"Dua puluh empat derajat."
Laki-laki dengan setelan jas seragam SMA berdiri di ambang pintu. Helaan napasnya yang terlihat menandakan seberapa dingin udara sekitar. Oktober baru akan dimulai, pancaroba kembali datang dengan banyak kejutan.
Kaki berlapis sepatu hitam putih melangkah pelan. Usai menutup dan mengunci pintu, laki-laki setinggi hampir dua meter itu menyusuri trotoar. Kedua tangannya menyelusup ke dalam saku celana, dingin.
Drttt ....
Getar ponsel mengalihkan perhatian laki-laki itu. Langkahnya terhenti, memilih untuk fokus dengan panggilan di ponsel. Dia berdecak setelah mengetahui siapa manusia yang mencoba menghubunginya.
"DIGTA!"
Refleks laki-laki itu menjauhkan ponsel dari telinga. Suaranya, mungkin bisa disamakan dengan teriakan ibu-ibu penjual susu kedelai di pasar.
"Apa?"
"Fisika selesai?"
"Hm."
"Entar aku liat, ya? Belum, nih."
"Ya."
"Sip! Ditunggu bosku!"
Panggilan terputus begitu saja, dan Digta sudah terbiasa dengan itu. Dia melanjutkan langkahnya, masih ada waktu lima menit untuk sampai halte dan menunggu bus datang.
Sesekali suara notifikasi ponsel terdengar dari saku celana Digta. Lagi-lagi, grup kelas selalu ramai jika memasuki pukul tujuh pagi. Entah apa yang mereka bahas, Digta tidak peduli. Dia akan membukanya hanya kalau diminta.
Baru sampai di halte, Digta dikejutkan dengan kedatangan bus yang biasa dia tumpangi. Dua menit lebih pagi dari jadwal yang ditempel di halte. Tanpa ba-bi-bu, Digta naik. Selalu bangku belakang yang laki-laki itu pilih, entah apa sebabnya.
Selama perjalanan, yang Digta lakukan hanya diam. Sesekali menghela napas sebelum akhirnya memilih mendengarkan musik dengan headset nirkabel. Dunia begitu monoton bagi Digta.
Bibi penjual roti naik dari halte depan, gumam Digta dalam hati.
Beberapa menit berlalu, bus berhenti dan wanita paruh baya masuk dengan sekeranjang roti dagangannya. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, satu keranjang terisi penuh, satunya terjual setengah.
Entahlah, tapi Digta merasa hal ini terus berulang. Seperti halnya, roti yang dibawa wanita itu akan terjual beberapa bungkus di sini. Itu terjadi setiap hari.
"Ibu jualan roti? Mau dong, Bu."
Masih sama.
Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama. Tidak ada warna baru yang berarti. Dan Digta sudah biasa dengan kenyataan membosankan ini.
"Mau rotinya, Dik?"
●●●
Gerbang sekolah masih terbuka lebar, parkiran kendaraan juga masih lengang. Belum banyak siswa-siswi yang berangkat. Padahal, tinggal beberapa menit lagi bel masuk berbunyi.
Digta baru saja turun dari bus, wajahnya sedikit keheranan dengan sebungkus roti di tangannya. Penjual roti itu, baru kali ini Digta membeli dagangannya. Setelah lima tahun bertemu di bus yang sama.
Aneh.
Dengan perasaan sedikit campur aduk, Digta memasukkan sebungkus roti itu ke dalam ransel. Dia kembali fokus dengan langkahnya memasuki gerbang. Banyak yang menyapa, tapi Digta mengabaikannya.
Bruk!
Digta terdiam sejenak, salah satu headset-nya lepas. Dia cukup tahu apa alasannya, dan Digta tidak peduli. Laki-laki itu lebih mementingkan benda kecil yang semula menyumpal telinga kirinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBØW [Selesai]
Teen FictionMusim hujan kali ini membawa peri penyelamat. Kanvas hidup Digta seperti dilukis sedemikian rupa dengan kaya warna. Seseorang yang memanggilnya pelangi di antara hujan dan panas, dia pelakunya. Dua ratus empat belas hari bersama musim penghujan. Se...