[CERPEN] USANG DAN TETAP ADA

0 0 0
                                    

Makin lama di sini, makin lama sulit melupakan kenangan yang telah kita lakukan bersama. Lebih baik menyakiti diri sendiri, agar si Pemilik segera membuang kita.
Itulah pemikiran si Kasur yang sudah tidak tahan akan perlakuan pemiliknya. Semua yang ada di ruangan tengah itu hanya terdiam dan sesekali mengangguk.
“Rumah ini akan dijual, semua perabotan di sini juga akan dibuang atau dijual kembali. Apa kalian mau dipegang oleh pemilik lain? Takada sebaik majikan kita yang mampu merawat dengan sebaik mungkin ini. Aku memilih untuk merusak diri saja, daripada harus bersama pemiliki yang lain,” ucap si Kasur.
“Pemikiran yang picik. Kalau kita telah dirawat dengan baik, harusnya kamu tidak perlu merusak. Bukankah berarti dia menempatkan kita di tempat yang layak juga? Seperti sebelum merawat kita. Lagi pula kita ini bisa didaur ulang,” sangkal si Buku.
Satu pekan lagi, rumah akan berpindah tangan kepada pemilik baru. Rumah itu milik kakek Agra(pemilik rumah saat ini. Kakek dan nenek Agra, sudah meninggal puluhan tahun lalu. Setelah beberapa tahun rumah itu dipakai untuk rumah singgah saja, akhirnya orang tua Agra memutuskan untuk menyewakan rumah dan lahan sekitarnya.
Agra sendiri sangat sedih dengan keputusan orang tuanya tersebut. Karena Agra suka singgah dan tinggal beberapa hari di rumah tua itu. Ia pula yang selalu merawat perabotan dan kebun jika pergi ke sana. Setiap empat hari sekali, memang ada pekebun dan yang membersihkan rumah, tapi rumah tua itu merupakan rumah kenangan Agra semasa kecilnya. Walau harus menempuh enam jam untuk sampai di rumah tuanya, tapi sebulan sekali Agra selalu datang.
Bukan hanya karena suasana pegunungan yang sejuk dan asri, di sanalah dia bertemu cinta pertama masa kecilnya yang sulit dilupakan hingga saat ini.
“Hei, apa kau ingat pohon tabebuya di kebun belakang? Pemilik kita selalu ke sana, bukan? Bagaimana kalau kita ingatkan dia akan pentingnya rumah ini dan menghubungkannya dengan pohon itu,” kata si Jam Tua.
“Ah, kalian tidak usah susah payah seperti itu. Tinggal diam dan menunggu saja, waktunya pasti akan habis juga buat kita,” tolak si Kasur.
“Kalau kamu tidak mau membantu, ya sudah diam saja. Ayo kita kumpulkan kertas dan pensil atau bolpoin,” ujar si Buku.
“Apa Pak Komputer Tua itu juga berguna?”
“Mungkin si Telepon Kabel juga bisa kita gunakan.”
Beberapa perabotan rumah tangga ikut menyahut dan membantu sebisanya.
“Agaknya, keyboard-nya Pak Komputer sudah rusak. Apa masih dibuat mengetik?” tanya si Buku.
“Kita pinjam keyboard Agra saja. Yang bisa dibawa ke mana-mana itu, canggih!” Si Jam Tua mulai berdenting pelan dan keras suaranya, semuanya hening ketika dia berbicara.
“Baik, kita urus si Komputer setelah Agra sampai sini saja, ya.”
Semua barang di rumah terlihat sibuk menyusun rencana untuk nanti malam. Si Kasur dan Kursi Malas Tua hanya santai melihat tingkah teman-teman perabotannya itu. Menjelang azan Magrib, para benda di rumah sudah berhenti dan mulai kembali ke tempat masing-masing. Mereka tidak tahu bahwa Agra tidak berkunjung ke rumah tua sendiri. Kedua orang tuanya pun ikut.
Menyadari sesuatu yang tidak beres, pohon mangga di depan rumah, tiba-tiba menggugurkan daunnya dan menerbangkan beberapa ke dalam rumah. Melihat kejadian aneh itu, Agra dan orang tuanya bergidik, karena saat itu juga tidak ada angin kencang yang menerpa pohon mangga. Si Buku yang sadar, memanggil kertas yang menempel di depan pintu, agar segera melepaskan diri sebelum pemilik menuju ke dalam rumah.
Agra yang pertama memasuki rumah, menyadari sesuatu, dia keluar kembali dan berdiri di depan pintu.
“Kamu, kenapa, Ra? Ayo masuk lagi. Magrib-an dulu.”
“Ah, mungkin perasaanku saja,” gumam Agra.
Di sisi lain, selembar kertas sedang menggigil ketakutan di bawah meja teras rumah. Jam dinding tua berdenting, jarumnya menunjuk pukul sepuluh malam tepat. Kegiatan pengemasan barang-barang yang penting dan masih diperlukan, sejenak diberhentikan dahulu. Ayah dan Ibu beranjak ke kamar tidur. Agra mematikan lampu ruang utama dan menyalakan lampu meja di ruang tengah. Ia merebahkan diri di kasur tua dengan memegang sebuah buku kumpulan cerita pendek. Baru halaman kedua dia buka, pensil dan bolpoin yang ada di meja berjatuhan. Salah satunya menggelinding dan berhenti di bawah kasur.
“Enggak ada angin, gak ada guncangan, kok bisa jatuh semua ya? Bahkan kotaknya juga ikut jatuh. Wah, apa ada penunggunya ya rumah ini,” lirih Agra sembari mengambil pensil di bawah kasur.
Tak menghiraukan peristiwa kecil itu, Agra kembali melanjutkan membaca buku. Sepuluh menit berlalu, angin malam menusuk kulit Agra. Ia berpikir, dari mana angin itu berasal, semua jendela dan pintu sudah ditutup rapat. Mungkin berasal dari sela-sela ventilasi atau lubang-lubang dinding kayu.
Ketika Agra ingin tidur, angin semakin kencang hingga bisa menyibak selimutnya.
“Hei, kalian kalau mau usil, jangan sekarang dong. Aku tuh capek banget. Besok harus mengemas lagi, jadi, biarkan aku tidur sejenak, oke? Ah, aku ini ngomong sama siapa sih? Hantu? Jin?” keluh Agra.
Setelah sang Pemilik berhenti menggerutu, buku-buku terbuka dengan sendirinya, suara lantai kayu yang berdecit memekikkan telinga, suara air-air yang dipukul-pukul, piring-piring dan sendok yang saling beradu, bahkan kursi malas yang bergoyang-goyang sendiri.
Agra termenung sejenak, dia terkejut melihat dan mendengar peristiwa aneh di hadapannya. Tak percaya apa yang terjadi, dia beranjak ke kamar orang tuanya, melewati jam dinding tua.
Ding-ding!
Dentuman jam dinding berbunyi tepat di samping telinganya. Jelas, dia begitu kaget dan langsung jatuh terduduk.
Pikir Agra, jarum panjang belum di angka 12, waktunya pun tidak tepat untuk berbunyi saat itu. Dari dulu hingga sekarang, jam dinding selalu diatur untuk berdenting pukul sepuluh malam dan tiga pagi.
“Hei, ini bukan lakon “Cinderella” atau “Beauty and The Beast”, kan? Selama ini aku merawat rumah ini dan kalian membalasku seperti ini? Maunya apa sih!” teriak Agra.
Sang Pemilik terus mengomel dan berkeliling sembari memegang sapu. Ia pun tak tahu bahwa sapu yang dipegangnya juga bisa menjahilinya. Hingga akhirnya si Pemilik berhenti karena kelelahan. Saat duduk bersandar di dinding, baru memejamkan mata sebentar, ketika membuka mata, dilihatnya di lantai tergeletak selembar kertas.
“Jangan jual kami! Terus rawat kami.”
Matanya membelalak melihat rangkaian tulisan di kertas putih itu. Ia pun berteriak memanggil ibu dan ayahnya.
“Agra, kenapa? Kenapa teriak-teriak?” Ibunya yang terusik, akhirnya bangun dan menghampiri.
“Ibu pikir tadi kamu bermimpi dan mengigau. Karena kamu tadi berhenti, eh malah sekarang teriak lagi. Mimpi buruk, ya?” sambung ibunya.
“Kalau takut, hidupkan aja lampu ruang tengahnya. Biasanya kan kamu tidur sendiri juga di sini,” timpal ayah Agra.
“Itu dia, padahal aku juga sering sendiri di sini. Tapi baru kali ini diusik kayak gini.”
Orang tuanya melihat Agra terheran-heran dan kembali tidur. Agra ditawari tidur bersama, enggan, dan dia kembali ke kasur ruang tengah. Kali ini, lampu utama dihidupkan. Agra pun tidak menceritakan perihal tulisan di kertas, dia justru menyimpannya di saku.
Matahari sudah menyembul keluar dengan hangatnya, sejak subuh, orang tua Agra sudah sibuk dengan barang-barang di tangannya. Sedang Agra masih memikirkan kejadian malam tadi. Untuk menyegarkan diri, dia pergi menata kebun depan. Sedikit terkejut melihat kebunnya berantakan, padahal kemarin ketika mereka sampai di rumah, kebunnya terlihat rapi. Agra pun melihat pekarangan tetangga lain, dan baik-baik saja. Ia berpikir bahwa memang rumah tua ini berhantu.
Agra menuju ke kebun belakang dan dilihatnya pohon tabebuya yang kokoh dan bunganya bermekaran dengan cantik.
“Ha? Kok mekar? Kan musim hujan?” batin Agra.
Ada yang tidak beres dengan rumah tua ini, Agra memutuskan mengelilingi pohon tabebuya dan menemukan kertas bertuliskan hal yang sama. Ia mengecek kertas di sakunya dan masih ada. Ia mengitari kebun belakang, samping rumah, dan sampai lagi di depan rumah. Tidak ditemukannya kertas lain, Agra menuju loteng rumah.
“Apa mungkin ini keinginan Kakek ya. Kakek tidak mau rumah ini disewakan. Eh, mungkin Kakek tidak ingin rumah ini disentuh oleh orang lain,” gumamnya sembari menuju tangga loteng.
Terkejut bukan main, ketika Agra membuka pintu loteng, ruangan di dalam loteng terlihat bersih dan tertata seperti dahulu, masa kecilnya. Loteng ini termasuk tempat bermainnya dengan teman-teman masa kecilnya. Dahulu, kakeknya sering mengadakan pertunjukan wayang sederhana di loteng rumah. Pesuruh yang membersihkan rumah ini, tidak membersihkan bagian loteng rumah. Agra semakin curiga, kemungkinan besar penunggu rumah ini yang melakukan atau masih ada arwah sang Kakek.
“Lihat, si Pemilik mulai meneteskan air matanya. Kita berhasil, kan?”
“Ah, belum tentu. Bisa saja, dia menangis karena teringat masa lalunya.”
“Apa benar tindakan kita ini? Menakut-nakutinya seperti itu, jadi kasihan.”
“Malam ini, kita berhenti saja. Biarkan Pemilik berpikir dahulu,” ucap si Buku.
“Si Kasur kalau melihat Pemilik sekarang ini, pasti juga ikutan nangis.”
“Jelas, secara ini kan tempatnya dulu. Kasur itu dulunya ada di loteng.”
Perabotan saling berbisik dan melihat si Pemilik sedang bernostalgia tatkala melihat foto-foto masa kecil yang berjejer rapi.
Agra terbangun dan kebingungan, karena dia tertidur di loteng. Ia mengusap matanya, dan merasakan air di mata dan pipinya.
“Kok kamu bisa tidur di sana? Kapan bersihin lotengnya? Apa si Bibi ya?” tanya Ibu.
“Pakai selimut Kakek lagi. Ada-ada saja, kamu Ra,” imbuh ayahnya.
“Aku juga bingung, padahal tadi selimutnya di atas meja dan terlipat rapi,” gumam Agra.
Malam datang, sang Pemilik sedang bingung dan mondar-mandir di ruang tengah. Ia merasa takut dan sedih, orang tuanya pun pergi dulu dan meninggalkannya sendiri di rumah tua ini. Beberapa barang lama sudah diangkut, hanya tersisa perabotan besar dan berat saja yang belum dikemas. Kulkas, meja, kursi goyang, lemari tua, kasur tua, lampu meja dan gantung, buku-buku Kakek dan Nenek, dan lain-lain.
Saat ini Agra masih mengemas buku-buku yang terlampau banyak. Ia pun memikirkan ide yang aneh dan mencobanya.
“Apa mau kalian? Apa aku harus segera pergi dari sini? Atau rumah tidak disewakan?”
Agra menulis di selembar kertas. Selang beberapa detik, tiba-tiba angin bertiup kencang dan menghamburkan buku-buku di hadapan Agra. Si Pemilik terbatuk-batuk dan angin pun berhenti bertiup. Ia memperoleh kertas lain dan di atasnya bertuliskan, “Kami masih ingin hidup. Jangan buang kami!”
Agra mengernyitkan alis, dia berpikir keras maksud dari tulisan itu.
“Kira-kira, siapa yang ingin hidup? Apa yang tidak boleh dibuang? Hubungannya dengan rumah ini? Kalau rumah ini berpindah tangan, artinya mereka mati? Mereka siapa, ya?” batin Agra yang berkecamuk membuatnya pusing.
“Aaa … turunkan aku! Cabik-cabik saja, aku gak mau dibuang. Kalian tidak sopan, umurku jauh lebih tua dari kalian, hei, manusia!”
“Ah, berisik sekali si Kasur Tua itu, pagi-pagi begini. Sudah diberi tahu masih aja gak percaya. Lihat, kasihan yang angkat dia. Sampai tiga orang lelaki pun hampir enggak sanggup,” kata si Buku.
“Apa kau yakin, kita baik-baik saja? Memangnya kau lihat apa di ponselnya kemarin?”
“Ah, ponsel si Pemilik sungguh pelit info. Ia tidak ingin berbincang dengan kita, sombong sekali.”
“Rencana hebat si Pemilik, kita nantikan saja hasilnya,” ungkap si Buku.
Agra dan beberapa orang pengangkut beristirahat sejenak setelah mengangkat kasur, yang seperti enggan diangkat.
“Capek, ya? Mau minum ini gak? Udah sarapan? Aku bawakan roti buatan nenekku, nih.”
Agra yang duduk bersila, mendongak untuk melihat siapa yang berbicara.
“Sania! Kok bisa ke sini? Nenekmu yang beri tahu?”
“Iya, Ga. Mau direnovasi rumahnya? Kemarin katanya mau disewa? Gak jadi?”
“Hm, iya, padahal baru semalam, udah tersebar aja beritanya. Untungnya yang nyewa rumah ini, mau jadi donatur. Rumahnya mau aku rombak, ada beberapa dinding dan atap yang rapuh. Biar lebih kokoh, kan mau dibuat anak-anak, biar aman.”
“Dalam semalam, pikiranmu berubah, ya, secepat itu.”
“Benar, keajaiban. Aku udah lama buat rencana ini, tapi aku gak bisa berkutik atas kemauan ayahku. Tapi malam tadi, ada semacam cahaya yang memberikanku penerang dan keberanian,” ucap Agra percaya diri.
Rumah tua ini akan dijadikan rumah singgah anak yatim piatu dan rumah baca gratis. Perabotan antik yang masih berfungsi dipoles kembali dan yang tidak bisa dipakai lagi akan didaur ulang, agar manfaatnya berjangka panjang. Rumah ini akan tetap ada, wujudnya dan kenangannya. Waktu kemarin boleh saja hilang, benda-benda boleh saja usang, tapi kebermanfaatan akan terus ada, jika mampu digunakan sebaik mungkin sesuai kegunaannya.

🦋 Nama : Rahay
🦋 Komunitas : Amerta 45°
🦋 Peserta event

KUMPULAN CERPEN DAN CERMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang