Derik jangkrik mengisi sebagian ruang, gerimis kembali datang pada malam Minggu yang sedikit berantakan. Digta pulang dengan pikiran tak keruan, menghabiskan waktu bersama Alma di pantai sedikit menyerang batinnya.
Sudah lewat pukul sembilan. Laki-laki itu berdiam di bangku meja belajar, dengan segelas infused water seperti biasa. Tidak ada yang berubah dari kamar berukuran standar ini. Warna putihnya masih sama, figura yang dipajang juga itu-itu saja.
"Papa," gumam Digta.
Satu hal yang belum pernah bisa Digta pahami sedari perpisahan waktu itu. Seperti apa rasa kehilangan itu? Apa sakitnya melebihi sesak yang selalu dia rasakan sedari kecil? Digta selalu penasaran, bagaimana dunia jika dia kini tidak terlahir dari rahim sang Ibunda. Apakah jalannya akan tetap sama?
Tegukan terakhir infused water menutup kelana pikiran Digta. Dia bangkit dari sana, menutup jendela kamar. Beralih pada kamera analog yang menyimpan banyak kenangan.
Digta duduk di tepian ranjang, melihat-lihat hasil jepretan saat dirinya berkunjung ke taman bersama Alma. Sudah berlalu beberapa Minggu dari sekarang, tapi rasanya seperti baru kemarin. Sesingkat itukah waktu berjalan?
Helaan napas gusar lepas begitu saja, ada banyak panah menghujani setiap benteng yang sudah susah payah Digta bangun. Sejauh langkahnya menuju, baru kali ini rasa takut itu muncul dan menghantui. Bagaimana jika dia pergi dan hilang dari ingatan mereka?
Apa sih!
Digta menggeleng pelan, meletakkan kembali kameranya di nakas dan berbaring di ranjang. Langit-langit kamar yang hanya dihiasi lampu dua biji, Digta melihat banyak bayangan yang mulai memburam. Ada sembilan cahaya yang menyinari sisi gelap seorang Digta.
Maaf.
Andai waktu bisa diulang, Digta ingin merakitnya kembali. Memulai dari awal setiap kepingan kenangan yang lepas satu persatu. Dan jika bisa, Digta ingin menyelesaikan semuanya segera.
●●●
November habis, belum ada kenangan baru yang terasa spesial bagi Digta. Pergi ke pantai bersama Alma menjadi penutup cerita. Tidak banyak interaksi mereka usai Digta memenuhi janjinya pada Randya dan Brama. Sekarang, kesempatan bertemu Alma hanya di sekolah saja.
Dering lonceng menggaduhkan seisi kelas. Berbagai bentuk desas-desus terdengar seperti ratusan lebah keluar dari sarangnya. Waktu mengerjakan soal ujian sudah habis, selesai atau tidak mereka harus berhenti.
Musim ujian sudah berjalan sampai pertengahan. Tiga hari lagi selesai, dan class meeting akan datang. Libur semester juga sudah di depan mata, tapi Digta membencinya. Pintu yang ingin Digta hindari harus dia masuki selama dua Minggu ini.
"Gimana Kimia-nya? Enak?" celetuk Brama bertanya.
Digta hanya terkekeh samar, laki-laki itu tidak sempat belajar semalam. Jadi, tidak ada satu pun yang bisa dia yakini benar jawabannya. "Pasrah," jawab Digta.
Mengerti maksud Digta, Brama tertawa. Memaklumi peritiwa kemarin sepulang sekolah, Digta butuh istirahat. Dan perihal Alma, rasanya Brama ingin meminta maaf berulang kali melihat gadis itu menjawab dengan senyuman saat Digta menolak ajakannya.
"Pulang?" tawar Brama.
Digta menggeleng, ada rencana yang dia buat sendiri hari ini. Mungkin, cocok disebut sebagai permintaan maaf.
"Mau ke mana? Ada acara?" tanya Brama heran.
Digta terdiam, dia menoleh ke belakang. Melihat Alma yang sibuk dengan buku di meja. Digta tidak tahu apa yang Alma lakukan, seperti sedang menempelkan sesuatu. Dan Brama, mungkin akan lebih baik menjawab tanpa menjelaskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBØW [Selesai]
Roman pour AdolescentsMusim hujan kali ini membawa peri penyelamat. Kanvas hidup Digta seperti dilukis sedemikian rupa dengan kaya warna. Seseorang yang memanggilnya pelangi di antara hujan dan panas, dia pelakunya. Dua ratus empat belas hari bersama musim penghujan. Se...