[part belum direvisi]
-
Sudah masuk bulan Februari, musim hujan sampai pada puncak tertinggi. Di luar kelas yang Digta tempati selama hampir setahun, guyuran air langit kembali menyapa bumi. Bisingnya sedikit memekakan telinga.
"Brama kok tumben ya nggak sekolah?"
Suara Alma, laki-laki itu terkejut dengan kehadirannya. Digta menggeleng tidak tahu, Brama tidak mengiriminya kabar apa pun selain selembar surat izin dari Randya.
Kelembapan udara yang tinggi membuat suhu di kelas menurun. Alma mengeratkan jaketnya, gadis itu masih berdiri di samping bangku Digta. Sejak jam pelajaran pertama, belum ada satupun guru yang mengisi kelas.
"Hujannya sampai sore nggak, ya? Alma pengen ke pantai lagi sama Digta," celetuk gadis itu, bibirnya mengerucut kecil.
Mencoba untuk tidak ambil pusing perkataan Alma barusan, Digta mengedikkan bahu segera. Setelah perdebatan kecil di rumahnya waktu itu, Digta jadi sedikit merasa canggung dengan Alma.
Netra kecokelatan Digta menatap mata Alma. Dia sedang asik memandangi hujan deras di luar. Digta iri dengan keadaan, termasuk gadis berjaket kuning di sebelahnya. Ekspresi polos yang begitu natural, seolah-olah tidak pernah ada hal buruk dalam harinya.
"Digta geser, Alma mau duduk."
Alma memanyunkan bibirnya kesal, netra gadis itu tidak menatap Digta sama sekali. Dia tetap memandangi langit mendung di luar sampai Digta benar-benar pindah ke bangku Brama. Alma menunduk menyadarinya, duduk di bangku Digta dengan raut wajah berpikir.
Tidak ada komentar dari Digta, laki-laki itu hanya diam. Menuruti permintaan Alma tanpa menjawabnya dengan suara. Entah kenapa, Digta kehilangan mood untuk berbicara.
Tangan mungil Alma menyelusup ke dalam kantung jaket, mengeluarkan benda kecil berwarna merah muda dari sana. Gadis itu memandanginya sebentar, menoleh pada Digta dan menyodorkannya.
Apa yang Alma lakukan mengalihkan perhatian Digta dari layar ponsel. Laki-laki itu mengernyit tidak mengerti menatap tabung kecil berwarna merah muda yang Alma sodorkan. Apa itu saja Digta tidak tahu.
"Sisa cat waktu Alma ngelukis kemarin, buat Digta," ucap Alma, menjawab ekspresi Digta.
Masih tidak paham dengan maksud Alma, Digta menatap gadis itu bingung. Meminta penjelasan lebih rinci akan alasan Alma memberikan sisa cat itu.
Kesal, Alma menarik tangan kanan Digta dan meletakkan benda itu di sana. "Alma mau liat hasil lukisan Digta, ngelukis bisa di mana aja, nggak harus di kanvas," ucapnya.
Gadis itu tersenyum samar. "Nanti luang kan?"
Pasrah, Digta mengangguk menjawab pertanyaan Alma. Terpaksa dia menyimpan benda itu. Jujur, Digta tidak tahu cara melukis yang baik dan benar itu bagaimana.
Kring!
Sudah waktunya, bel sekolah membubarkan penghuni kelas Digta. Satu per satu siswa keluar, padahal hujan di luar masih terlalu deras jika memaksakan menerobos.
Sementara Alma, gadis itu justru menidurkan kepala di meja. Seperti tidak acuh dengan kelas yang berubah menggema karena kosong. Hanya ada dia dan Digta di sana.
"Papa berangkat kerja lagi, Alma sendirian sekarang," gumam Alma, masih dengan posisinya.
Digta mengernyit heran. "Mama kamu?"
Gadis itu menoleh ke arah Digta, menatapnya lesu. "Ikut."
Sebuah anggukan kecil Digta berikan sebagai respons. Helaan napas panjangnya lepas, dia bisa merasakan apa yang Alma alami sekarang. Kesepian, kosong, dan segala hal yang berkaitan dengan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBØW [Selesai]
Teen FictionMusim hujan kali ini membawa peri penyelamat. Kanvas hidup Digta seperti dilukis sedemikian rupa dengan kaya warna. Seseorang yang memanggilnya pelangi di antara hujan dan panas, dia pelakunya. Dua ratus empat belas hari bersama musim penghujan. Se...