10. Monokromatik

12 3 13
                                    

Biru muda menghiasi langit siang, berhias gumpalan-gumpalan awan dan beberapa burung terbang. Gadis dengan setelan seragam SMA itu duduk diam di bangku taman, cuaca cerah hari ini sedikit menghibur dirinya.

Masih belum bisa melupakan peristiwa dua hari lalu. Alma tidak tahu apa alasan Digta tiba-tiba membisu. Apa itu bentuk ketidaksukaan Digta terhadap sikapnya? Atau karena hal lain? Alma tidak bisa berbohong, dia bingung sekarang.

Helaan napas panjang gadis itu lepas penuh beban. Pandangannya beralih menuju koridor selatan. Ada Digta dan Brama di sana, mereka berdua seperti sedang berbincang serius.

Setengah yakin, Alma melangkah cepat mendekati dua remaja itu. Mungkin dengan sedikit sapaan hubungan mereka akan membaik.

"Hai," celetuk Alma, canggung.

Brama tersenyum lebar, dia membalas sapaan Alma dengan kedua alisnya. Lain dengan Digta, laki-laki itu hanya diam tanpa ada niatan menjawab. Begitulah, situasi semakin canggung hingga Brama dengan sengaja menginjak kaki Digta.

"Ck! Apa?" tanyanya, terpaksa.

Senyum canggung Alma memudar, gadis itu menunduk memainkan jemarinya. Perihal rencana di kepalanya yang akan berjalan lancar atau tidak, Alma sudah pasrah.

"Em ..., sore nanti-"

"Nggak bisa."

Brama spontan mengernyit heran mendengar balasan cepat Digta. Laki-laki itu bahkan tidak menatap Alma sama sekali. Tapi dari sorot mata Digta yang memilih memandangi rumput taman, Brama bisa menyimpulkan seperti apa suasana hatinya. Tapi, tidak dengan permasalahan mereka berdua.

"Alma belum selesai ngomong, Dig," tegur Brama.

Alma menghela napas pelan, dia menatap Brama dengan senyum tipisnya. "Nggak apa-apa kok, Bram. Alma cuma pengen bilang kalau hubungan Alma sama Mama udah baikan."

Tidak ada balasan apa pun yang dia terima dari Digta. Laki-laki itu mematung bak maneken dengan wajah tanpa ekspresi, sebelum helaan napasnya lepas dan membalas tatap Alma.

"Duluan."

Digta berlalu usai mengatakan itu. Meninggalkan Alma dan Brama yang kebingungan. Sikap Digta hari ini dan dua hari lalu seperti bukan Digta yang biasanya. Jangankan Alma, Brama saja tidak mengerti mengapa.

●●●

Digta duduk diam di bangku halte. Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh lewat dua belas. Langit sudah berubah mendung sejak beberapa menit lalu. Secepat itu, dan Digta merasakan ada yang sedang mengejarnya.

Duduk bersandar dengan mata terpejam. Sesekali helaan napas panjang Digta lepaskan. Kernyitan kedua alis laki-laki itu membuktikan ada sesuatu yang berkeliaran di kepalanya.

Drttt ....

Ponsel Digta bergetar, tampilan panggilan masuk mengisi layar yang semula hitam. Masih dengan posisi yang sama, Digta sedang tidak ingin diganggu.

Iri rasanya jika melihat banyak hal yang harus ditinggalkan sekarang. Walau hadirnya membosankan, Digta bisa mengatakan bahwa hanya itu yang mengisi kekosongan harinya. Mewarnai tipis-tipis bagian hitam putih hidupnya.

Digta membenarkan posisi duduk, memeriksa siapa yang sedari tadi berusaha menelpon. Nama Randya terpampang jelas lada layar ponselnya. Digta mengerti mengapa, jadi dia yang akan menghubungi Randya sekarang.

"Digta."

"Hm."

"Udah siap?"

"Ke mana?"

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang