8. Potret

18 4 39
                                    

Mata pelajaran kedua usai disambut dengan bel istirahat berkumandang. Waktu pada jam dinding di belakang kelas menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas siang. Digta sedang sibuk dengan tugas yang semalam belum dia selesaikan.

Laki-laki itu kembali mencoba menghitung soal satu per satu. Sudah berapa kali dia mengulang, hasil yang didapat masih sama seperti semalam. Digta meletakkan penanya, bersandar pada bangku dengan helaan napas frustrasi.

Brama yang sadar temannya sedang kesusahan hanya tertawa. Soalnya, tugas yang diberikan memang belum dibahas sama sekali. Brama juga tidak tahu bagaimana cara mengerjakannya.

"Udah dibilangin nggak usah dikerjain, nggak ada yang ngerti sama soalnya," celetuk Brama.

Tidak ada yang salah dengan ucapan Brama, tapi apa salahnya mencoba? Dengan pasrah laki-laki itu memasukkan kembali buku-bukunya ke dalam ransel. Tidak tahu harus melakukan apa.

Beberapa menit berlalu dengan hal yang lagi-lagi membosankan. Digta sampai hapal, petugas kebersihan akan datang ke kelas setelah guru Matematika keluar. Dengan tujuan yang sama, memeriksa kondisi kipas angin dan proyektor kelas.

DUAR!

Brama dan Digta saling pandang, wajah mereka menyiratkan keterkejutan. Bukan karena suara petir menyambar, tapi teriakan seseorang dari bangku belakang. Dua laki-laki itu menoleh kompak, atensi mereka terfokus pada Alma yang menutup telinga.

"Alma kenapa?" tanya Haira panik.

"Kaget, hehe," jawab gadis itu, menyengir pada Haira sambil sesekali menepuk dadanya.

Jawaban Alma membuyarkan perhatian yang semula tertuju padanya. Dia tersenyum canggung, merasa mengecil di sana. Alma tidak sedang cari perhatian, dia benar-benar terkejut dengan suara petir barusan.

Lain cerita dengan Digta. Di saat yang lainnya mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing, laki-laki itu justru heran dengan perubahan cuaca hari ini. Beberapa menit sebelum petir menggelegar, matahari masih bersinar terang. Dan dari tempatnya duduk, tidak terlihat ada awan mendung di langit.

"Nggak mendung," gumam laki-laki itu.

Brama mendengarnya, dia merespons dengan anggukan. "Kayaknya mau hujan panas."

Seketika ingatan Digta melayang kosong, seperti mencari sesuatu yang hilang. Lagi-lagi Digta merasakan hal yang sama. Potongan memori lama dengan pertanyaan yang sama, ke mana perginya?

Baru semalam Digta menyelami masa lalu. Menyusun bongkahan puzzle yang sempat menghilang. Sekarang, semuanya kembali berantakan.

Apa lagi?

●●●

Seperti biasa, Digta melewati hari ini dengan kekosongan yang sama. Tidak ada warna baru pada palet ceritanya selain peristiwa mungil pagi tadi. Membeli roti di bus dan menyebrang jalan bersama Alma.

Digta berdiam di beranda sekolah, kedua tangannya menyelusup ke dalam kantung jaket. Udara sekitar, rasanya aneh. Dia menghela napas panjang dengan kedua alis mengerut gelisah.

"Digta!"

Laki-laki itu menoleh terkejut, pelakunya masih sama. Alma, dia berdiri di belakang Digta sambil tertawa ringan. Entah apa yang lucu, tapi Digta tersenyum tipis melihat itu.

"Kaget, ya?" ledek Alma, dia kembali tertawa.

Mendengar itu, Digta terkekeh pelan. "Kenapa?"

Tawa Alma berhenti, bibirnya mengerucut kecil dengan salah satu tangan mengetuk-ketuk dagu. Gadis itu menipiskan bibir usai memeriksa cuaca.

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang