[CERPEN] WAKTU MENGUBAH KITA TAK LAGI SATU

2 0 0
                                    

Aku ingin kembali ke waktu dimana semua hanya tentang bahagia, atau aku ingin kembali ke waktu dimana aku merasa tawaku tak hampa. Tidak seperti menjadi dewasa, tawaku dipaksa untuk baik-baik saja, padahal aku tak baik-baik saja.
Sambil memikirkan hal-hal dahulu, aku kembali melanjutkan aktivitasku membaca buku. Seseorang lelaki datang duduk di sebelahku sambil menyerahkan sebuah susu kotak coklat kesukaanku, aku menerima dengan senang hati.
"Terima kasih," ucapku dengan senyum sederhana.
"Cantik," balas pria itu sambil merapikan anak rambut yang berkeliaran diarea mataku.
Aku hanya mampu tersenyum malu, sebelum akhirnya tersadar bahwa antara aku dan dia hanya masa lalu. Waktu kita telah berlalu, tapi lihatlah sampai kini kita seolah masih menjadi kita yang satu.
"Tama, udah yaa?"
"Kamu tau kan kita udah selesai, jangan terus bikin aku merasa ini semua belum selesai." ucapku sambil menatap manik matanya dalam-dalam.
Aku merasa lelah, tapi aku juga tak bisa keluar dari zona ini. Katakan saja aku gagal move on, ya memang seperti itu adanya.
"Tapi aku masih sayang kamu—"
"Kalau kamu sayang aku, kamu gak mungkin selingkuh dulu, paham?" sela ku memberitahunya mengapa kami berpisah saat itu.
Dia menghela nafas dengan kasar.
"Kadang aku pengen ngulang waktu, aku pengen kita kek dulu." tuturnya sambil menggenggam tanganku tiba-tiba.
"Aku ngelakuin kesalahan dengan buang kamu hanya untuk perempuan sampah seperti dia!" kesalnya lalu menenggelamkan wajahnya dan mendekap tanganku.
Aku hanya mampu tersenyum miris. Apakah dia tidak sadar dengan semua kesalahannya?
"Aku pikir waktu dapat mengubah dirimu, tapi ternyata waktu hanya merubah kita yang sudah tidak satu, bukan merubah dirimu." pelanku sambil menatap buku dengan helaan nafas yang begitu pasrah.
"Taa," panggilku pelan karena merasakan tanganku begitu pegal.
"Sebentar, sebentar aja...,"
"Ta, kita cuma temen." tegasku mengingatkan dia.
"Tapi aku masih sayang kamu!" tukas dia dengan nada yang sedikit meninggi.
"Kalau kamu sayang aku—"
"Apa?!"
"Gak selingkuh?"
"Plis stop! Stop ngomong aku selingkuh Ca!"
Marah Tama, membuatku seketika meneteskan air mata. Dengan segera ku tarik tanganku darinya, lalu pergi meninggalkan dirinya.
Aku berhenti di sebuah taman kampus, ku hirup dalam-dalam untuk mendapatkan ketenangan. Dadaku terasa begitu sakit, setiap kali memutar kenangan Tama dan seseorang perempuan.
"Andai selingkuh itu gak sakit, Tam."
"Andai selingkuh bisa di maafkan, tapi gak ada perselingkuhan yang patut dimaafkan."
"Gak ada perselingkuhan yang tidak menyakitkan, aku masih terjebak disana Tam."
Keluhku sambil berusaha menahan air mata, aku memejamkan mata menahan linangan air mata.
"Ca," panggil Dion membuatku yang sedang memejamkan mata akhirnya membuka mata dan menatap Dion.
Dion yang melihat bekas air mata di are pipiku  lantas bertanya, "Itu kenapa?"
"Apanya?"
"Air mata."
"Gak, aku gak nangis!" ujarku tiba-tiba membuat Dion tertawa.
"Emang ada gua bilang lu nangis? Gak ada, lu sendiri yang masuk jebakan gua Caca marica hehe!"
"Dion!" kesalku lalu memalingkan wajah.
"Tama?" tanya Dion membuatku lantas terdiam.
"Jangan terus berada dan ngulang waktu di tempat dimana kalian jadi satu. Sesekali lu harus keluar karena waktu udah sampai disini, ditempat lu dan dia udah jadi kenangan yang berlalu."
"Kamu gak akan tau rasa sakitnya, Dion."
"Sakit banget," lirihku sambil memejamkan mata dengan air mata yang berlinang.
Katanya waktu mampu membiasakan, tapi butuh waktu berapa panjang lagi untuk aku bisa melupakan?
"Tatap mata gua, Ca." ujar Dion sambil mengarahkan daguku ke arahnya.
"Kadang elu harus membuka mata, untuk ngelihat isi dunia, kalau dunia bukan hanya tentang melupakan dia. Tapi juga tentang bagaimana menerima segalanya, menerima kenyataan-kenyataan pahit kalau udah gak ada antara elu dan dia."
Tama melihat dari jauh Caca dan Dion, amarahnya seketika memuncak dan segera menghampiri mereka. Tama lantas mendorong tubuh Dion hingga terjatuh.
"Gak usah sentuh cewek gua!" gertak Tama membuat Dion tertawa.
"Cewek?"
"Cewek yang udah lu sia-siain?"
Tama yang mendengar kata itu lantas memukul Dion, aku lantas berdiri dan menghentikan aksi mereka.
"Tama! Cukup!" teriakku sambil menjauhkan Dion dari Tama.
"Lu pilih dia, Ca?" tanya Tama dengan wajah memerah padam.
"Kamu juga pilih Raisha kan di banding aku? Lalu kenapa sekarang aku ga berhak milih orang lain juga sama seperti kamu?"
"Caaa!—"
"Apa lagi Tama? Kamu harusnya sadar bahwa kita udah bukan lagi kita."
"Kamu yang mengakhiri semua, kamu yang buat waktu jadi membiasakan aku hidup tanpa adanya kamu."
"Kamu harusnya sadar kalau kamu yang ninggalin aku hanya untuk seseorang perempuan yang kamu anggap sampah itu!"
Aku mengeluarkan segala rasa sakit di hatiku, tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin benar kata Dion, aku hanya butuh membuka mata untuk melihat semua, bahwa bukan hanya Tama. Tapi melihat seluruh dunia, bahwa dunia tidak selalu tentang masa lalu yang ada. Sekarang aku mengerti dan bersyukur waktu membuat aku mengerti mana lelaki yang pantas aku cintai dan mana lelaki yang pantas untuk aku tinggal pergi.
Aku bersyukur waktu membuatku menguak segala kebohongan Tama, aku bersyukur aku tak terjatuh terlalu lama kala itu.
Mungkin ini saatnya aku benar-benar menyudahi ini semua, mungkin juga sudah saatnya aku menyelesaikan ini semua. Aku rasa kisahku telah usai, tapi ternyata kisahku tak benar-benar usai.
"Aku kira setelah waktu yang panjang, aku mampu mengikhlaskan. Tapi aku sadar bahwa ternyata ikhlas itu benar-benar panjang,"
"Apa kamu tau hal yang paling menyakitkan, Tam?"
"Saat aku harus dipaksa mengikhlaskan, padahal aku sedang cinta-cintanya."
"Aku sayang kamu juga, Ca!" tegas Tama mendekat, membuatku lantas memundurkan diriku.
"Tak ada seorang lelaki yang benar-benar mencintai jika dia saja berani meninggalkan wanitanya sendiri!"
"Sayang kamu itu datang hanya karena kamu lihat kebusukan dia! Andai kamu gak liat itu semua, kamu pasti tetap akan sama dia!"
"Aku hanyalah seorang manusia di kala sepimu, dan debu di kala ramaimu."
Tuturku menatapnya mantap. Tama terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia berucap.
"Maaf,"
"Maafkan aku Ca,"
"Harusnya dulu aku gak selingkuh, harusnya aku tetap bertahan di saat aku ngerasa bosan."
"Gak ada yang perlu disesali dari semua yang udah berlalu, aku sekarang tau harus pergi kemana tanpa adanya kamu."
"Aku kira kira udah selesai, tapi ternyata kita belum juga kunjung usai."
"Maka hari ini aku Caca Mariska dan Tama Bagaskara resmi untuk selesai dari cerita panjang yang telah benar-benar usai."
"Aku harap kamu bahagia, begitupun aku juga yang akan bahagia."
"Aku bukan yang terbaik buat kamu, begitupun kamu yang belum terbaik buat aku." ujarku bernapas lega setelah mengatakan itu semua.
Kini aku tau siapa yang akan aku buat bahagia, aku membalikkan badan menatap Dion dengan senyum sederhana. Aku mendekat dan lantas menggandeng tangannya, dan pergi meninggalkan Tama dengan penyesalannya.

🦋 Nama : Queen
🦋 Komunitas : Motivation Licht Hoffnung Leben
🦋 Peserta event

KUMPULAN CERPEN DAN CERMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang