7. Film

22 4 20
                                    

Suara musik R&B mengisi kesunyian malam kamar serba putih Digta. Laki-laki itu sedang sibuk dengan tugas sekolah yang Brama titipkan pada ibundanya. Segelas besar infused water menjadi teman dalam aktivitas Digta kali ini.

Hampir dua jam sudah dia mencoba mengerjakan semuanya dengan benar. Hasil dari penjumlahan Matematika yang diperoleh tidak pernah sama. Konsentrasi Digta juga semakin terbuyar ke mana-mana.

"Fokus, Digta," gumamnya.

Laki-laki itu menghela napas panjang. Bersandar di kursi sambil menenggak sedikit minumannya, berharap dengan ini dia bisa sedikit lebih tenang. Sayang, usahanya tidak berbuah hasil sama sekali.

Digta bangkit dari bangkunya, membuka jendela kamar dan diam di sana. Perasaan laki-laki itu kalut, seperti ada bagian yang hilang dari ingatannya. Tapi apa? Bukankah cerita hari ini memang tidak seistimewa dua hari kemarin?

Sudah masuk pukul sepuluh, di luar hujan rintik. Bisa dipastikan suhu besok pagi menurun lagi. Digta membenarkan rambutnya yang berantakan tertiup angin, menutup jendela kamar setelah merasa cukup kemudian duduk di tepian ranjang.

Netra kecokelatannya menatap kamera analog di nakas, sudah lama tidak Digta pakai. Sejak kegiatannya dibatasi, Digta tidak pernah lagi mengembangkan semua hobinya. Bahkan, Digta mundur dari pekerjaannya.

Dengan hati-hati Digta mengambil kamera itu, menatapnya penuh kerinduan seolah bertemu teman lama. Kedua sudut bibir laki-laki itu sedikit terangkat, banyak potret yang sudah dia abadikan lewat lensa karena ini.

Jadi inget Haikal.

Setelah menyelam ke masa lalu, Digta memutuskan untuk membersihkan kameranya. Digta berniat membawa benda itu besok sore ke taman. Selesai berurusan dengan kamera, laki-laki itu mencoba menghubungi Randya.

"Oit? Tumben nelpon duluan."

Digta terkekeh. "Lagi apa?"

"Photoshoot, nih. Kenapa?"

Raut wajah Digta berubah seketika, laki-laki itu terdiam. Dia rindu momen bersama teman lamanya. Bersama Randya, berada pada satu bingkai yang sama.

"Digta?"

"Rame, ya?"

"Nggak, cuma aku sama Merrel."

"Oh, yaudah. Cuma nanya itu aja, udah ya."

Digta memutus panggilan sepihak. Situasinya tidak tepat jika terus melanjutkan panggilan. Cukup sudah perpisahan itu menjadi penutup cerita, jangan lagi. Digta tidak akan sanggup melewatinya.

Laki-laki itu membantingkan tubuh di atas kasur. "Waktuku di sana sudah habis."

●●●

Persis seperti dugaan Digta semalam, pagi ini suhu udara mencapai 23 derajat. Digta terpaksa mengenakan jaket sebagai penghangat tubuhnya. Laki-laki itu duduk diam di halte, menunggu bus datang pagi ini.

Digta jadi teringat Alma, kemarin malam dia sempat mengantarkannya pulang. Dan pagi ini, seharusnya mereka berada di bus yang sama lagi. Karena rutenya melewati rumah Alma.

Sekitar dua menit menunggu bersama beberapa calon penumpang lainnya, bus datang dari arah timur. Ada satu yang membuat Digta terkejut, kendaraan umum itu hampir penuh. Selama Digta menaikinya, belum pernah sampai seramai ini.

Tidak ada pilihan lagi bagi Digta selain naik. Karena itu satu-satunya kendaraan umum yang bisa dia tumpangi. Tidak ada sisa kursi di dalam, laki-laki itu terpaksa berdiri bersama beberapa penumpang lain.

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang