[CERPEN] TERLAMBAT

0 0 0
                                    

Malam tak berbintang menghadirkan gundah gulana bagi seorang gadis berusia 17 tahun yang terbaring memandang tembok bercat hijau. Jantung tak henti berdetak. Butiran air mata membasahi wajahnya, memikirkan cara untuk terbebas dari kekangan. Lelah menyelimuti sekujur tubuh yang terkulai lemas diiringi peluh mengucur deras.
“Memangnya kenapa jika seorang gadis menjalin hubungan dengan lelaki tulus?”
Bantal boneka dipukul berulang kali sebagai bentuk pelampiasan. Pelan-pelan, digigitnya jari jemari sambil menghela napas yang dalam. Ia teringat bagaimana ekspresi sang ibu melihatnya jatuh cinta dengan menyebut nama seseorang berkali-kali. Memerah seperti api, mata terbelalak dan tangan dikepal. Perempuan itu terkejut menyadari tingkah laku diketahui beliau seketika mulutnya membungkam tanpa sepatah kaca.
“Ibu lebih senang Citra menjadi single ketimbang berpacaran.”
“M-mengapa tidak boleh, Bu? Bukankah, aku sudah besar?” Citra menyipitkan matanya.
“Alangkah baiknya dihindari agar tak berujung luka,” jawab ibu dengan nada meninggi.
Alih-alih menjawab, Citra memutuskan untuk menyimpan dengan rapat di hati. Sejak saat itu, ia menjadi gadis pendiam dan hanya berbicara saat perlu.

***
“Citra, ngapain saja kamu di kamar seharian?” tanya sang ibu.
“Ehem. Aku sedang membaca buku, Bu,” jawab Citra pura-pura batuk.
“Tak segitunya juga kali. Bagaimana jika tiba-tiba mati?”
“Iya, Bu. Nanti aku makan. Jangan mengoceh sepanjang tali agar tensi darahnya menurun.”
“Kamu benar sekali.”
Empat buku novel telah dibacanya seharian tanpa memedulikan matahari yang sirna berganti langit yang gelap. Hidup bersama orang tua yang overprotektif memunculkan gelisah setiap detik karena setiap gerak-gerik senantiasa diawasi dari kejauhan. Dengan kata lain, seperti mata-mata.
Ia kembali tak bergeming. Pandangan lurus menghadap ke tembok. Diembus napas yang dalam, membayangkan teman lelaki menemuinya di balik jendela. Sedari tadi, perempuan itu memikirkan cara agar berhasil meloloskan diri. Nampaknya, seperti berada di dalam jurang neraka. Tanpa pikir panjang, Citra menelpon seseorang yang dituju. Tumpah tangisan ketika mencurahkan keluh kesah selama ini.
[Bantu aku menemukan tempat yang begitu tenang]
[Pastikan semuanya tertidur. Setelah itu, berilah kabar kepadaku]
Ketika hendak melangkah ke luar, sebuah tangan menahannya. Sorot mata tajam dengan mulut membungkam terpancar dari wajah. Alih-alih membiarkan keluar, sosok tersebut menarik paksa lengannya hingga terjatuh. Air mata membasahi lantai keramik yang retak. Tubuh yang semula kuat menjadi tak berdaya.
“Takkan kubiarkan dirimu meninggalkan rumah ini!”
“Bagaimana bisa bertahan. Sedangkan, ibu sendiri telah memberikan luka,” ungkap Citra.
“Itu demi kebaikan bersama.”
“Kebaikan apa, hah? Katakan!”
PLAK!!!
Tamparan mengenai tepat di wajah mungil perempuan itu. Tangan kiri berusaha menahan sakit yang membekas. Sang ibu tak memedulikan lalu pergi ke kamar dengan penuh amarah. Ia hendak membalas, tetapi mengurungkan niat. Jeritan pun tak lagi terhindarkan.  Satu kursi yang berada di dekatnya terbanting.
“Anggap saja aku telah tiada. Jadi, setetes air mata takkan lagi membasahi sehelai pakaian,” ujarnya pasrah.
Esok hari merupakan waktu yang ditunggu-tunggu untuk membebaskan diri dari sang ibu. Usai pulang sekolah, Citra termenung di tepi jendela. Butuh waktu untuk menjernihkan pikiran yang kesal. Seorang lelaki yang lewat meledeknya dengan mengatakan gadis kaku. Ia hanya menaikkan bahu dan mengalihkan pandangan. Kejadian semalam meninggalkan bekas yang begitu menyakitkan. Seolah-olah dunia tak berpihak padanya.
Ponsel bergetar. Sebuah pesan masuk terpampang jelas di layar kunci. Ya, teman dekat memberikan alasan mengapa urung menemuinya semalam. Ia juga menanyakan keadaan saat ini. Citra memandang sekilas tanpa menanggapinya. Napas tak beraturan, penampilan agak semrawut.
“Lebih baik hidup sendiri ketimbang punya orang tua seperti ini! Bukan menjadikanku bahagia, melainkan sebagai beban!” teriaknya memukul meja.
Bermodalkan nekad, ia menyusuri rumah salah seorang teman. Teriknya matahari yang menembus hingga ke tulang tak membuatnya mundur. Justru, ia mempercepat langkah kaki dengan amarah yang menggebu-gebu. Rumput jarum dibiarkan menempel di pakaian perempuan itu.
TOK TOK TOK
Seorang lelaki membuka pintu terkejut mendapati Citra yang berpeluh deras dan menyuruhnya untuk masuk. Tas diletakkan di atas kursi beranyam bambu. Perempuan itu mulai mengomel terkait perlakuan ibu. Emosi telah menyelimuti relung hatinya.
“Tenangkan dirimu, Cit. Aku tahu kamu sangat kesal. Namun, bukan seperti itu caranya.”
“Ini sudah kelewat batas, Bima! Lebih baik aku pergi dari dunia ini!” ketus Citra.
Bima bergeming. Sorot mata hampa seketika. Bingung hendak merespon apa. Di satu sisi, ia paham keadaan sahabatnya. Namun, di sisi lain, tak ingin ikut campur. Ia memegang dahi, memikirkan kata yang hendak disampaikan.
“Bagaimana jika kamu membantuku untuk mencari tempat baru?”
“Baiklah. Dengan syarat, harus menjadi kekasihku.”
“Aku menerima persyaratanmu.” Citra meletakkan tangan kanan Bima di wajahnya.
Bima hadir di dalam sebagai sosok yang istimewa. Perlahan, perempuan itu melupakan kejadian yang membekas di hati. Sikap yang penuh amarah berganti menjadi kelembutan. Kekasihnya senantiasa memberi dukungan untuk menjadi lebih baik. Tak peduli hujan atau pun panas, ikatan batin mereka tak pernah lepas.
Bima juga berjanji untuk selalu menjaganya. Bahkan, rela meluangkan waktu hingga malam hari. Para teman di sekolah yang melihat mereka berjalan sesekali bersorak-sorai dengan suara yang lantang. Bukannya marah. Justru, terawa terbahak-bahak karena kesepian tak lagi menghampirinya.
***
“Apa kamu merindukan ibu?” tanya Bima menyeruput segelas air putih.
“Ehm, entalah. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya,” jawab Citra menatap pepohonan rindang.
“Sudah waktunya bertemu untuk meluapkan rindu. Aku yakin wajah beliau dipenuhi bunga yang mekar.”
“Mengapa kamu mengatakan seperti itu?” Citra heran.
“Biasanya, yang jarang bertemu akan berbunga-bunga menantikan kehadiran sosok yang dirindukan selama ini.”
Citra duduk bergeming. Sesak merasuki dada. Kedua telinga ditutup dengan tangan. Jeritan yang hendak keluar tertahan oleh keadaan. Sudah lama tak berjumpa dengan ibu. Bisa dikatakan lebih dari tiga bulan sejak terjadi kesalahpahaman. Bagaimana kabarnya saat ini? Apakah bahagia atau justru sebaliknya?
Ia menghela napas, memikirkan berulang kali. Di satu sisi, sangat ingin bertemu. Di sisi lain, takut jika sang ibu akan marah besar. Tembok bercat kuning dipukul keras seperti petunju disusul kakinya. Tak puas jika hanya satu kali meluapkannya.
“Tenanglah, Cit,” ujar Bima memeluknya erat.
“Hiks … hiks …. Aku takut jika ibu masih marah,” tangisnya.
Empat hari kemudian, Citra memberanikan diri untuk kembali ke rumah. Bahunya menjinjing tas sekolah. Rasa kecewa disembunyikan melalui senyum yang ditutup masker berwarna hitam. Langkahnya tergesa-gesa, berharap tak satu pun tetangga mengetahuinya. Sedangkan, Bima memantau dari belakang dengan kostum serba hitam.
“Selamat sore, Ibu. Putrimu telah kembali,” ujar Citra membunyikan bel.
Tak satu pun respon yang diterima. Sunyi seperti berada di tengah hutan. Berulang kali bel dibunyikan, hasilnya tetap sama. Saking kesalnya, perempuan itu mendobrak pintu yang tertutup hingga terbuka dengan sendirinya. Ruangan di dalam lebih rapi dari biasanya. Camilan kesukaan tersusun rapi di atas meja. Ia mencari ibu, tetapi tak ditemukan. Matahari mulai bergerak ke barat. Bima sigap bantu menemukannya. Mereka mencar ke berbagai ruangan.
Sepucuk surat jatuh tepat di kaki. Dibungkukkan badan mengambilnya lalu dibuka perlahan. Alis berkerut tatkala membaca isi yang tertata rapi dari atas hingga ke bawah. Panik menyerang hingga penglihatan kabur. Ia benar-benar terlambat menyadari hal ini.
“Bodoh. Aku telah dibodohi. Bagaimana bisa pergi begitu saja. Sedangkan, kamu selalu mencariku!” rintih Citra.
“C-Citra. Apa yang terjadi padamu?” tanya Bima lalu mengambil surat di tangan.

Dari: Sosok tersayang
Dear, Citra
Ibu tahu jika kamu terluka. Ibu tahu betapa banyak air mata yang membasahi wajahmu. Ibu  tahu semua itu. Kesalahanku memang tak dapat lagi dimaafkan. Namun, bisakah kamu mengabulkan sebuah permintaan terakhir? Siapa pun yang menjalin hubungan denganmu harus menjadi perisai, bukan menambah luka.
Memang sih, angin yang berembus tak bisa lekat di satu tempat. Namun, ibu yakin semua akan bahagia pada waktunya. Semoga kamu bisa menjadi mawar berduri yang rapuh meski kekeringan melanda. Maafkan ibu. Lupakan jiwa ini untuk selama-lamanya. Derita yang menggerogoti tubuh telah pergi. Terima kasih telah menghadirkan cahaya di rumah ini.
Bandung, 30 Maret 2019

Citra histeris. Penyesalan menemuinya yang tak berdaya. Lantai dibanjiri air mata. Kemeja merah muda dicengkramnya erat. Terlambat menyadari kepergian sang ibu. Waktu tak dapat diputar kembali. Ia hanya bisa merengek layaknya seorang bayi. Harapan demi harapan pupus berganti muram menyisakan kenangan. Nasi telah menjadi bubur. Perempuan itu menyadari betapa utamanya waktu karena tak semua kejadian ada kesempatan untuk sama seperti semula.

Palembang, 13 April 2022

🦋 Nama : Aliyah Andina
🦋 Komunitas : Diamond Black Rose
🦋 Peserta event

KUMPULAN CERPEN DAN CERMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang