18. Kontras

7 2 8
                                    

Digta terdiam di tepi ranjang, ada Randya yang duduk di bangku meja belajarnya, juga Brama di karpet dekat jendela. Entah apa alasan mereka berdua datang kemari malam-malam begini, Digta tidak mengerti

"Jadwal kamu makin rapet, Dig," celetuk Randya, bicara tanpa mengalihkan tatap dari layar ponselnya.

Tidak ada respons berarti dari Digta, laki-laki itu tidak tahu bentuk seperti apa yang Randya inginkan sebagai jawaban. Membahas persoalan jadwal yang dimaksud Randya banyak menguras energinya.

Brama menatap Digta sejenak. "Waktu Digta ketemu Alma bakal makin sedikit dong?" ucapnya, kembali menyibukkan diri pada gawai di tangan.

"Kayaknya, lebih baik jaga jarak aja deh. Kecuali kamu mau kasih tau Alma soal ini," balas Randya kepada dua sahabatnya di ruangan.

Janji yang disepakati mereka bertiga minggu lalu telah Digta tepati. Untuk kali ini, mungkin tidak lagi. Dia menggeleng merespons ucapan Randya.

"Besok biar Brama yang bilang sama Alma kalau kamu bakal sibuk banget ke depannya," ucap Randya melanjutkan, dia tidak sadar akan penolakan Digta.

Sementara Brama yang tiba-tiba disebut langsung mematung di tempat. Ini pilihan sulit untuk Brama melihat Digta menikmati hari-harinya bersama Alma. Mana mungkin Brama sampai hati memisahkan mereka begitu saja.

"Aku nggak siap, Ran," balas Brama cepat, dia menatap Digta yang menunduk diam.

Randya membisu mendengar jawaban Brama. Helaan napas beratnya lepas begitu saja, ada harapan yang sedang dia coba raih dalam situasi yang semakin menekan.

Aku takut.

●●●

Berdasarkan prakiraan cuaca, sore pukul lima nanti hujan akan kembali menyapa bumi. Digta baru saja turun dari bus dengan Alma di sebelahnya. Ada hal menarik dari lokasi yang Digta pilih kini, bukan trotoar depan pantai, atau bahkan taman.

Alma menarik pelan lengan jas hitam yang membalut seragam Digta. Swalayan di seberang jalan, Alma belum pernah ke tempat itu dengan orang selain keluarganya.

"Mau ngapain di sini?" tanya Alma pelan.

Digta menatap gedungdi hadapan mereka, dia terkekeh sebelum menjawab Alma. "Nggak bosen liat matahari tebenam terus?"

Kedua mata Alma mengerjap bingung mendengar jawaban Digta. Kepalanya sedikit lambat memproses apa yang Digta maksud. Gadis itu mendongak, menatap laki-laki di sebalahnya penuh tanda tanya.

"Maksudnya, Digta ajak Alma ke tempat baru, gitu?" celetuk Alma penasaran.

Digta tersenyum samar, mengangguk merespons pertanyaan polos dari Alma. Menciptakan raut ceria dari gadis di sebelahnya. Lompatan kecil yang membuat rambut Alma sedikit berantakan terlihat menggemaskan di mata Digta.

"Waaah, senangnya," gumam Alma.

Senyuman samar dan kedua mata yang tertutup, Digta gemas sendiri menatapnya. Seperti sebuah hadiah melihat kegembiraan Alma yang sedikit membuatnya iri. Digta tidak pernah menyangka jalan ceritanya akan berubah sejauh ini.

Netra Alma kembali terlihat, gadis itu menatap Digta berbinar. Mendekatinya segera dan menggandeng lengan kiri Digta tanpa ragu.

"Yuk!" ajaknya.

Dengan senang hati Digta mengiyakan ajakan Alma, memimpin langkah melewati zebra cross bersama. Digta langsung membawa Alma memasuki swalayan depan halte.

"Digta, Alma boleh ke sana?"

Pertanyaan Alma mengagetkan Digta yang baru saja mengambil keranjang belanjaan di dekat kasir. Entah ke mana fokus laki-laki itu sampai suara pelan Alma membuatnya terkejut. Alma sampai terkekeh melihat respons tubuh Digta.

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang