11. Tinta Hijau

10 3 36
                                    

Memasuki pertengahan November, musim ujian akan segera datang. Digta terdiam di bangkunya, dengan beberapa alat tulis sedikit berserakan di meja. Entah berapa kali laki-laki itu menghela napas gelisah.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Digta tidak menemukan kantuknya sama sekali. Semua tugas sudah dia selesaikan, selanjutnya apa?

Kesal sendiri, laki-laki itu berdecak pelan. Sudah lewat berminggu-minggu dari musim pancaroba. Sekarang, Digta harus menerima ucapan Alma bahwa hujan memang tidak seburuk itu.

Digta bangkit usai membereskan meja belajar, melangkah menuju jendela kamar dan membuka tirainya. Di luar hujan rintik, bisa Digta lihat tetesannya membasahi pekarangan rumah. Lagi-lagi Digta menghela napas panjang.

Sebentar lagi, ya?

Tepat dua hari yang lalu, Digta dihadapkan pada dua pilihan yang mengunci geraknya. Semesta seperti sengaja memberi coretan pada kanvas yang sedang Digta lukis.

Ceklek!

"Belum tidur, Nak?"

Suara itu, Digta beralih pada sosok wanita di ambang pintu. Wajahnya sedikit lebih tenang dari beberapa hari lalu. Entah apa yang menjadi alasan beliau tersenyum semanis itu, Digta juga belum paham.

"Belum, Bun. Kenapa?" jawab Digta, pelan.

Ibunda Digta masuk, menutup pintu dan duduk di tepian ranjang. Helaan napas tipis keluar dari mulutnya, Digta bisa merasakan ada sesuatu yang kurang nyaman.

"Dua minggu lagi pergantian semester, ya?" celetuk Bunda Digta, netra sayunya menatap lurus sebuah figura di meja belajar Digta.

Laki-laki itu menegakkan berdirinya, melangkah pelan mendekati sang Ibunda di tepian ranjang. Digta tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hal yang berulang kali terjadi dan Digta sedikit terbiasa dengan ini.

"Bukan maksud Bunda pisahin Digta dari mereka," gumam Bunda. Kedua matanya sudah basah ketika dia beralih menatap putranya. "Bunda takut, Nak."

Tidak ada yang bisa Digta lakukan selain melepas helaan napas panjangnya. Laki-laki itu meraih bahu kiri sang Ibunda. Mencoba mengatakan bahwa dunia akan baik-baik saja lewat pelukan yang dia miliki.

"Digta nggak apa-apa kok, Bun," tutur laki-laki itu. Dia beralih menatap bingkai yang semula menjadi fokus Ibundanya. "Mungkin memang udah waktunya Digta tutup buku di sana."

Setidaknya begitu.

●●●

"Dig, kamu yakin?"

Digta mengangguk menanggapi pertanyaan Randya. Mencoba meyakinkan perihal keputusannya seusai libur semester besok.

"Tapi, Dig-"

Bicara Randya terhenti ketika Brama menepuk bahunya. Laki-laki itu menipiskan bibir, mengangguk samar sebagai isyarat. Dia hanya berusaha percaya pada sahabatnya.

Randya menyandarkan tubuh pada sandaran sofa. Kenyataan bahwa hal yang baru saja Digta katakan membuatnya khawatir itu bukan sebuah candaan. Randya tidak bisa berbohong soal ini.

"Oke, tapi ada syaratnya," putus Randya, setelah beberapa saat suasana berubah sunyi senyap.

Brama dan Digta diam. Keduanya fokus menatap Randya yang sedang bersiap mengatakan sesuatu.

"Selama liburan, kita fokus ke jadwal. Nggak ada alasan, itu kewajiban," tutur Randya.

Hening, ruang tamu rumah Randya diisi kecanggungan. Dan Digta, tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengangguk mengiyakan. Apa yang Randya katakan tidak salah, memenuhi jadwal itu memang kewajibannya.

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang