14. Bukit Cinta

17 4 27
                                    

Langkah kaki Digta berhenti bersama Alma setelah sampai di beranda sekolah. Netra kecokelatan laki-laki itu memandangi langit siang menjelang sore di atasnya. Lagi-lagi mengabu, mentari kembali dihalangi awan mendung.

"Yah, hujan nggak ya?" gumam Alma.

Digta menoleh pada gadis yang berdiri di sebelahnya. Terlihat khawatir dengan cuaca hari ini. Bibir mengerucut dan pipi menggembung seperti biasa, Digta tersenyum samar melihatnya.

"Kalau hujan kenapa?" tanya Digta.

Alma menoleh spontan. Kedua alisnya naik terkejut dengan pertanyaan Digta. "Bukannya Digta nggak suka hujan? Nanti berisik, basah, becek?" jawabnya.

Tawa Digta lepas, tidak menyangka itu yang akan menjadi jawaban Alma. Lucu rasanya mengetahui ada seseorang yang mengingat tentang dirinya. Digta jadi terkesima.

"Nggak apa-apa, yang penting tujuannya," balas Digta santai.

Laki-laki itu membuka ransel, mengambil jaket putih gading dari sana dan mengenakannya sebagai lapisan luar. Dia menoleh pada Alma yang menatap heran, entah karena apa.

"Kok pake jaket? Emangnya dingin?" tanya gadis itu, polos. Membuka ponselnya dan memeriksa suhu udara. "Tiga puluh derajat kok, me-"

"Pengen aja," jawab Digta cepat.

Alma mengangguk mengerti dengan bibir mengerucut lucu. Gadis itu melirik ujung sepatunya sebentar, kemudian merangkul tangan kiri Digta dengan gerakan cepat. Alma tertawa ringan mendapati tubuh Digta tersentak terkejut.

"Yuk!" ajaknya setuju.

Digta terkekeh melihat tingkah laku Alma. Mengangguk mengiyakan, melangkah membawa Alma keluar dari area sekolah. Beruntung jalanan lengang, jadi mereka bisa cepat menyeberang. Hanya saja, kondisi halte membuat Digta menghela napas kesal.

Walau sudah mengulur waktu untuk keluar dari kelas, ternyata masih banyak warga sekolah yang baru pulang. Ramai siswa-siswi menunggu bus di sana, termasuk beberapa yang sebelumnya menggunakan kendaraan pribadi.

Digta menoleh pada Alma, gadis itu kelihatan tidak nyaman. Tangan Digta bergerak pelan menunjuk bangku kosong, dia meminta Alma duduk di sana. Sementara gadis itu diam dan menurut dengannya.

"Waaah, ada Alma cantik!"

Suara itu, kalimatnya sedikit mengusik Digta. Tanpa basa-basi dia menjatuhkan bokong di bangku samping Alma. Masa bodoh dengan raut marah laki-laki yang hendak menggoda Alma barusan. Digta tidak akan membiarkan dia menganggu Alma.

"Waah! Apa-apaan nih?!" gertak siswa itu, sementara Digta hanya diam tidak acuh.

Lain dengan Alma, tangan kirinya menggenggam kuat tangan Digta. Gadis itu takut terjadi hal yang tidak-tidak, karena setahu Alma laki-laki di hadapan mereka ini termasuk ke dalam deretan siswa berjulukan preman sekolah.

Merasa tidak diacuhkan, laki-laki berseragam jauh dari kata rapi itu menarik kerah baju Digta. Membuat Digta terpaksa bangkit dari duduknya. Inilah alasan Digta kesal dengan halte yang ramai.

"Mulai berani ya sama saya? Hm? Kamu pikir kamu siapanya dia? Mau coba halangi saya?"

Suara keras dan penuh tekanan emosi, Digta berdecak sebal mendengarnya. Digta hanya melakukan apa yang memang sepatutnya dia lakukan. Dengan tenaga yang Digta miliki, dia melepas cengkraman laki-laki yang entah siapa namanya itu. Menarik tangan Alma, segera memasuki bus yang baru saja datang.

Insiden kecil di halte kali ini, Digta tidak akan melupakannya. Menjengkelkan ketika waktu yang sudah dia persiapkan terganggu dengan hal-hal tidak penting seperti itu.

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang