3. Aroma Pertikor

46 4 5
                                    

Tepat pukul setengah dua belas siang, awan mendung menguasai langit luas. Rintikan air perlahan menderas mengguyur bumi dan segala yang tertanam di atasnya.

Angin yang berembus sedikit kencang memaksa Brama menutup jendela kelas. Pancaroba kali ini sedikit ekstrim, perubahan cuacanya terlampau kontras.

"Brrr, dingin lagi," gumam Brama, mengeratkan jas hitam yang membalut seragamnya.

Digta hanya diam mendengar cicitan Brama, dia juga merasakan hawa yang sama. Udara yang kering dan suara berisik, Digta benci itu.

Brama yang melihat Digta mengantungi kedua tangannya pun mendapat ide, "Kantin aja kali, ya? Beli yang anget-anget gitu."

Hujannya ....

Digta menoleh pada Brama sambil mengangguk kecil. Lagi pula, ajakan Brama tidak begitu buruk. Dan perihal keanehan hari ini, mungkin bisa dia kesampingkan sejenak sementara bersantai di kantin.

Perginya sepasang remaja laki-laki itu tidak luput dari kedua netra gadis yang duduk sendirian di bangku paling belakang. Dia yang sedari perkenalannya tadi tidak berhenti memikirkan salah satu dari mereka.

"Dia ...," gumamnya.

Jemari lentik gadis berambut sedada itu bergerak membuka tutup penutup pena. Kerucut kecil di bibir ranumnya seolah mengabarkan bahwa dia sedang sibuk mengingat-ingat sesuatu.

"Apa orang yang sama juga dengan laki-laki di bus tadi?"

Sambil menatap sebungkus roti, gadis itu menghela napas pelan. Rasanya agak aneh, jika itu orang yang sama sementara hawa yang dia lihat jauh berbeda.

"Hai, kita belum sempet kenalan," celetuk seseorang.

Gadis itu mendongak ketika sebuah tangan terulur di hadapan wajahnya. Ada segerombolan siswi yang berdiri di sisi kiri meja. Dan salah satu dari mereka menatapnya berbinar.

Dia menyambut tangan itu dengan ragu. "Alma," katanya.

●●●

"Dua porsi bakso sama wedang jahe!"

Brama mendongak menatap Digta yang baru akan menghidupkan ponselnya. Dia menepuk tangan kiri laki-laki itu. Memberi kode untung mengambil pesanan mereka yang baru saja penjaga kantin teriakkan.

Kendati sedikit menyebalkan jika bicara soal respons, Digta tetap melaksanakan apa yang Brama pinta. Selama masih dalam batas wajar, begitu agaknya.

Laki-laki setinggi hampir dua meter itu melangkah mendekati salah satu stand kantin. Membawa senampan pesanan menuju meja di mana dia dan Brama duduk. Tidak banyak bicara, Digta langsung menyerahkan milik Brama dan memakan miliknya sendiri.

"Hm ..., wangi jahe, kuah bakso, plus wangi tanah. Mantap!" heboh Brama, entah apa maksudnya.

Wangi tanah, ya.

Mungkin sekitar lima menit mereka berdiam di kantin, setelahnya Brama mengajak Digta kembali ke kelas. Katanya, suhu di kantin terlalu dingin untuk seorang Brama yang suka kehangatan.

Digta sendiri tahu maksud kalimat yang Brama ucapkan itu. Ada sedikit sindiran untuknya, tapi apa Digta peduli? Mungkin iya, mungkin juga tidak.

Dalam perjalanan menuju kelas, tepat di koridor terbuka. Digta menghentikan langkahnya tiba-tiba, mengagetkan Brama yang menyadari temannya itu menatap hujan di luar.

Laki-laki itu melangkah mendekat, berdiri di samping Digta dan ikut memandangi apa yang sedang Digta nikmati. "Sebentar lagi musim hujan, dan cerita baru akan dimulai," celetuknya pelan.

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang