Menit berjalan hingga malam menjemput senja pulang. Lampu-lampu lalu lintas menyala menerangi jalanan. Digta dan Alma masih berdiam di trotoar depan pantai. Entah apa yang membuat mereka berdua betah berdiam.
"Digta," panggil Alma, pelan.
Digta yang sedang membenarkan jaketnya berdeham sebagai jawaban. Dia menoleh pada Alma yang kini bersandar di pagar trotoar.
"Pulang?" tanyanya spontan.
Alma menunduk mendengar pertanyaan Digta. Gadis itu menatap ujung sepatunya. Hari ini, entah kenapa Alma merasa bersalah pada laki-laki di sebelahnya.
"Maaf ya, Digta," celetuk gadis itu.
Digta terkejut mendengar ucapan Alma. Sebuah permintaan maaf yang Digta tidak mengerti untuk apa. Laki-laki itu mengernyit bingung, menatap Alma yang semakin memperdalam tundukkannya.
"Maafin Alma, Digta," ulang Alma, suaranya bergetar.
Atensi Digta beralih pada bintik air di trotoar. Tepat di sekitar ujung sepatu Alma, bentuknya seperti tetesan. Segera laki-laki itu menarik pundak kiri Alma, menghadapkan gadis itu kepadanya.
"Maaf," cicit Alma lagi.
Digta sedikit merendahkan berdirinya, menyejajarkan tinggi dengan Alma. Masih terkejut mendapati gadis itu menangis lagi. Ini kali kedua Digta melihat air mata Alma, dan Digta masih juga tidak tahu kenapa.
"Alma nggak bisa, Digta," ucap Alma parau. Tangan mungil gadis itu menyeka pelan air mata di pipinya. Dia kelihatan takut menatap Digta. "Alma nggak bisa nepatin janji Alma."
Digta semakin tidak paham dengan Alma. Janji apa? Yang mana? Digta bahkan membisu saat Alma meremas lengan jaketnya. Dia ingin bertanya, tapi apakah tidak masalah jika melihat kondisi Alma sekarang?
Alma mendongak perlahan, mencoba menatap Digta yang masih diselimuti kebingungan. "Alma pernah janji sama Digta, kalau Alma bakal buat Digta nggak sedih lagi. Tapi Alma nggak bisa, Alma gagal buat Dig-"
Bicara Alma terpotong melihat gelengan samar Digta. Laki-laki itu, kedua bibirnya sedikit naik. Digta menatapnya begitu intens, Alma jadi kehilangan kata-kata.
"Kamu nggak gagal," protes Digta pelan. Tangannya naik, menyeka sisa-sisa air mata di pipi kanan kiri Alma.
"Aku nggak sedih, Alma. Aku seneng ada kamu di sini," lanjut Digta.
Digta tidak mengerti arti kalimat yang keluar dari lisannya barusan. Tapi, itu yang dia ingin katakan. Terserah akan seperti apa dunia merespons, Digta hanya ingin Alma tahu soal ini.
Semu kemerahan di hidung dan bawah mata Alma sedikit lucu di mata Digta. Wajah gadis yang setinggi telinganya itu terlihat seperti anak dua tahun, menggemaskan. Tapi bukan berarti Digta senang melihat Alma menangis seperti itu.
Lain cerita dengan Alma, dia mengerucutkan bibirnya tidak percaya. Alma hidup dalam keluarga yang lumayan sulit dibohongi. Jadi, mungkin ini alasan Alma merasa Digta sedang tidak sepenuhnya jujur di sini.
Alma menghela napas pelan. "Kalau gitu, apa Digta bakal sedih kalau Alma nggak ada?"
Tangan Digta naik mengusap pelan puncak kepala Alma. Mengagetkan Alma yang sedang membersihkan sisa-sisa air mata di pipinya. Laki-laki itu menghadap ke barat. Sorot matanya sedikit sayu, Alma tidak mengerti apa artinya itu.
Digta mengangguk. "Rasanya ada yang hilang," jawabnya, kembali menatap Alma.
Bibir manyun Alma menipis, senang mendengar jawaban Digta. Gadis itu menidurkan kepalanya pada pundak Digta. Alma tidak peduli bagaimana respons Digta nantinya. Untuk sekarang, Alma hanya butuh sandaran sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBØW [Selesai]
Novela JuvenilMusim hujan kali ini membawa peri penyelamat. Kanvas hidup Digta seperti dilukis sedemikian rupa dengan kaya warna. Seseorang yang memanggilnya pelangi di antara hujan dan panas, dia pelakunya. Dua ratus empat belas hari bersama musim penghujan. Se...