[part belum direvisi]
-
"Besok kita ketemu lagi di sini. Oke?"
Begitu kalimat terakhir yang Alma dengar dari Digta. Hari di mana semuanya berubah tanpa aba-aba. Melewati sore menyambut malam dengan air mata bersambung tawa.
Alma berdiam di belakang pagar trotoar. Memandangi jutaan kenangan yang tersimpan pada sinar kekuningan mentari senja. Sebentar lagi malam, di hari ketiga ini Digta tidak juga datang.
Kamera kuning menggantung di lehernya, sudah banyak yang Alma potret dengan sedikit rasa hampa. Dua hari lalu, Alma selalu bertanya mengapa kesempatan itu hanya sebentar.
Alma memejamkan kedua matanya erat-erat. Menahan titikan air yang hampir mengalir. Bayangan-bayangan penuh warna menari menggoda hatinya. Mengapa cerita berwarna itu harus selesai dengan akhir yang putih abu-abu?
Tangan gadis itu naik, melihat satu persatu gambar bisu yang tersisa. Alma tidak tahu apakah kenangannya masih ada atau hilang entah ke mana. Yang dia rasakan hanya satu, hampa.
"Alma."
Suara itu, sedikit asing di telinga Alma. Dia menoleh ke kiri, menatap terkejut laki-laki berpakaian serba hitam yang datang dari arah Selatan.
"Randya?" gumam Alma pelan.
Laki-laki itu tidak datang sendiri, ada Brama yang menyusul di belakangnya. Tapi, ada yang kurang bagi Alma. Di mana Digta?
"Digta mana?" tanya gadis itu, kaku.
Suasana berubah sunyi, suara seperti kabur terbawa angin musim. Hawa kian mendingin seiring dengan berlalunya tanya tanpa jawab Alma. Randya dan Brama membisu kehilangan kata-kata.
Apa yang waktu beri sebagai ucapan selamat datang pada pembukaam April ini? Mengapa tanyanya dibalas tundukan bisu Randya dan Brama?
"Alma ulangi," celetuk Alma, suaranya bergetar. "Digta mana?"
Netra Randya bersitatap dengan Alma. Dia sosok yang membuat sahabatnya bertahan sampai sekarang. Gadis biasa yang secara tidak langsung memberi banyak harapan perihal masa depan untuk Digta.
Dia yang sekarang harus berdiri sendiri di sini. Dengan segala ketidaktahuannya akan kenyataan yang Randya sendiri menyesal mengapa harus berjalan seperti ini. Laki-laki itu maju selangkah, mencoba memberanikan diri menyibak selimut tebal hidupnya.
"Ran—"
"Digta tidur, Ma."
Randya menarik napas dalam, melepas satu persatu sesak yang datang seperti hujan. Tidak ada lagi kontak mata yang dia buat dengan Alma, laki-laki itu menunduk mencoba menyelesaikan kalimatnya.
"Nggak akan bangun lagi."
●●●
Jika analogi kembali mengambil peran. Langit ikut menunduk untuk satu jiwa yang lepas dari segala rasa sakitnya. Kejam dunia telah meloloskan dia lewat semua derita dan tawa. Tinggal makna dalam cerita yang mungkin akan memudar seiring waktu menua.
Di bawah kolong langit yang menjadi saksi berkumpulnya banyak cinta tak terungkap. Rintikan air mata berbaur bersama bayang yang tersisa tanpa raga. Garis yang tidak mungkin disesali, walau mungkin sakitnya setengah mati.
Haira menatap Alma yang dengan membenarkan helaian rambutnya. Sore ini akan menjadi penutup sebuah cerita yang dia tahu seperti apa indahnya. Gadis itu mendekat, memeluk tubuh ringkih Alma yang masih bergetar hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBØW [Selesai]
Teen FictionMusim hujan kali ini membawa peri penyelamat. Kanvas hidup Digta seperti dilukis sedemikian rupa dengan kaya warna. Seseorang yang memanggilnya pelangi di antara hujan dan panas, dia pelakunya. Dua ratus empat belas hari bersama musim penghujan. Se...