23. Jaket Abu-Abu

19 0 0
                                    

[part belum direvisi]

-

Kembali langit menangis pada bumi. Membawa banyak titik embun membasahi udara pagi. Alma duduk diam di halte depan taman, tempat spesial bersama orang yang dia sadari mengubah hidupnya.

Waktu sudah berlalu berminggu-minggu dari hari terakhir dia melihat si biru itu. Kelinci manis yang sampai sekarang belum tahu ke mana kabarnya. Bahkan, tali yang Alma kira bisa membantu justru pergi begitu saja.

Dua hari lagi masuk bulan April. Apa ini salah Alma?

Gadis itu mengeratkan jaketnya, tidak ada bau harum khas yang dia rindukan. Hanya aroma pertikor si pengacau pikiran. Alma tidak mengerti, mengapa dia memilih kemari padahal bukan hari libur.

Alma tidak sedang bercanda, perasaannya benar tidak baik-baik saja. Dia tertawa pada Haira, tersenyum pada Brama. Sementara hatinya masih menangis untuk orang yang sama. Dia yang Alma temui di pancaroba pertama.

"Digta."

Sorot sayu Alma memandangi lautan lepas di seberang jalan. Suasana sedang mendukung monolog gadis berambut hitam sedada di bangku halte. Masih dengan ransel kesayangannya, gadis itu membisu usai menyebutkan satu nama yang kehilangan wujudnya.

Tidak ada mentari, tidak ada warna biru di langit. Mereka pergi memburamkan banyak perisitwa di bumi tempat gadis berjaket abu-abu itu berpijak. Netra Alma mengembun, ini yang pertama setelah panggilannya tidak terjawab satu bulan lalu.

Jadi begini rasanya.

Hampa.

●●●

"Almananda Rubby."

Terpanggil dalam kondisi yang bisa dibilang pasrah. Alma bangkit dari bangku dengan selembar kertas. Berdiri di depan kelas bersama ribuan ragunya pada waktu. Ini tugas Bahasa Indonesia, Alma merasa lancang membawa rasa dalam tulisannya.

"Sudah selesai puisinya?" tanya sang guru, beliau duduk menyerong menghadap Alma.

Gadis itu, dia mengangguk patah-patah. Tangan kanannya naik perlahan seiring dengan tundukan samar. Deretan aksara di hadapannya, Alma berharap dia sanggup menampilkan itu sebagai perantara rasa pada semesta yang berkuasa.

Alma bisa, cuma baca doang kok.

"Pancaroba pertama." Alma memulai puisinya.

"Dia berdiri di ambang cerita."

"Seiring aroma mengacau rasa."

"Menutup ke—"

Deg!

Hilang, lidah Alma membeku seperti tanpa alasan. Baru bait pertama, Alma kesulitan kesulitan mencapai akhirnya. Baru kata pembuka, banyak takut yang tiba-tiba memeluknya.

"Alma?"

Gadis itu membisu, wajah polosnya berubah kaku. Dia seperti bukan Alma yang biasa, pesonanya memburam sejurus dengan makna bait pertama puisinya.

"Ada apa?"

Alma menoleh spontan ketika pertanyaan itu terlontar. Dia tersenyum canggung, mencoba mengendalikan ekspresinya.

"Maaf, Pak. Alma belum bisa," jawab gadis itu pasrah.

Netranya menatap lurus ubin kelas, dia menghela napas kala guru pengajar meminta Alma kembali ke bangku. Ini salahnya, kenapa harus ada rasa pada susunan kalimat yang bisa saja sebenarnya tidak bermakna.

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang