4. Cokelat Panas

29 4 8
                                    

Digta melangkah pelan menyusuri trotoar, kedua tangannya menyelusup ke dalam kantung celana. Laki-laki itu sedang sibuk dengan pikirannya, hari ini sangat jauh dari perkiraan.

Duar!

Gemuruh menggema mengisi langit mendung, Digta mendongak ketika rintikan kecil air langit mulai turun. "Hujan lagi," gumamnya.

Buru-buru Digta mempercepat langkah, mencari tempat berteduh yang aman. Apa pun itu, asalkan bukan teras rumah orang.

Dari jarak tiga meter, sebuah kafe dekat halte mengalihkan perhatian Digta. Tanpa berpikir panjang, laki-laki itu melangkah ke sana. Hitung-hitung sekalian menghangatkan diri sambil menunggu hujan reda.

Sampai di beranda kafe, Digta membuka pintu kaca perlahan. Masuk dan duduk di bangku sudut, pertama kalinya dia masuk ke kafe ini. Suasana di dalam, entah kenapa Digta menyukainya.

Laki-laki itu meletakkan ransel di samping kursi kemudian mengeluarkan ponselnya. Menyumpal telinga dengan benda putih bulat kecil dan memutar musik R&B yang biasa dia dengarkan.

Ingatan Digta kembali pada potongan peristwa kecil hari ini. Perihal alasan mengapa pagi yang dingin terasa hangat saat dia keluar dari bus itu. Juga ketika hujan menyapa siang sampai sore, bisingnya terdengar seperti nyanyian.

Alma, salam kenal.

Helaan napas panjang Digta lepaskan, laki-laki itu mulai gundah dengan perubahan musim yang membawa skenario baru ini. Setelah bertahun-tahun Digta membenci musim hujan.

"Permisi, mau pesan apa, Kak?"

Digta terkejut dengan kehadiran pelayan perempuan di dekat mejanya. Dia menyapa dengan segan, Digta jadi tidak enak.

"Satu cup cokelat panas, Mbak," jawabnya pelan.

Pelayan itu tersenyum, dia bertanya lagi, "Atas nama?"

"Digta."

"Baik, terima kasih. Untuk pesanannya nanti dipanggil ya, Kak," ucap pelayan itu, dia berlalu setelah mendapatkan anggukan Digta.

Kembali pada permasalahan musim, ini permulaan Oktober dan rasanya asing. Ke mana hari-harinya yang penuh tekanan?

Drttt ....

Getar ponsel di meja mengalihkan perhatian Digta. Tangannya bergerak memeriksa siapa yang mencoba menghubunginya.

"Halo, Digta?"

"Ya?"

"Jadwal besok maju tiga jam, ya?"

Digta terdiam sejenak, sorot matanya sedikit menyayu. "Iya."

"Makan minumnya jangan lupa dijaga."

"Iya."

"Yaudah, kalau gitu. Saya tutup, permisi."

Nada putus terdengar dan Digta kembali meletakkan ponselnya di meja. Melepaskan headset-nya dari telinga dan memilih mendengarkan suara bising hujan. Sedikit teredam karena ruangan di dalam kafe tertutup.

Netra kecokelatan Digta memandangi jalanan di depan gedung tempatnya betandang. Lalu-lalang kendaraan bermotor di luar sana, terlihat sangat ramai dan sibuk. Digta terkesima dengan sinar matahari yang masih sampai ke bumi dalam cuaca semendung ini.

"Cokelat panas, atas nama Rubby?!"

Suara barusan, Digta menoleh karena penasaran. Entah apa yang membuatnya rela membuang tenaga hanya untuk melihat seorang siswi SMA mengambil pesanannya. Dia, sepertinya Digta tahu seragam mana yang dia kenakan.

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang