[CERPEN] TRISULA

0 0 0
                                    

     “Pak guru, kenapa benda peninggalan kerajaan tidak dikembalikan kepada keturunannya? Kenapa harus disimpan oleh pihak yang bahkan sama sekali bukan pemiliknya seperti di museum?”
     Semua orang tertawa, termasuk Pak Riza. “Karena sangat sulit menentukan siapa keturunan selanjutnya dari kerajaan tersebut, apalagi kalau kerajaan itu sudah runtuh. Juga waktu yang terlampau lama membuat kita tidak bisa menentukan apakah keturunan raja tersebut masih hidup atau tidak,” jawab beliau dengan tersenyum manis.
     Aku cuma mengangguk. Kupikir akan lebih hebat jika memang benar ada keturunan kerajaan yang hidup di sekitar rumahku. Bel sekolah berbunyi, menandakan bahwa sekolah telah usai. Aku dan teman sebangkuku merupakan tetangga dekat sehingga kami pulang bersama. Kami berdua memakai sepeda karena jarak antar sekolah dan rumah yang agak jauh.
     “Zena, kok kamu kepikiran sih tanya ke Pak Riza soal tadi?” tanya Fia sambil tertawa. Aku mulai memasang wajah datar, “Ya . . . Gak apa-apa kan? Namanya murid itu ya harus bertanya setiap pelajaran berlangsung, biar pas ujian gak bingung.” Fia menghela napasnya, lalu mendahuluiku dengan sepeda merah jambunya. “Tungguin Fia!” teriakku sambil mengayuh lebih cepat.
     Tak terasa, setelah aksi kejar-kejaran tadi kami langsung sampai di rumah. Aku dan Fia sangat lelah, sehingga kami berdua masuk ke dalam rumah. Kulihat, ibu sedang minum teh di ruang tamu. “Langsung ganti baju sana. Udah ibu siapin makan siang di dapur,” ujar ibu sembari menyeruput tehnya. Aku mengangguk, tak kuat untuk berbicara sepatah katapun. Setelah siap berganti baju, aku berlari menuju dapur untuk mengisi energi kembali. Di dalam tutup saji, tercium aroma lezat yang menggugah selera.
     Rasa lelah dan juga laparku akhirnya terbayarkan. Di depan mataku sudah tersedia ayam goreng lengkuas, sayur sop, juga sambal terasi pedas. Itu kesukaanku! Dengan sangat lahapnnya, tak terasa banyak lauk yang kuhabiskan.
     Setelah mencuci piring dan merapikan meja makan, tubuhku masih menyisakan lelahnya. Kupikir tidur siang dapat membantu merelaksasikan seluruh kelelahanku. Aku dengan segera terjun bebas ke tempat ternyaman di seluruh dunia, kasur.
     Biasanya, sebelum terlelap tidur aku sering memikirkan beberapa hal yang berkesan setiap hari, contohnya pembahasan trisula di sekolah tadi. Pak Riza, guru mata pelajaran sejarah Indonesia di kelas kami sedang menerangkan tentang Kerajaan Dilak, yang konon menurut prasasti peninggalan terakhir yang ditemukan arkeolog menyatakan bahwa kerajaan tersebut dibangun di sekitar sungai Riak Hujan, yang ada tak jauh dari rumahku. Kemungkinan saja masih banyak peninggalan yang bisa ditemukan, karena sampai sekarang bukti serta sumber sejarah Kerajaan Dilak masih sangat minim mengingat lokasi berdirinya masih tidak diketahui secara pasti.
     Aku membayangkan, bagaimana rasanya menjadi orang yang menemukan sebuah peninggalan dari kerajaan tua yang sudah runtuh selama beratus-ratus tahun lamanya. Apakah aku akan dikenal seluruh Indonesia. “Ah, tidur yuk. Jangan ngehalu,” gumamku sambil tersipu malu membayangkan hal yang tak pasti.
     “Zena! Zena ayo bangun!” Teriak ibu membuatku bangun. Dari jendela, terlihat matahari akan segera beristirahat. Aku beranjak bangun, lalu berdiri dan melakukan peregangan sebentar. Ibu masuk ke dalam kamar dan mengomel keras, “Ayo bangun tukang tidur! Waktunya mandi, habis itu belikan ibu bumbu buat masak nanti malam.”
     Aku menjawab iya, dan segera mengambil handuk. Setelah dipikir-pikir,  bangun tidur itu ya enaknya mandi. Menyegarkan banget setelah seharian yang melelahkan. 15 menit kemudian, aku sudah wangi dan siap pergi membeli bumbu di warung depan rumah, warungnya Fia.
     “Bu Rin, beli rocyo sama kecap . . .” Ucapku sembari menghitung uang. “Iya Zen, sebentar,” sahut Fia yang ternyata sedang menjaga warung. Uang yang kubawa sudah pas, hanya tinggal menunggu Fia membawakan barangnya. “Ini nih, semua tiga belas ribu.”
     “Sekarang bahan pokok makin mahal ya, heran aku sama pemerintah sekarang,” gerutuku sambil memberi uang. “Ya mana kutahu Zen, kita mah cuma rakyat kecil ya bisa apa,” jawab Fia dengan menghela napas panjang. Aku kembali pulang dan membawakan bahan belanjaan Ibu. Setelahnya aku kembali masuk ke dalam kamar.
     “Hm, mumpung besok hari minggu gimana ya kalau aku coba cari artefak Kerajaan Dilak? Mungkin secara gak langsung aku bisa bantu perekonomian keluarga kalau dikasih uang hadiah,” gumamku sambil menatap buku sejarah. Akhirnya, aku mulai membulatkan tekad untuk memulai pencarian artefak esok harinya.
     Hari minggu, hari penuh sejarah sebentar lagi akan dimulai. Ketika fajar baru menampakkan dirinya, aku sudah beranjak bangun lebih dulu dan mempersiapkan alat penggalian. Sekop, kuas lembut, dan tentunya sarung tangan agar tidak merusak benda kuno tersebut. Aku memulai semuanya dari kebun belakang rumah. Aku gali mulai dari sudut dan pojok rumah, kemudian memutar hingga ke tengah. Baru sampai di bawah pohon pisang, aku mulai mendapati sekopku mengenai sesuatu yang keras. Kugali lebih dalam hingga muncul sesuatu panjang dan tajam. “Senjata perang?“ gumamku dalam hati. Aku semakin tak sabar, sehingga aku menggali lebih cepat dan kuat.
     Perjuangan berat telah usai. Akhirnya aku menemukan benda, semacam trisula. Bagian bawahnya terlihat bekas patah. Aku menduga kalau ini adalah salah satu senjata yang digunakan oleh prajurit Kerajaan Dilak dalam mempertahankan kekuatan mereka. Semua emosi bercampur aduk, dan aku langsung meneriaki ibu.
     Ibu keluar ke kebun belakang. Betapa terkejutnya beliau melihat banyak lubang di sana. “Ya ampun Zena! Kamu ini kesurupan apa sampai tanah kebun kamu obok-obok begitu?!” Teriak ibu dengan wajah merengut. “Ini bu, aku baru aja nemu peninggalan bersejarah. Kita bakalan kaya raya!” sahut ku tak kalah kencangnya. “Pagi-pagi pikiran udah kemana-mana, memang kamu nemu apa?” tanya Ibu penasaran.
     Dengan bersemangat, aku menunjukkan trisula kuno itu kepada Ibu. Raut muka beliau langsung berubah 180 derajat, dari yang tadinya marah berubah menjadi tertawa. “Trisula? Ngawur kamu! Ini itu pernak-pernik pagar kita waktu rumah masih baru dibangun. Ayah ngerasa trisula ini gak cocok ada di depan rumah, makanya sama ayah kamu dipotong terus dibuang. Ibu kira dibuang di rongsokan, eh ternyata dipendam di tanah,” jelas Ibu sembari tertawa puas.
     Aku kecewa. Itulah yang aku rasakan setelah mendengar penjelasan Ibu. Kekecewaan jelas terlihat dari wajahku. Ibu kemudian memintaku mencari satu pasang trisula itu, dan setelah menemukannya beliau menyuruhku untuk menutup kembali semua lubang galian yang telah aku buat. Sia-sia saja pagi hari yang seharusnya bisa kumanfaatkan bersantai, malah dihabiskan kerja keras bagai kuda.
     Aku menyesal, karena mengikuti sesuatu yang tak pasti terjadi. Mungkin saja memang ada benda peninggalan yang belum ditemukan, hanya saja bukan sekarang atau di sana tempatnya. “Aku menyesal! Capek banget, tahu-tahunya cuma dekorasi rumah. Kapok banget aku!”

🦋 Nama : Faiz
🦋 Komunitas : Republik Rakyat Literasi
🦋 Peserta event

KUMPULAN CERPEN DAN CERMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang