Aku melangkah pada sebuah papan titian, berada pada ujung kehidupan. Masih bisakah aku melihat senja yang tenggelam esok hari? Sementara tak ada jaminan bahwa aku masih diberi kesempatan untuk menghirup udara lagi.
Tersekap dalam dekap malam, kini nyawaku adalah taruhan.
“Satu .... Dua ....Tig--“
“Kita gak lagi foto album, apalagi balap kelereng. Ngapain lu itung bambank.”
“Oh iya, lupa.”
Dorrrr
Suara tembakan keras membuat tubuhku tersentak, ragaku tumbang, terbanting dengan keras ke tanah. Di batas awang kesadaran, kulihat lagi keadaan sekitar. Pada sudut ruangan, tampak seorang gadis sedang menangis dengan tersedu-sedu, dia meronta tak karuan dan sebelum kutahu kelanjutan cerita, mataku sudah tak kuat lagi terjaga.
Sepenggal kalimat keluar dari mulut yang raganya mulai sekarat. ‘Harus kusalahkan siapa atas semua yang telah terjadi?’
~༺༻~
Sayup-sayup terdengar sebuah suara, meski mataku masih berat untuk dibuka.
‘Aku di mana? Apa ini surga?’ batinku.
Kupandangi setiap penjuru arah, mencoba menelaah di mana sekarang aku berpijak, sampai...
Brakkk
Seseorang menabrakku dari arah belakang, membuatku terjatuh.
“Ngapain sih diem di situ? Ngalangin jalan.”
Aku mencoba berdiri, mendongak ke arah lelaki itu. “Iya, sorry--“
Tak mampu melantunkan kata terakhir lebih keras dari bisikan, mulutku seperti dikunci tiba-tiba, sedangkan jantungku berdetak dengan kencangnya.
Kukejar langkah yang mulai menjauh, meraih tangannya, lantas memeluk raga itu dengan erat.
“Ih, lu gila? Kesambet apa tiba-tiba meluk?” ujarnya sambil melepas pelukan.
“Selama ini lu ke mana sih? Gua nyariin lu.”
“Heh, Kantara!”
Sedetik aku terkejut, tak percaya nama itu kembali disebut. Kantara Abigail, itulah namaku. Bila dipikir, rasanya sudah lama aku tak mendengar nama itu disapa lagi oleh penghuni semesta.
“Selama ini? Gua baru 10 menit yang lalu ke belakang. Lu kenapa, sih? Ngaco banget dari tadi.”
Dari wajahnya tersirat sebuah kebingungan yang mendalam, tapi justru sekarang aku yang lebih bingung.
“Aish, lupain aja. Udah, sekarang Adira di mana?” tanyaku panik.
“Dia lagi tidur,” jawabnya sambil menunjuk ke sebuah ruangan.
Aku segera berlari, memasuki ruangan tersebut. Kulihat seorang gadis tengah tertidur dengan lelap. Namun, batinku menyadari sebuah kejanggalan.
Entah penglihatanku yang salah atau apa, tapi tubuh gadis ini tak sama seperti yang aku lihat terakhir kali. Dia tak sekecil anak berusia 7 tahun.
Lagi-lagi jantungku berdetak kencang, sementara ragaku kehilangan kekuatan. Sebuah nyeri tiba-tiba menyerang kepalaku, membuatku kehilangan keseimbangan.
Sebelum aku benar-benar terjatuh, sebuah tangan berhasil menangkapku. Aku mendongak, melihat sosok itu dengan sisa kesadaranku, mata kami saling beradu; mata nan cantik, tapi penuh akan kepiluan.
“Aku senang bisa bertemu denganmu, lagi,” ujarnya, sengaja memberi jeda, disusul sebuah senyum tipis yang melengkung hingga ujung bibir.
“Maksudmu?”
“Mungkin dirimu lupa bahwa kita pernah saling berjumpa, tepatnya di masa depan. Kau menyelamatkanku.”
Aku hanya bisa mematung terdiam, makin tak bisa kucerna setiap detik yang terjadi di sini; aku yang tiba-tiba kembali di rumah ini, sikap kakak yang aneh, tubuh Adira yang seperti anak berusia 7 tahun, semua tampak beda.
“Ini gak nyata kan?”
Aku menampar wajahku berkali-kali, tapi sebelum sebuah tamparan kembali mendarat di wajahku, lagi-lagi dia menangkap tanganku.
“Hei, tenang! Akan kuceritakan segala hal, tapi kumohon kau tenang.”
Aku mulai mengatur napasku, mencoba mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya, meski rasanya mustahil aku bisa percaya sepenuhnya. Aku masih mengira bahwa ini hanyalah mimpi atau sebuah khayalan yang aku buat di saat sekarat. Namun segala yang dia ucap memang ada benarnya.
“Jadi, gua sekarang kembali ke 5 tahun yang lalu? Terus apa yang harus gua lakuin buat nyelametin semuanya?”
“Cuma kamu yang tau setiap detik yang terjadi dalam hidupmu. Aku cuma bisa bantu sebisaku, selebihnya dirimu yang menentukan, bagaimana cara agar mimpi buruk itu tidak datang,” jawabnya. Lantas dia berdiri, mengucapkan kata pamit. Namun sebelum dia melangkah, aku berhasil memegang tangannya.
“Gua bersyukur lu mau ngebantu gua, tapi bahkan gua tau alasan lu mau ngebantu gua.”
“Kan aku udah bilang, kamu menyelamatku di masa depan. Dan aku hanya ingin membalasnya, dengan membantumu.”
“Terus siapa nama lu?”
Perempuan itu tersenyum. “Panggil saja Tamara.”
~༺༻~
Nyatanya pagi masih sama, hangat nan candu di raga. Kutelusuri bantaran sungai sambil sesekali menengok ke sebuah gudang yang berderet memanjang.
Brakk
Seseorang menabrakku dengan sengaja.
“Lu punya mata kan? Lain kali hati-hati,” ucapku geram.
Dia enggan kembali berjalan, masih terdiam di sana. Kuamati lagi tubuh yang sedari tadi membelakangiku itu.
‘Sial, benarkah itu dia?’
Perlahan sosok itu membalikkan badan dengan senyum menyeringai.
Dia tertawa kecil. “Sejak kapan Kantara bisa seberani itu?”
Aku hanya diam. Mencoba menenangkan emosiku, meski dari dulu ingin rasanya kuhantamkan pukulan ini pada wajahnya itu.
Aku menarik napas panjang. Kembali kuingat sosok diri ini pada 5 tahun yang lalu. Aku memang seorang pengecut, laki-laki cupu yang tak mampu melindungi siapa-siapa, bahkan diri sendiri. Seorang yang dianggap sampah, bahkan terbuang sejak kecil.
“Lu gak punya mulut? Gak ‘sah sok berani, gua sikat mampus lu. Dasar pecundang,” ujarnya, kemudian berjalan pergi. Emosiku meluap, membuat sebuah pukulan keras mendarat pada dinding yang tak berdosa.
“Bahkan meski jiwaku adalah seorang laki-laki berusia 22 tahun, masihkah aku menjadi seorang pengecut yang akan terus terdiam?” tukasku lirih.
Aku segera berlari pulang, membiarkan pikiranku melayang dengan sesukanya. Menentukan langkah mana yang bisa mengarahkanku pada hal baik.
“Oy, Kantara.”
Seseorang memanggilku, membuat langkahku terhenti. Aku membalikkan badan, ternyata itu kakak.
“Dari mana lu?” tanyaku.
“Biasalah, kencan. Emang lu, yang udah tau banyak yang suka, tapi sok-sok an tutup telinga. Sekalinya naksir orang, ehh beda agama.”
“Apaan sih lu. Oh iya, by the way Kakak tau gak--“
“Gak tau,” potongnya.
“Gua belum kelar ngomong, ngapain lu potong?”
Dia hanya terkekeh, lantas memberi isyarat untuk melanjutkan.
“Lu tau gak di mana markas Black Angel?”
Sontak ia terkejut. “Lu ngapain ke sana? Gua tau sih, lu pasti kangen sama dia. Dan rindu itu berat, cuma Dilan yang kuat, tapi lu jangan mati dulu, oy. Utang lu masih 100 ribu di gua, bayar dulu.”
“Gua serius.”
“Dua rius juga gapapa.”
Aku memasang wajah geram. “Kak!”
“Iya deh maaf. Lu sih, ngapain coba tanya markas Black Angel. Di sana bahaya, gua gak mau lu kenapa-napa.”
“Tapi bakal lebih kenapa-napa kalo gua gak ke sana dan cegah semuanya.”
Dia menganggat alis sebelah kirinya. “Emang ada apa sih?”
“Gua gak bisa cerita sekarang, tapi yang pasti kita harus gagalin sebuah pertemuan. Entah gimana ceritanya, tapi di masa depan Black Angel diketuai sama lu, akan ada banyak orang yang berkhianat bahkan lu sampek menghilang.”
“Separah itu?”
Aku mengangguk. “Lu tau kan, gua gak pinter boong. Apalagi ke lu.”
Dia terdiam sejenak, dari wajahnya terlihat jelas ia sedang berpikir keras. “Okey, kita ketemuan di sana nanti.”
Tepat pukul 12 malam, aku sudah berada di depan markas Black Angel. Kudapati diriku sendirian, belum terdengat kabar dari kakak.
‘Mungkin aku harus sendiri,’ batinku. Belum sempat aku melangkah, tiba-tiba seseorag memanggilku.
“Woy, Bocah.”
Aku menoleh ke belakang.
“Jangan jadi pahlawan sendiri, kita hadapi mereka bareng, iya kan temen-temen?”
Aku menjawabnya dengan anggukan. Untuk kedua kali dalam hidup, aku dipeluk oleh ketakutan yang teramat mendalam, tanpa tahu apakah hari ini aku masih bisa lolos dari kematian. Sesuai ekspetasiku dan film-film yang kutonton, kedatangan kami akan disambut oleh banyak bodyguard yang siap melumat habis tulang kami.
Namun tanpa pikir panjang, kami bahkan sudah siap menyerang. Entah hasilnya gagal atau menang, aku tak akan pernah menyesal. Malam ini akan menjadi malam penentuan, apakah aku benar-benar bisa merubah masa depan.
~༺༻~
Ragaku tersentak, aku seperti terjatuh dari ketinggian, sementara napasku masih berkejaran.
“Apa itu cuma mimpi?”
Kuusap mataku berkali-kali, seraya memfokuskan pandangan. Ya, ini rumah sakit.
“Syukurlah kamu udah siuman.”
“Tamara?“
“Kamu gak mimpi kok. Selamat, kamu berhasil kembali dan merubah masa depan.”
“Terus adek sama kakak gua?”
“Mereka baik-baik aja kok, baru aja pulang.”
Aku mengehembuskan napas lega. “Makasih ya.”
Tamara membalas senyum. “Terima kasih kembali.”
Tokk tokk tokk
Terdengar sebuah ketukan pintu, disusul seorang laki-laki dengan jubah putih masuk ke ruangan.
“Kantara Abigail, anda sudah boleh pulang,” ucapnya lalu melepas infus yang melekat pada lenganku.
“Terima kasih, Dok.”
Perasaanku campur aduk. Namun, aku lega, bahwa semua baik-baik saja. Segera kukemasi barang-barangku, lantas berniat untuk segera pulang, tapi tiba-tiba pikiranku tertuju pada suatu hal.
“Tamara.”
Perempuan itu berbalik memandangku. “Iya, ada apa?”
“Apa gua bisa balik ke masa lalu lagi?
Sontak Tamara terkejut. Wajahnya berubah menjadi serius. Rasanya ini pertama kali dia memasang wajah seperti itu di depanku.
“Untuk apa?”
“Ada hal yang mau gua lakuin dan harus gua lakuin untuk ngebersihin nama baik gua.”
“Tt-tapi, bukannya semua udah baik-bak aja, terus apa lagi? Bahaya kalo kamu balik lagi, terlalu berisiko.”
“Tenang, ini cuma hal kecil kok. Gua bakal baik-baik aja.”
“Okey, aku bakal bantu kamu untuk balik ke masa lalu, tapi ini kesempatan terakhir kamu. Apa kamu yakin?”
“Aku yakin.”
Tubuhku rasanya seperti ditarik, dan sedetik kemudian, aku telah berhasil kembali ke masa lalu. Sebenarnya tak ada tujuan jelas aku kembali ke sini, tapi ada hal yang ingin kulakukan dari awal. Aku benci diriku disebut pecundang.
Dakkk
Sebuah benda menghantam kepalaku dengan keras; susu kotak. Aku membalikkan badan, melihat siapa bedebah yang kali ini berani berbuat ulah. Nyatanya dia lagi: Daren.
“Yah, sorry Bro. Gua sengaja.”
Aku hanya diam tertunduk, tanganku gemetar, sedangkan napasku tak karuan.
“Beliin kita makan dong, kan lu kaya. Eh, tapi kaya dari mana ya? Kan lu gak punya orang tua,” ucapnya lantas disusul sebuah tawa. Aku mulai kehabisan kesabaran, tapi masih kucoba tidak menghiraukan mereka.
Daren mendekatiku, lantas membisikkan sesuatu. “Pantesan dibuang, orang jadi laki-laki kek pecundang.”
Dakkk
Sebuah pukulan keras berhasil kulucurkan mengenai pipinya, membuatnya terjatuh dengan mudah. Bukankah ini alasanku kembali lagi? Lantas apa yang harus aku takuti?
Mereka mulai maju menyerangku. Bukan satu lawan satu, melainkan sekaligus.
“Kalian terlalu cupu, untuk seorang pecundang sepertiku.”
Dalam sekejap mereka bisa kutumbangkan dengan mudah, mungkin benar kata orang; sebuah emosi yang ditahan tak akan padam, dia hanya terkubur dalam-dalam dan akan ada saatnya dia meledak dengan hebatnya.
“Kali ini, aku menang.”
~༺༻~
Seperti sebelumnya, aku terbangun dengan napas yang terengah-engah, tapi kali ini ada hal yang berbeda. Aku terbangun pada sebuah ruangan kecil, di sini minim pencahayaan.
Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki mulai mendekat. Sosoknya mulai terlihat di tengah gelap, hampir saja aku berteriak, nyatanya itu Tamara.
Dia duduk di sampingku, tak ada kata yang keluar dari dua mulut yang saling bungkam. Namun tiba-tiba, sebuah air mata turun membasahi pipinya.
“Kenapa?”
“Maaf, aku gak bisa jagain mereka,” suaranya bergetar.
“Emangnya mereka kenapa? Di mana mereka?”
Tanpa sadar nada suaraku meninggi, membuatnya semakin menjadi-jadi. Aku memeluknya dan pada saat Tamara mulai tenang, dia mulai menceritakan segala hal, bahkan tentang pembunuhan Adira dan kakak yang kembali menghilang tiba-tiba.
“Bukannya kamu bilang aku udah berhasil ngerubah masa depan? Terus kenapa sekarang jadi gini?”
“Ini semua terjadi karena kamu terlalu banyak ngerubah masa lalu. Aku gak tau kalo akhirnya bakal serumit ini, maafin aku.”
Tubuhku tumbang, tak ada lagi kekuatan. Mulutku seperti kehilangan kata, segalanya yang aku perjuangkan, malah berakhir berantakan.
“Arrrrrgh!”
Aku berteriak sekuat tenaga, mengeluarkan segala beban yang memeluk raga.
“Harus kusalahkan siapa atas semua ini, Tuhan? Haruskah aku mengutuk diriku sendiri?”
“Semua udah terjadi dan kamu gak bisa nyalahin diri kamu sendiri. Ini jalan, juga pelajaran.”
Kini aku hanya bisa terdiam, menangis tanpa suara di depan sebuah nisan. Meratapi betapa bodohnya segala hal yang telah kulahkkan. Kemana aku bisa berpulang? Sedangkan mereka adalah tujuan yang saat ini telah menghilang.
Nyata saban detik dalam perjalanan, semesta hanya ingin kita belajar, hidup bukan cuma soal pemenang. Namun lebih dari itu, kebahagiaan adalah hal termahal yang tak bisa dibeli, bahkan dengan uang.
The End🦋 Nama : Kharisma Binti Lailiyatu Desiana
🦋 Komunitas : Komunitas Pena Perak
🦋 Peserta event
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPULAN CERPEN DAN CERMIN
KurzgeschichtenPoject rutin dari member & admin komunitas Incredible Pen Literacy. Kumpulan cermin dan cerpen menarik, serta beragam tema. [Jangan lupa dukungannya dengan vote dan comment]