatanganya kemari.

"De' Narsih, kedatangku disini bukan sembarangan. Akan tetapi tuan cokrohadikusumo calon mertuakulah yang meminta datang! Dan aku Raden Adipati Kusumo disini berniat untuk meminang de' Narsih menjadi istriku!" Adipati Kusumo menjelaskan kedatanganya padaku.

Aku hanya bisa menunduk pasrah dengan keadaan ini. Aku benar benar kalah saat ini, dan apa yang harus aku lakukan sekarang.


"Apa yang akan saya peroleh dari jenengan, kang mas. Wedana yang sudah beristri dua?" tanyaku padanya dengan posisi yang sama (menunduk).

"Ha ha ha ha, de' Narsih jangan khawatir! Aku akan memberimu hidup yang serba enak, bebas dari peraturan Hindia-Belanda yang mengikat ini!" jawabnya, bernada sombang atas pangkat yang di milikinya.

"Dan setelah itu, saya akan menjadi istri ketiga dalam rumah tangga seseorang?"

"Narsih, cukup!" tegur bapak yang duduk di sebelahku "Mau tidak mau, kau harus menerima apa adanya!"

"Pak.."

"cukup!!"

Aku benar-benar kalah kali ini. Kalah dengan keegoisan bapak, dan di sini tiada yang membela keinginanku sebenarnya. Ibu? Ibu terlalu cinta pada bapak, sehingga tidak dapat membelaku di keadaan yang seperti ini.

"Baik jika begitu, sudah sepakat di antara kedua belah pihak atas pinangan ini. Dan segera mencari tanggal yang akan di tetapka sebagai hari pernikahan!" ucap seseorang yang ada di samping kiri Adipati kusumo.

Memang di antara kedua belah pihak setuju antara pernikahan kami, tetapi tidak dengan diriku. Aku justru membencinya.

"Pingitan akan di lakukan dalam satu minggu agar segera terlaksanaknya pernikahan dengan secepat mungkin!" ucap bapak pada para tamunya.

Aku tak bisa menjawab lagi, aku benar-benar kalah dalam medan pertempuran ini. Aku terlalu lemah untuk mempertahankan hakku sendiri, aku akan menikaah dengan orang yang tidak aku cintai.

Aku berharap ini bukan benar-benar takdirku, aku harus bisa keluar dari pernikahan ini bagaimanapun caranya.
Karena ini bukan akhir dari segalanya.
.
.
.

⚠ FYI:
     Pingit atau pingitan adalah salah satu tradisi dalam proses pernikahan adat Jawa, di mana calon pengantin perempuan dilarang ke luar rumah atau bertemu calon pengantin laki-laki selama waktu yang ditentukan. Biasanya, keduanya nggak boleh bertemu sampai acara pernikahan tiba.
pingitan biasanya hanya dijalankan selama 1-2 minggu saja. Selama masa pingitan, calon pengantin perempuan akan mendapatkan pelatihan seputar rumah tangga oleh keluarga. Hal ini tentunya dapat menghilangkan rasa bosan dan akan menjadi bekal untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

Saujana (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang