5. Matahari dan Hujan

31 3 8
                                    

Sudah lewat dua hari dari perkenalan Digta dengan Alma. Masih belum banyak perubahan yang terjadi. Kendati begitu, ada yang bersinar saat hujan masih deras mengguyur penjuru kota.

Tepat pukul sepuluh pagi, waktu istirahat. Digta duduk diam di bangku taman, ada Brama yang sedang mondar mandir di hadapannya. Laki-laki itu sibuk beradu argumen dengan Randya dari seberang telpon.

Sebenarnya, Digta malas menjamur menunggu Brama selesai berdebat. Tapi, apa yang harus dia lakukan jika memilih berdiam di kelas? Digta bosan, nyatanya dunia masih dipenuhi warna kelabu.

"Hai."

Brama selesai dengan panggilannya. Dia menoleh pada Digta yang menatap gadis di dekat bangku taman. Dia Alma, Brama juga baru mengenalnya kemarin.

"Eh, ada Alma," respons Brama, menyela kecanggungan Digta.

Gadis itu tersenyum pada Brama. Tidak apa bukan Digta yang merespons, Alma mengerti dia perlu waktu untuk beradaptasi.

"Kalian udah ngerjain Bahasa Indonesia belum?" tanya Alma, mencoba mencari topik pembicaraan.

Brama segera menjawab, "Aku belum, kalau Digta kayaknya udah."

Digta tersenyum samar. "Aku belum."

Mendengar ralat dari Digta, Brama melongo tidak percaya. Sementara Alma terkekeh melihat ekspresi Brama. Walau sebenarnya, Alma bingung kenapa Brama seterkejut itu.

"Tumben banget, Dig? Biasanya paling rajin sama yang namanya tugas," tanya Brama, masih heran.

Digta menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kemarin Randya ke rumah lagi sampai malem," jawabnya.

Bukannya mengiyakan penjelasan Digta. Brama justru semakin melebarkan mulutnya. Membuat Alma tidak bisa menahan tawanya. Lain dengan Digta, dia tidak mengerti dengan respons aneh Brama.

"Kamu kenapa?" tanya Digta akhirnya.

Brama menutup mulutnya, sadar giginya mulai kering. "Anu, itu kamu barusan panjang amat."

"Apanya, Bram?" tanya Alma, berusaha berhenti dari tawanya.

Brama menoleh pada Alma, bukannya senang, Brama justru takut dengan perubahan ini. "B-bukan apa-apa kok, Ma," jawab Brama.

Dia beneran Digta, kan?

●●●

"Bunda tenang aja, Digta nggak akan kenapa-kenapa kok. Percaya sama Randya, ya?"

Randya, hari ini dia terpaksa absen sekolah. Keberadaannya kini di rumah Digta, dengan tujuan menjemput laki-laki itu tentunya. Menjalankan kewajiban yang sudah dia janjikan kepada ibunda Digta.

"Randya janji bakal temenin Digta terus, apa pun situasinya," tutur Randya lagi.

Wanita paruh baya itu tersenyum samar. "Maafin Bunda ya, Ran?"

"Bunda bikin Randya repot terus," lanjut Bunda.

Randya menggeleng, dia membenarkan jaket denimnya seraya mendekatkan diri pada ibunda Digta. "Nggak, Bun. Digta itu sahabat Randya, udah jadi kewajiban Randya ada untuk Digta sampai kapan pun," balasnya.

Tidak ada kalimat lagi setelah ucapan Randya barusan. Bunda Digta hanya bisa tersenyum haru menatap Randya yang selalu tulus pada putranya.

"Yaudah, Randya berangkat dulu ya, Bunda."

●●●

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang